Sabtu, 26 Juli 2014

Bertangan dan Berjari

                                              Bertangan dan Berjari

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 24 Juli 2014
                                                


ANEKA peristiwa politik di Indonesia sering memunculkan adegan akrab dan hangat: bersalaman. Sejak proses awal pelaksanaan Pilpres 2014, dua pasang capres-cawapres sering bersalaman saat tampil dalam acara-acara di KPU dan tempat perdebatan.

Kita mendapati ekspresi kebersamaan demi Indonesia. Bersalaman tak cuma gerakan tangan dari dua manusia untuk saling terhubung. Sejarah kultural dan etika politik telah mengajarkan bahwa bersalaman adalah representasi pertalian atau relasi, bermakna perkenalan, perdamaian, rekonsiliasi, dan solidaritas. Kita menganggap adegan bersalaman antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah ekspresi politik beradab, acuan keteladanan dalam berdemokrasi.

Mereka tak sedang ”bermusuhan” demi kekuasaan. Bersalaman menjadi bukti kemauan mengabdi bagi Indonesia, berbekal amanat dari hasil coblosan, 9 Juli 2014. Tangan saling salaman adalah kebersamaan untuk Indonesia. Mereka memang sering bersalaman dengan misi para pendukung turut menjaga situasi politik, saling menghormati dan mencipta kerukunan.

Bersalaman tak cuma repetisi tapi pengukuhan makna kebersamaan. Berdemokrasi dengan tangan memberi pendidikan demokrasi. Tangan menjelma simbol politik. Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi berjudul ’’Tangan’’ (1976) mengingatkan: seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang/ memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan/ pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam.

Tangan untuk ”lambai” dan ”salam”. Gerakan tangan memuat pengertian-pengertian populis dan ”romantis”. YB Mangunwijaya (1986) mengungkapkan,’’ Tangan adalah bagian tubuh paling dinamis. Tangan merupakan perpanjangan otak dan perasaan sebagai alat mengabdi namun juga sebagai juru bicaranya.” Tangan dalam politik menjadi juru bicara perdamaian dan kerukunan. Bersalaman membuktikan kehendak- kehendak saling berbarengan memperbaiki dan mengubah nasib Indonesia.

Tubuh sebagai ekspresi politik dalam agenda demokrasi makin bermakna dengan pengenalan salam dua jari. Semula, Joko Widodo mengajak publik mengedarkan salam dua jari, bermaksud mencipta harmoni di Indonesia. Salam dua jari menggerakkan jutaan orang. Mereka memiliki harapan atas Indonesia. Di pelbagai kota dan desa, orang-orang mendemonstrasikan salam dua jari.

Mereka beranggapan ada imajinasi kolektif diperantarai oleh jari. Prabowo Subianto pun mengenalkan ekspresi satu jari sebagai ajakan meraih kemenangan dan keutamaan bagi Indonesia. Satu jari dan jari berbarengan membentuk makna berdemokrasi. Ekspresi politik dengan jari menjalar secara cepat dan masif. Jari berperan untuk salam. Ingat, ”salam” berarti damai, hormat, tabik (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1952).

Pemaknaan makin menguat dengan eskpresi jari. Peristiwa coblosan dan publikasi hitung cepat, 9 Juli 2014, menimbulkan ketegangan politik. Jokowi dan Prabowo selalu berpesan ke pendukung untuk santun, sabar, tenang. Keduanya menghendaki ada ”pengendalian diri” agar proses demokrasi bisa berjalan dengan lancar.

Belum Pudar

Hari-hari menegangkan mulai mendapat kepastian saat KPU mengumumkan secara resmi hasil penghitungan suara, 22 Juli 2014. Sebelum hasil diumumkan ke publik, Prabowo berpidato di Rumah Polonia, mengatakan menolak hasil pilpres dan menarik diri dari proses pelaksanaan tahapan penghitungan suara.

Para elite politik dan publik mulai bingung dan resah. Sikap politik telah ditampilkan meski di luar ramalan. KPU menghormati keputusan Prabowo dan Koalisi Merah Putih tapi proses pilpres harus tetap berlangsung. Harapan rekonsiliasi belum pudar. Komunikasi masih terus berlangsung di jajaran elite politik. Mereka berikhtiar mencipta ketenangan dan perdamaian. Tangantangan siap bersalaman sebagai ekspresi rekonsiliasi.

Ekspresi jari pun mulai diusulkan oleh Jokowi demi Indonesia. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, 22 Juli 2014, Jokowi dan JK memberikan pidato kemenangan, berisi ajakan-ajakan tentang perubahan Indonesia dengan bergerak bersama. Joko Widodo berkata, ’’Lupakanlah nomor 1 dan lupakanlah nomor 2. Marilah kembali ke Indonesia Raya. Salam 3 jari. Persatuan Indonesia!’’ Kemenangan tak diekspresikan dengan arogansi dan sorak berlebihan.

Kemenangan penting tapi rekonsiliasi sangat penting. Pesan sudah gamblang bahwa kita bergerak bersama membangun Indonesia. Jokowi pun memberi pujian bagi Prabowo-Hatta,’’Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan tinggi kepada Bapak Prabowo Subianto dan Bapak Hatta Rajasa.”

Mereka memang tak bermusuhan. Ingat, sejak mula mereka sering bersalaman, bergandengan, berpelukan sebagai ekspresi kematangan berpolitik. Ekspresi salam tiga jari makin menjelaskan ajakan rekonsiliasi, mengacu ke Pancasila. Politik mutakhir mulai memiliki ekspresi impresif dengan adegan bersalaman dan salam tiga jari demi Indonesia. Politik memang tak selalu kata-kata atau pidato. Tubuh justru menjadi ekspresi politik berpengaruh dalam agenda demokrasi.

Kita menginsyafi tubuh adalah bahasa populis untuk mengerakkan publik mengabarkan etika politik dan demokrasi beradab. Tangan dan jari sanggup mengajak elite politik dan publik berbarengan mewujudkan rekonsiliasi, mencipta sejarah persatuan dan perdamaian bagi anak dan cucu. Begitu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar