Jumat, 27 Juni 2014

Syafaat Kekuasaan

Syafaat Kekuasaan

Fathorrahman  ;   Dosen sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, A’wan Syuriyah PW NU Jogjakarta
JAWA POS, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SALAH satu pertanyaan mendasar yang selalu menggelayut di benak kita saat pemilihan umum adalah mengapa ulama selalu menjadi objek kunjungan yang sangat intens oleh beberapa figur yang tengah mempersiapkan diri sebagai calon presiden?

Alasan sederhana yang cenderung mengemuka, pertama, ulama merupakan figurkarismatis. Kedua, bagi sebagian besar masyarakat, ulama dianggap ahli waris nabi (waratsatul anbiya’) yang bisa memperantai adanya syafaat. Dalam kaitan ini, syafaat berarti sebuah pertolongan untuk memperoleh manfaat dan terhindar dari mudarat atas segala sesuatu yang dilakukan. Karena itu, di berbagai tempat, kebanyakan orang yang sedang mengalami kesulitan dalam segala urusannya selalu sowan ke ulama untuk memperoleh masukan dan wejangan yang bisa menenangkan batinnya.

Namun, dalam konteks politik, syafaat yang secara esensial menjadi penghubung kultural antara ulama dan masyarakat mulai beralih fungsi sebagai alat legitimasi struktural guna mengarahkan arus suara sebagai modal bagi capres untuk melenggang ke kursi kepresidenan. Bahkan, syafaat diinterpretasi sebagai siasat untuk memperoleh kemenangan dan meniadakan kekalahan dalam pemilihan.

Tidak heran bila syafaat kini mulai sejajar dengan uang, popularitas, jabatan, dan sejenisnya sebagai strategi untuk memperoleh kekuasaan serta sarana untuk berkontestasi ria dalam pemenangan. Bagi para capres, syafaat yang dimediasi ulama ibarat sebuah titah atau mungkin sabdo pandito yang bisa memengaruhi arus massa yang secara ideologis banyak bermakmum kepadanya. Untuk mewujudkan syafaat sebagai barometer penggerak arus massa, banyak capres yang menggiring ulama ke dalam seremoni keagamaan untuk menunjukkan kedekatan emosionalnya kepada publik. Dengan demikian, massa yang hadir dalam seremoni itu akan menilai bahwa capres tersebut telah direstui sebagai manusia pilihan.

Bahkan, di berbagai arena, syafaat dijadikan mekanisme pengetahuan guna menafsirkan berbagai dalil untuk menegaskan bahwa kehadirannya di panggung kuasa adalah cerminan sebuah amanah dari ulama yang harus dijalankan. Lalu, dukungan massa kepada capres tersebut dikondisikan sebagai sebuah keniscayaan yang patut dipatuhi.

Tentu, hal itu sangat ironis. Syafaat yang secara esensial merupakan representasi pertolongan Tuhan yang diberikan kepada Nabi dialihfungsikan ulama sebagai instrumen kekuasaan untuk meneguhkan keberpihakannya kepada salah satu capres. Karena itu, bukan tidak mungkin, atas tindakan artifisial tersebut, yang justru akan didapati bukanlah berkah dari syafaat yang diperantarai sebagai dukungan, melainkan laknat berupa kekalahan yang mendera capres yang dinobatkan.
  
Mawas Diri

Berada di tengah politik representasi yang menggunakan syafaat sebagai bahasa politik untuk memperoleh kekuasaan dalam pemilu, tentu kita sebagai masyarakat awam harus cermat memahami bagaimana arus pergerakan ulama sedang memainkan perannya di ruang publik yang sedang mengalami titik didih sensitivitas menjelang pilpres. Kita perlu menggunakan mata batin untuk menengarai dengan cerdas bagaimana rangkaian statemen bernuansa keagamaan yang disampaikan ulama. Bahkan, dalam diri kita, perlu ada rasa curiga untuk memahami ruang gerak syafaat yang dimainkan ulama sebagai simbol penguasaan politik. Sebab, kehadiran para ulama ke tengah kerumunan massanya yang menyublimasi syafaat untuk kepentingan politik sesungguhnya sedang memudarkan pesona dunia (disenchament of the word) –meminjam istilah Max Weber– keagamaan yang secara esensial memiliki roh spritualitas sendiri.

Agama yang sarat pesona dunia yang sublimatis akan distorsif bila salah satu bagian pentingnya seperti syafaat ditarik dalam pusaran politik para capres yang hanya ingin merebut dan melanggengkan kekuasaan. Karena itu, mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang bisa berdampak pada penihilan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat maupun ketidak-acuhan masyarakat terhadap yang dianggap sebagai ’’ahli waris nabi’’, para ulama harus berhati-hati dengan perilaku para capres yang sedang giat mendekat dengan tujuan meminta doa restu serta dukungan. Ulama juga harus memosisikan diri sebagai figur moderat yang tidak condong ke salah satu capres agar posisi tawarnya semakin kuat di mata masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar