Kamis, 24 Juli 2014

Agenda Kelautan Presiden Terpilih

                           Agenda Kelautan Presiden Terpilih

Muhamad Karim  ;   Dosen Bioindustri Universitas Trilogi di Jakarta,
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradabam Maritim
SINAR HARAPAN, 22 Juli 2014
                                                


Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 usai sudah. Meski terjadi gonjang-ganjing hitung cepat pascapemilu, prosesnya berlangsung damai. Apabila tak ada aral melintang, 22 Juli 2014, presiden terpilih ketahuan.

Ia akan mengadang beragam agenda di depan mata. Salah satunya kelautan. Soalnya bukan hal sepele. Jika mengabaikannya, eksistensi negara terancam. Umpamanya soal konflik Laut Tiongkok Selatan, bukankah ini bak bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Imbasnya, geopolitik dan geoekonomi Asia Tenggara terguncang. Indonesia pasti terkena imbasnya. Itu baru satu soal. Belum lagi soal pengurasan sumber daya kelautan oleh asing.

Internasional

Agenda kelautan presiden terpilih nantinya strategis dan kompleks. Beragam agenda prioritas kelautan kita mencakup ranah internasional maupun domestik. Untuk agenda internasional, pertama, posisi Indonesia sebagai Ketua Indian Ocean Rim Association (IORA) 2015-2017.

Anggotanya adalah 20 negara pesisir Asia-Pasifik dan Afrika yang berkepentingan dengan Samudra Hindia. Fokus kerja samanya berupa keamanan laut, pencemaran dan polusi, manajemen perikanan, hingga investasi dan perdagangan. Bukankah dengan hal ini negara akan mendapatkan manfaat ekonomi jika dikelola dengan baik?

Kedua, konflik perebutan hak kelola dan akses sumber daya Laut Tiongkok Selatan. Hingga kini, Jepang, Filipina, dan Vietnam masih bersitegang dengan Tiongkok mengenai kepemilikan pulau dan batas maritim zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Mereka belum mencapai titik temu dengan Tiongkok. Amerika Serikat  (AS) pun ikut campur tangan hingga mau membangun kembali pangkalan militernya di Filipina. Pendek kata, konflik ini memengaruhi situasi geopolitik dan geoekonomi Indonesia maupun regional ASEAN.

Jika Indonesia berpangku tangan, hal tersebut bisa memicu konflik terbuka. Ingat, Indonesia memiliki ZEE dan landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan Vietnam. Tak menutup kemungkinan Indonesia masuk pusaran konflik jika membiarkannya.

Di perairan itu, Indonesia pun memiliki pulau-pulau kecil yang menandai batas maritim negara. Tak hanya itu, dari Laut Tiongkok Selatan terbentang jalur perdagangan teramai di dunia lewat Selat Malaka. Karena hal tersebut, Tiongkok mulai mencanangkan wacana “jalur sutra maritim”, sebuah wacana baru dalam ekonomi kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Ketiga, isu pembukaan Terusan “Kra” di Thailand. Tiongkok mendukung pembukaannya. Terusan tersebut akan menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Tiongkok Selatan. Terbukanya terusan ini kian memuluskan jalur sutra maritim. Selain memperpendek lalu lintas pelayaran, ini memperkuat hegemoni geopolitik Tiongkok di Asia Tenggara.

Meski isu masih sebatas wacana regional, isu ini kian memanas sehingga mesti disikapi. Artinya, strategis buat Indonesia. Posisi Indonesia sebagai Ketua IORA 2015-2017 bisa berkontribusi mendinginkan soal Laut Tiongkok Selatan sambil mengupayakan nilai kemanfaatannya.

Caranya, Indonesia bisa saja mendorong Thailand membuka Terusan Kra. sekalian menanamkan sahamnya. Pasalnya, ada manfaat geopilitik dan geoekonomi di Pulau We dan Sabang yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) ala Pulau Batam.

Keempat, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di lautan terkait penyelundupan (trafficking) dan perdagangan manusia. Masalah ini bukan isapan jempol. Hampir setiap tahun aparat keamanan Indonesia dan Australia menangkap warga Timur Tengah (Iran dan Irak) dan Afganistan yang melintasi perairan ZEE-nya di Samudra Hindia.

 Mereka hendak mencari suaka ke Australia. Kebanyakan dari mereka menumpang kapal ikan sebagai strategi kamuflase. Indonesia mesti menyelesaikan persoalan ini, jangan sampai merusak hubungan diplomatik dengan Australia.

Kelima, aturan ketenagakerjaan internasional di kapal ikan asing. International Labor Organization (ILO) telahmengaturnya dalam Convention No 188/2007 (the work in fishing convention). Aturan ini mengategorikan penangkapan ikan sebagai aktivitas berbahaya. Hingga kini.

Indonesia belum meratifikasinya. Ini agenda penting karena lebih dari 70 persen tenaga kerja di kapal asing Taiwan dan Selandia Baru berasal dari Indonesia. Sisanya bekerja di kapal Korea Selatan (Korsel), Tiongkok, Thailand, dan Jepang.

Jika presiden baru absen soal ini, sama artinya membiarkan rakyat menggali kuburnya sendiri. Mereka tanpa jaminan sosial, kesehatan. hingga keselamatan kerja, bekerja di laut risikonya lebih tinggi ketimbang darat. Jangan sampai pemerintah mengurus mereka tatkala kapalnya mengalami karam  baru mengetahui ada awaknya yang orang Indonesia. Pekerjaan rumah pemerintah Indonesia adalah meratifikasi aturan ILO tersebut.

Keenam, nasib perikanan dalam skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) 2015. MAE belum tentu menguntungkan Indonesia. Negara ASEAN semacam Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam bak mendapatkan durian runtuh. Mereka tahu kapasitas dan daya jelajah kapal ikan Indonesia kalah jauh ketimbang miliknya. Pasti mereka berebut mengurus izin penangkapan ikan di perairan Indonesia.

Tiongkok pun tentu tak mau kalah. Ia pasti memanfaatkan ASEAN-China Free Trade. Jadi ,jangan heran pasca-MEA ikan impor dari Tiongkok, Thailand, dan Vietnam membanjiri Indonesia.

Simaklah, tahun 2013 laju ekspor ikan 11,39 persen lebih rendah ketimbang impornya, 39,47 persen (Comtrade, 2013). Bukankah MAE malah memosisikan perikanan Indonesia di ujung tanduk? Ini agenda penting juga bagi presiden terpilih.

Domestik

Agenda domestiknya, pertama, kian masifnya campur tangan asing mengontrol sumber daya kelautan. Keterlibatan asing itu ada dalam penetapan kawasan coral triangle inisiative (CTI). Kini, kawasan tersebut malah melibatkan negara non-CTI, semacam Inggris, Prancis, dan AS.

Sudah barang tentu ini kepentingan bisnis karena dalam Konvensi Keragaman Hayati di Nagoya Jepang pada 2010, Indonesia menyetujui skema benefit sharing mechanism (BSM). Jadi, plasma nutfah, pengetahuan lokal, hingga sumber genetik lokal dari lautan (baca: terumbu karang) bisa saja dikuasai asing. Dalihnya kepentingan umat manusia.

Menariknya, negara asing bisa mengklaimnya sebagai kekayaan intelektual. Bukankah ini bentuk baru kolonialisme berkedok konservasi plasma nutfah? Hal terbaru adalah keterlibatan Australia dan Timor Leste mengelola sumber daya laut Arafura. Ditambah lagi revisi Undang-Undang (UU) No 27/2007 menjadi UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) yang mengizinkan investasi asing di pulau kecil.

Aturan ini sama saja menggelar karpet merah bagi asing untuk menjarah kekayaan laut Indonesia. Hal serupa berlangsung di kegiatan perikanan. Penanaman modal asing (PMA) periode 2010-2013 rataannya melampaui 98,04 persen. Pada periode yang sama, penanaman modal dalam negeri (PMDN) cuma 1,96 persen (BKPM, 2014).

Kedua, dugaan pemberlakuan MEA kian memperparah kemiskinan nelayan. Masuknya kapal ikan asing di Indonesia pasti menggusur mereka dari wilayah tangkapan tradisional. Bukankah ini membuat kesejahteraan mereka terjun bebas?

Sejak 2013, nilai tukar nelayan (NTN) cenderung turun. NTN Desember 2013 nilainya 101,98, Maret 2014 melonjak menjadi 102,29, lalu turun lagi menjadi 102,54 pada April 2014 (BPS, 2014). Jadi, MEA bukan obat mujarab (panacea) dalam menyejahterakan nelayan.

Ketiga, hampir seluruh wilayah perikanan tangkap Indonesia mengalami tangkap lebih. Jika pemerintahan baru menargetkan produksi hingga 50 juta ton hingga 2019, hal tersebut amatlah irasional, kecuali sampai Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Tak ada cara lain, pemerintahan baru harus menerapkan de-growth perikanan tangkap.

Caranya dengan memberlakukan sistem buka-tutup wilayah tangkapan disertai pengaturan waktu. Dengan ,demikian ikan tidak ditangkap dalam umur muda, namun saat umurnya sudah masuk kategori layak tangkap.

Menyikapi hal ini, presiden terpilih mesti memerhatikan semua agenda prioritas kelautan. Bila abai, hal-hal tersebut akan jadi “bumerang” bagi pemerintahannya sebab mempertaruhkan eksistensi negara dan kedaulatan ekonomi di lautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar