Kamis, 31 Juli 2014

Kemenangan yang Fitri

                                            Kemenangan yang Fitri

Jamal Ma’mur Asmani  ;   Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI, Asosiasi pondok pesantren) NU Jawa Tengah, Peneliti Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
                                                


BANGSA Indonesia mendapatkan dua momentum kemenangan yang luar biasa, yaitu kelahiran  pemimpin baru hasil pilihan rakyat dan kedatangan Idul Fitri, hari kemenangan bagi umat Islam. Dua momentum besar ini harus disyukuri sebagai babak baru perubahan yang menentukan perjalanan bangsa ke depan. Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden-wapres terpilih harus didukung seluruh komponen bangsa, termasuk yang sebelumnya tidak mendukung.

Pemimpin hasil Pilpres 2014 mempunyai tanggung jawab besar untuk mengemban amanah bangsa. Dalam aspek ekonomi, kemiskinan, dan keterbelakangan rakyat membutuhkan kegigihan dan perjuangan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan keterampilan hidup, dan terobosan kreatif penciptaan sentra-sentra industri. Terutama dalam melahirkan produk lokal yang unggul dan kompetitif.

Dalam aspek pendidikan, dibutuhkan revolusi mental dan paradigma sehingga dunia pendidikan tidak tercerabut dari fondasi moral dan budaya luhur, dan tidak lepas dari paradigma religiositas. Dalam aspek sosial budaya, dibutuhkan kiat sukses untuk memupuk persaudaraan, kohesivitas, dan semangat kompetisi yang sehat dan dinamis. Sebagian masyarakat kita tak menyadari hidup ini kompetisi sehingga mereka pasif, stagnan, dan tidak melangkah dengan aksi yang konkret dan produktif.

Dalam aspek politik, dibutuhkan idealisme membangun bangsa di atas nilai-nilai kejujuran, akuntabilitas, keberpihakan kepada kaum petani, nelayan, PKL, dan kelompok-kelompok marginal yang lain. Dalam aspek agama, dibutuhkan pendekatan keagamaan yang mengedepankan keteladanan dan internalisasi nilai secara sistematis, bertahap, fungsional, dan efektif.

Tugas berat tersebut menjadi pekerjaan rumah pemimpin baru. Tidak ada kata menyerah dalam mengemban tugas. Pemimpin dihadirkan untuk melahirkan solusi, bukan menambah masalah. Solusi yang ditunggu adalah solusi kreatif yang bisa memecahkan persoalan riil masyarakat dan bangsa dari berbagai krisis yang mendera. Seluruh kekuatan harus dipadu­kan dalam tim kerja yang solid dan profesional untuk melahirkan perubahan fundamental.

Akademisi, tokoh masyarakat, pegiat LSM, politikus, kalangan media masa, dan pengusaha harus bekerja sama secara aktif untuk menggali dan mengembangkan potensi besar bangsa ini supaya disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Idul Fitri menjadi momentum bagi bangsa dan umat Islam untuk menyingsingkan lengan baju dan membulatkan tekad untuk membangun kemandirian. Hal itu dengan berpijak kepada kaki sendiri, tidak mengekor bangsa lain, dan berani mengambil langkah tegas demi kemajuan bangsa, seperti pemberantasan KKN tanpa pandang bulu.

Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian. Fitrah adalah agama yang hanif (condong kepada perilaku yang istikamah dan meninggalkan jalan kesesatan) yang menjadi bawaan awal manusia ketika diciptakan, dan ingin selalu menyembah Allah, menerima dan menemukan kebenaran (As-Shabuni, Min Kunuzis Sunnah, t.th:9, dan Zuhaili, Tafsir Munir, 2009:11:87). Fitrah manusia adalah makhluk suci, namun mudah dikotori dengan perbuatan dosa yang disebabkan oleh gejolak nafsu, kepentingan sesaat, dan godaan eksternal yang menjerumuskan. Iblis yang dendam kepada Nabi Adam akan terus menggoda manusia agar mereka tergelincir ke jurang kesesatan.

Optimalisasi Potensi

Hanya orang-orang yang ikhlas karena Allah, dan orang-orang yang bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya, yang akan diselamatkan oleh Allah dari tipu daya iblis.
Ikhlas adalah yang mengedepankan dedikasi daripada kompensasi, sedangkan orang yang bersyukur adalah yang melakukan optimalisasi potensi demi kemaslahatan publik di berbagai sektor. Puasa, zakat, dan halalbihalal adalah momentum pembersih­an diri secara total demi upaya meraih derajat ikhlas dan bersyukur.

Puasa Ramadan menjadi wahana strategis bagi pembersihan jiwa dari segala kotoran. Puasa melatih manusia untuk meninggalkan perbuatan yang menghapus pahala, seperti berdusta, bergunjing, mengadu domba, bersumpah palsu, dan melihat dengan syahwat (al-Ghazali, Mukhtasahar Ihya’, 2004:47). Puasa mendorong manusia untuk berlatih menahan nafsu dan mengisi jiwa dengan kegiatan positif, seperti tarawih, tadarus Alquran, mengikuti pengajian, menyantuni anak yatim, dan bersilaturahmi kepada orang saleh/salihah.

Pada akhir puasa, umat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai bentuk kepedulian kepada sesama. Zakat itu adalah zakat fitrah, zakat kesucian, sebagai simbol pentingnya berbagi kepada orang lain. Bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta di berbagai bidang, seperti perdagangan, emas dan perak, pertanian, pertambangan, dan profesi profesional diwajibkan mengeluarkan zakat mal (zakat harta) jika sudah memenuhi syarat yang ditentukan.

Adapun halalbihalal dilakukan untuk merajut persaudaraan sejati lahir dan batin sehingga persatuan bangsa ini menjadi kokoh sebagai modal utama pembangunan. Kesalehan ritual dan sosial yang menjadi produk puasa Ramadan menjadi modal berharga bagi umat Islam untuk meraih kemenangan hakiki pada semua aspek kehidupan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar