Kamis, 24 Juli 2014

Ancaman “Khilafah” ISIS

                                         Ancaman “Khilafah” ISIS

Azis Anwar Fachrudin  ;   Pegiat Jaringan GusDurian, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 21 Juli 2014
                                                


Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS), atau dalam bahasa Arabnya “ad-Dawlah al-Islamiyah fi al-‘Iraq was-Syam (singkatannya: Da’isy), telah mendeklarasikan “Khilafah Islam”. Khalifahnya Abu Bakr al-Baghdadi. Wilayah kekuasaannya beberapa distrik di belahan barat Irak (terutama di kawasan Sunni, seperti Fallujah dan Ramadi) dan belahan timur laut Suriah.

ISIS dengan demikian menjadi pemain politik baru—entah mau disebut teroris, radikal, ekstremis, islamis-jihadis, dll—jelas tak bisa diabaikan ancamannya bagi stabilitas Timur Tengah.

Sejarah ringkas lahirnya ISIS bermula pada 2004, ketika terjadi merger antara Al-Qaeda pusat (AQC) dengan gerakan islamis di Irak, at-Tawhid wal-Jihad, yang dipimpin Abu Mus’ab az-Zarqawi. At-Tawhid wal-Jihad kemudian menjadi franchise Al-Qaeda di Irak (al-Qaeda in Iraq/AQI).

Setelah kematian az-Zarqawi, AQI menjadi Islamic State of Iraq (ISI). Sejak itu, hubungan keduanya mulai renggang—khususnya karena aksi ISI dipandang terlalu brutal dan cenderung mbalelo dari kepemimpinan Ayman az-Zawahiri (pemimpin AQC)—meski masih punya kepentingan yang sama (mutual interest).

Ketegangan hubungan antara Al-Qaeda dengan ISI makin menajam, terutama ketika Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISI, memutuskan ikut campur di Suriah. Sejak itu, ISI menjadi ISIS—Syam sebenarnya tak hanya meliputi Suriah, melainkan juga Yordania, Lebanon, dan Palestina.

Al-Baghdadi lalu mendeklarasikan akan sekaligus memimpin pula Jabhah an-Nusrah (JN), afiliasi Al-Qaeda di Suriah. Namun, Abu Muhammad al-Julani, pemimpin JN, menampik klaim sepihak al-Baghdadi. Al-Julani mengaku tetap di bawah kepemimpinan AQC. Az-Zawahiri menolak mengakui otoritas al-Baghdadi. Al-Qaeda dan ISIS pun pisah ranjang.

Jadi, JN yang disokong Al-Qaeda bertarung melawan ISIS, atau sekurang-kurangnya melakukan pembagian wilayah kekuasaan. Di Suriah, ISIS berhasil menguasai beberapa distrik di belahan timur laut dan mendapat pasokan prajurit dari pembelot JN, serta “relawan” jihad dari beberapa negara. Kini, ISIS telah mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islam dengan luas kekuasaan signifikan di Irak dan Syam.

Kondisi di Irak dan Suriah kini sudah begitu karut-marut, chaos. Ada banyak aktor bermain. Di pihak oposisi—untuk tak disebut pemberontak—Suriah kini setidaknya ada tiga jenis; FSA (Free Syrian Army, yang mendapat sokongan dari Qatar, Saudi, dan beberapa negara Barat), JN, dan ISIS. Ketiganya, meski punya tujuan yang sama untuk menumbangkan rezim setempat, tidaklah satu tubuh dan satu platform politik, bahkan saling memerangi. Menyedihkan!

Friksi yang terjadi di antara ketiga kelompok itu, dalam satu aspek tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi rezim Bashar al-Assad di Suriah; Daripada mereka bersatu, biarkan mereka saling menghancurkan. Namun, bagi rezim al-Maliki di Irak, ISIS adalah ancaman sangat serius bagi kedaulatan politiknya, ada negara (separatis) dalam negara.

Ancaman Serius

Sebelum pecah kongsi, ISIS adalah cabang Al-Qaeda yang terkuat dari segi militernya. Dengan berpisahnya ISIS, Al-Qaeda kehilangan kendali di Irak. Az-Zawahiri sempat mengajak bersatu, tapi ditampik al-Baghdadi.

Pastinya, dalam setahun terakhir ISIS menjadi kelompok islamis-jihadis dengan perkembangan tercepat. Penyebabnya antara lain, pertama, kondisi karut-marut di Suriah dan Irak. Sudah tiga periode kekuasaan al-Maliki dan Irak terus dilanda bukan saja sentimen akut sektarian antara Sunni dan Syiah, melainkan juga pembelotan beberapa suku seperti Kurdi, Anbar, dan penduduk Basrah.

Pendek kata, pemerintahan al-Maliki, selain persoalan korupsi dan stabilitas negara, mengalami defisit legitimasi yang akut. Irak jadi negara gagal (failed state).

Kedua, ISIS sangat memanfaatkan sentimen sektarian Sunni-Syiah untuk membangun pamor di dunia Islam dan menarik para jihadis. Kebetulan, rezim di Irak dan Suriah adalah sama-sama Syiah—meski beda aliran.

Ketiga, sesuai proposisi yang sudah teramini dalam beberapa pengalaman pasca-Arab Spring, negara yang menderita fragmentasi sosial-politik yang tajam sangat rawan disusupi gerakan ekstrimis. Kemunculan tiba-tiba ISIS, JN, dan yang semacamnya, bahkan bergerak cepat, tak lain adalah konfirmasi dari hal itu.

Deklarasi “khilafah” dari ISIS ini jelas menjadi ancaman besar bagi stabilitas Timur Tengah. Deklarasi itu berarti pernyataan perang terhadap setiap lawannya—sangat mungkin sampai titik darah penghabisan. Apalagi, para jihadis itu memakai doktrin yang sangat rigid, copy-paste seharfiah-harfiahnya dari praktik kekhilafahan (atau tepatnya “dawlah”) Islam masa lampau.

Bisa dibayangkan jika “khilafah” Islam ala ISIS ini mengadopsi hukum perang era Abad pertengahan (yang sebenarnya bukan khas Islam, tapi jadi hukum perang internasional zaman itu); Mereka yang kalah perang bisa jadi budak; ada pembagian rampasan perang (ghanimah); ada pajak kepala (jizyah) untuk nonmuslim dzimmi; dzimmi jadi warga negara kelas dua; dan seterusnya. Jika Anda menyimak di jejaring sosial tentang bagaimana ISIS memperlakukan tawanannya, itu sangat mengerikan bagi orang sekarang.

Sikap Internasional

Deklarasi “khilafah” Islam itu bukan saja akan menyasar mereka yang dianggap “kafir”, melainkan juga sesama jihadis. Jika benar ISIS mengadopsi tata hukum Islam klasik bahwa pemberontakan itu haram, segenap islamis lain (Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan lain-lain), meski bervisi sama, akan dipaksa tunduk dan berbaiat pada “khilafah” Abu Bakr al-Baghdadi. ISIS akan mengumumkan perang melawan para pemberontak (harb al-baghy). Jelas, Irak dan Suriah akan jadi medan “perang kurusetra”; perang habis-habisan.

Sampai saat ini belum ada sikap serius dari negara-negara Barat. Tentu saja Washington masih harus menghitung untung-rugi. Arab Saudi juga demikian (adanya ISIS sedikit-banyak menguntungkan Saudi tanpa harus terjun ke medan), meski beberapa ulamanya mendaku berlepas diri dari aksi-aksi brutal ISIS. Iran sudah tegas akan menurunkan pasukannya untuk melawan ISIS, terutama setelah ISIS berencana akan menggempur Najaf dan Karbala, dua kota suci Syiah.

Begitulah, demikian banyaknya pemain politik dan militer yang bermain di tengah chaos Suriah dan Irak, menyebabkan intervensi asing mesti berhitung cermat, menjadikan Timur Tengah terjebak dilema; antara perang penghabisan atau membiarkan kekuasaan jihadis makin melebar.

Dalam konteks seruwet itu, negara-negara Barat tak bisa bicara soal demokrasi. Atau, boleh jadi, kenyataan itu malah makin mempertegas tesis Arab-exceptionalism: negara-negara Arab, demi stabilitas, hanya bisa diatur dengan tangan besi otoritarianisme, sebab demokrasi berarti membuka keran ekstremisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar