Kamis, 24 Juli 2014

Curang

                                                                    Curang

Katamsi Ginano  ;   Penggemar Buku
KORAN TEMPO, 22 Juli 2014
                                                


Mengutip perkataan calon presiden (capres) Prabowo Subianto, Sabtu, 19 Juli 2014 ("Prabowo Desak Pencoblosan Ulang"), tempo.co menulis, ''Insya Allah, kalau tidak ada kecurangan, kami akan menang.''

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka (2005) mengartikan "curang" sebagai "tidak jujur", "tidak lurus hati", "tidak adil"; serta kecurangan adalah "perihal curang", "perbuatan yang curang", "ketidakjujuran", dan "keculasan". Mengingat pemilihan presiden 2014 hanya diikuti oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sinyal curang capres Prabowo jelas ditujukan kepada pesaingnya.

Dugaan itu adalah isu yang sungguh serius. Terlebih karena perilaku curang biasanya lebih mampu dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki sumber daya lebih digdaya.

Berhimpun di Koalisi Merah-Putih yang digagas Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo-Hatta didukung oleh enam partai yang total menguasai 63 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019. Sebaliknya, penyokong Jokowi-JK, yang dipimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang beroposisi di parlemen dan pemerintahan sejak 2004, hanya meraih 37 persen kursi di DPR. Dominasi Prabowo-Hatta kian sempurna karena didukung oleh Partai Demokrat sebagai ruling party dan pemimpin koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab) yang 10 tahun terakhir berkuasa di negeri ini; tokoh-tokoh publik terkemuka; bahkan media massa, terutama televisi.

Kekuatan itulah yang dipertontonkan pada Selasa, 8 Juli 2014, tatkala mereka satu suara menetapkan RUU Perubahan Terhadap UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Konsekuensinya, PDIP sebagai partai politik peraih suara terbanyak dalam pileg 2014 belum pasti menduduki kursi pimpinan DPR sebagaimana yang sebelumnya lazim dipraktekkan.

Dengan demikian, isu curang yang kini dimainkan oleh kelompok Prabowo-Hatta gagal menemukan landasan logis dan faktual. Isu ini justru menyikut kawan seiring, terutama Partai Demokrat, dan lebih khusus lagi Presiden SBY. Bahwa Presiden tak kompeten mengendalikan laku alat-alat negara dan wewenang yang ada di genggamannya.

Tafsir itu bukan tanpa alasan. Publik, misalnya, dapat menjadikan keterlibatan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah, Setiyardi Budiono, menerbitkan tabloid "Obor Rakyat" sebagai rujukan dugaan ketidakbecusan itu.

Di sisi lain, penyelenggara pilpres adalah KPU yang dipilih (dari kabupaten/kota hingga pusat) dengan melibatkan DPR yang dikuasai Partai Demokrat dan koalisinya di Setgab, yang kini menjadi penyokong utama Prabowo-Hatta. Maka, boleh dikata, dugaan curang capres Prabowo tak lebih dari rengekan "jagoan" kekar berotot dan merasa pintar bertarung, yang tak dinyana keok dihajar lawan yang sejak mula cuma dianggap anak bawang.

Selain karena kesadaran dan pilihan politik sebagian besar rakyat, kemenangan pasangan Jokowi-JK dan koalisi "kurang berdaya" yang mengusung mereka tak lepas dari kecerdikan menyiasati "the advantages of disadvantages". Sebaliknya, kekalahan Prabowo-Hatta dan raksasa Koalisi Merah-Putih tak lain disebabkan oleh abai mewaspadai "the disadvantages of advantages"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar