Kamis, 24 Juli 2014

Kebijakan Subsidi 2015

                                            Kebijakan Subsidi 2015

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan
KORAN JAKARTA, 21 Juli 2014
                                                


Pada awal bulan ini, pemerintah dan DPR menyepakati kebijakan belanja pemerintah dalam proses penyusunan Rancangan APBN (R-APBN) 2015. Secara umum, ada 9 kebijakan belanja pemerintah pusat di tahun 2015 tersebut. Yang cukup menarik dicermati menyangkut upaya meningkatkan efektivitas subsidi.

Hal itu ditempuh melalui pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, peningkatan program konversi BBM ke BBG, pengembangan gas kota. Ada juga pengembangan energi baru dan terbarukan serta pengalihan secara bertahap subsidi barang ke orang (targeted).

Subsidi BBM betul-betul menakutkan. Berbagai upaya telah dilakukan, tapi belum optimal. Tahun lalu, misalnya, dikeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pembatasan Penggunaan BBM Bersubsidi di kalangan PNS/PNSD dan BUMN/BUMD, tapi tidak sukses.

Ada juga pemasangan radio frequency identification (RFID) pada kendaraan pribadi, juga kurang optimal membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Sebelum akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi per Juni 2013, pemerintah juga sempat berpolemik lewat ide dual price BBM bersubsidi.

Dengan perbedaan harga, kendaraan pribadi berkapasitas besar, SPBU wajib menjual dengan harga keekonomian, sementara untuk kendaraan pribadi berkapasitas kecil, motor, dan umum, boleh jual bersubsidi. Kemudian muncul gugatan masyarakat. Harga ganda sulit dijalankan dan lemah. Maka, 22 Juni 2013 harga BBM bersubsidi dinaikkan dari 4.500/liter menjadi 6.500/liter. Ini dibarengi juga berbagai bantuan langsung ke rakyat. Dari sisi anggaran bisa dihemat, tapi tidak dalam penghematan BBM.

Hal ini terbukti dari terus melesetnya besaran kuota BBM bersubsidi setiap tahunnya. Tahun 2012 misalnya, hingga pertengahan Desember sempat terjadi potensi kekurangan pasokan BBM bersubsidi karena kuota yang disediakan habis. Untungnya pemerintah dan DPR segera mencapai kesepakatan menambah alokasi kuota BBM bersubsidi.

Tahun 2014 ini pun, pemerintah dan DPR sepakat untuk bekerja ekstra effort demi menjaga besaran kuota BBM bersubsidi tidak meledak di atas pagu 48 juta KL yang telah disepakati sebelumnya dalam APBN.

Upaya menekan besaran kuota BBM bersubsidi sebetulnya bukan yang pertama dilakukan. Hampir setiap tahun pemerintah dan DPR berusaha semaksimal mungkin mengendalikan kuota BBM bersubsidi, meskipun yang terjadi justru alokasi yang selalu over kuota. Tahun 2007 misalnya, kuota premium ditetapkan 16,58 juta KL dengan realisasi 17,92 juta KL, sementara tahun 2011 kuotanya 24,5 juta. Realisasinya 25,5 juta KL. Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) memprediksi konsumsi BBM bersubsidi tahun ini akan mencapai 48,97 juta KL.

Kenaikan kuota BBM bersubsidi tentu memberatkan APBN. Tahun 2007, besaran subsidi BBM yang harus direalisasikan pemerintah mencapai 83,8 triliun atau 55,8 persen total belanja subsidi. APBN-P 2013 telah merealisasikan subsidi BBM 199,9 triliun menjadi 210,7 triliun dalam APBN 2014 dan kembali diproyeksikan dalam rencana pengusulan APBN-P 2014 hingga 285 triliun.

Berdasarkan kesepakatan paripurna DPR, APBN-P 2014 menganggarkan subsidi BBM 246,49 triliun dari 210,7 triliun. Jika ditambah kenaikan subsidi listrik 103,82 triliun, maka total subsidi energi APBN-P 2014 menjadi 350,31. Kenaikan 68,2 triliun rupiah anggaran subsidi energi tersebut, sekitar 50 triliun rupiahnya akan dimasukkan (carry over) ke APBN 2015.

Proses ini demi mengakomodasi ruang fiskal pemerintah yang sudah begitu sempit di tahun 2014, meskipun beberapa pengamat justru melihat sebagai beban pemerintahan baru.

Kebijakan umum belanja pemerintah pusat tahun 2015 memang bagus didiskusikan, namun sulit diwujudkan. Pemerintah membenahi dulu berbagai persoalan mendasar yang selama ini justru menghambat kemandekan subsidi BBM. Penetapan target penerima subsidi BBM serta pembangunan mekanisme pengawasannya atau pembangunan infrastruktur dasar gas alam rasanya lebih elok untuk dijadikan kebijakan umum pemerintah terlebih dahulu.

Jika persoalan dasar sudah terselesaikan, berbagai inisiatif yang diajukan juga wajib didukung sepenuhnya oleh presiden sebagai yang terdepan di negara ini. Keteladanan merupakan kata kunci yang harus dipraktikkan. Jangan lupa apa pun nantinya kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, seyogianya dikaji dengan saksama dan komprehensif, jangan lagi bersifat parsial dan memberikan potensi keuntungan bagi sebagian pihak serta bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.

Mekanisme dual fuel BBM bagi kendaraan pribadi, misalnya, secara teori mudah dilakukan, namun persoalan infrastruktur dan teknologi menjadi hambatan lain yang berpotensi menghambat pelaksanaannya. Belum lagi masalah moral hazard penyelundupan dan penyelewengan di lapangan.

Persoalan dari sisi supply kendaraan bermotor, khususnya pabrikan, yang harus menyiapkan konsep mobil hybrid yang dapat mengonsumsi sekaligus bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas (BBG) juga perlu dianalisis lebih mendalam. Penambahan teknologi oleh pabrikan biasanya akan diimbangi dengan kenaikan biaya produksi yang ujung-ujungnya berimbas kepada mahalnya harga jual di level konsumen.

Dengan menempatkan kepentingan nasional, berbagai ide dan gagasan tersebut wajib didukung seluruh komponen anak bangsa dalam berbagai kapasitas dan peran serta masing-masing. Jadikan juga gerakan penghematan subsidi BBM sebagai gerakan nasionalisme versi baru demi terciptanya tujuan pembangunan nasional yang lestari dan berkelanjutan antargenerasi.

Pelajaran penting lainnya koordinasi dan penyamaan visi demi menciptakan sinergi kebijakan demi konsistensi implementasi. Masyarakat sudah terlalu letih dihadapkan kepada fakta kurangnya koordinasi di tubuh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar