Kamis, 24 Juli 2014

Kenegarawanan

                                                       Kenegarawanan

F Budi Hardiman  ;   Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara
KOMPAS, 24 Juli 2014
                                                


PERBEDAAN antara ciri politikus partai dan negarawan cukup kita kenali, sekurangnya secara intuitif. Di dalam pemilu presiden yang baru saja lewat, kedua kategori ini diandaikan ketika salah satu calon menyebut calon lain sebagai seorang negarawan, yakni dengan siratan harapan agar ia mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Kenegarawanan, statesmanship, menjadi kategori yang sangat penting, khususnya ketika negara dalam ancaman konflik sektarian.

Polarisasi politis dalam demokrasi elektoral, misalnya, bukanlah sebuah pertarungan total. Ia ”hanyalah” sebuah prosedur untuk suksesi kekuasaan secara damai. Pihak-pihak yang terpolarisasi menundukkan diri di bawah mekanisme hukum yang sama. Dengan ungkapan lain, the will to power direlatifkan di dalam batas-batas hukum. Seorang calon yang menerima kekalahan dengan ikhlas dan mengakui kemenangan pihak lawan dianggap memiliki kualitas kenegarawanan karena supremasi hukum diletakkan di atas hasrat pribadinya untuk berkuasa.

Kenegarawanan mengandung muatan-muatan normatif yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan kualitas seorang politikus partai. Di dalam demokrasi, semua warga negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki kualitas kenegarawanan sehingga demokrasi menjadi arena kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.

Tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata, seorang negarawan tidak dapat dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki oleh seorang manusia yang bijak dan bajik. Mengetahui perbedaan ini adalah sentral bagi pendidikan politis dalam masyarakat kita.

”Politikos” dan ”stasiastikos”

Kedua konsep itu dapat dijelaskan dengan ide tentang keseluruhan dan bagian-bagian. Seorang negarawan memperhatikan keseluruhan, sementara seorang politikus biasa terobsesi pada bagian-bagian. Di dalam dialog Politikos, misalnya, Plato membedakan ”politikos” (negarawan) dari ”sophistes” (sofis). Seorang sofis adalah seorang guru yang ”menjual” pengajarannya kepada orang-orang muda yang berambisi untuk karier politis.

Apa yang mereka pelajari dari seorang sofis adalah bagaimana merayu dan memanipulasi para warga negara. Ahli dalam agitasi massa, sofis adalah seorang ahli rekayasa politis yang ulung yang dapat mengubah kebenaran menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran, tentu lewat provokasi dan mobilisasi massa. Maka, Plato menyamakannya dengan stimulator monster.

Konsep sofis memang tidak dapat seluruhnya dialihkan menjadi politikus dalam pengertian modern, tetapi sulit menyangkal bahwa cukup banyak ciri politikus partai, tim sukses pemilu, dan konsultan politik dalam demokrasi elektoral mendekati ciri sofis sehingga kita boleh mengatakan bahwa politikus modern adalah saudara batin para sofis.

Kaum sofis ini mengajari para klien mereka untuk menang dalam perkara atau untuk merebut posisi kuasa, tetapi tidak membawa mereka pada kebenaran dan kebajikan yang terkait dengan kepentingan semua pihak. Mereka, seperti kata Plato, adalah stasiastikos atau expert dalam golongan karena para klien mereka tidak dibawa ke dalam kesadaran akan keseluruhan, tetapi ke dalam kepentingan sempit untuk sebagian orang.

Kenegarawanan bukanlah pengetahuan partisan, seperti yang diajarkan para sofis, melainkan pengetahuan tentang kepentingan semua pihak. Menarik untuk mencermati di sini bahwa, menurut Plato, kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan, suatu keahlian khusus, tetapi obyeknya adalah keseluruhan yang disebutnya politiké epistemé atau pengetahuan negara.

Jadi, kenegarawanan tidak diraih lewat agitasi massa atau dengan mengecoh para warga negara, tetapi lewat pendidikan karakter untuk adil, bijak, berani, dan bersahaja. Seorang negarawan adalah seorang expert dalam keseluruhan atau, katakan, seorang spesialis dalam generalitas.

Karena tidak semua politikus adalah negarawan yang ahli, hukum tetap merupakan sarana untuk mengarahkan diri pada kepentingan semua pihak. Karena itu, Plato berpendapat bahwa jika tidak ada keahlian kenegarawanan, cara terbaik untuk memerintah adalah dengan menundukkan diri di bawah supremasi hukum. Dengan menjadi ”penjaga hukum”, seorang penguasa mendidik diri menjadi seorang negarawan. Akan tetapi, kenegarawanan tidak sama dengan legalisme, kepatuhan buta pada hukum.

Menurut Plato, kenegarawanan memungkinkan seorang penguasa juga untuk menyesuaikan hukum dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Alasan dasarnya sekali lagi adalah bahwa kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan tentang keseluruhan, bukan pengetahuan partisan seorang stasiastikos.

Kenegarawanan calon yang kalah

Saya sengaja mengacu kepada Plato, pemikir dari dua setengah milenium yang silam, karena kategori-kategori yang dikemukakannya sedang kita hadapi akhir-akhir ini. Kita memiliki banyak politikus partai yang bahkan di dalam Pilpres 2014 ini nyaring mengeluarkan klaim-klaim keseluruhan, padahal kebanyakan tidak lebih daripada stasiastikos.

Pilpres bukan momen normal, melainkan sebuah momen luar biasa sebuah suksesi kekuasaan. Dalam momen normal, para politikus partai dibatasi oleh sebuah pemerintahan politis. Namun, dalam suksesi kekuasaan, mereka memiliki klaim keseluruhan untuk membentuk sebuah pemerintahan politis. Artinya, suksesi kekuasaan adalah sebuah momen luar biasa karena para politikus partai yang dalam kondisi normal bersikap sebagai expert dalam golongan sekarang mengklaim diri sebagai expert dalam keseluruhan.

Klaim itu dalam demokrasi adalah wajar karena proses demokratis seperti pemilu merupakan momen seluruh warga negara bersentuhan dengan dimensi keseluruhan politis sekalipun mereka bertolak dari kepentingan bagian-bagian. Pernyataan-pernyataan, seperti seluruh bangsa terbelah menjadi dua, dan kecemasan akan terjadinya kerusuhan setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan seolah-olah kedua kubu yang bertarung di dalam pilpres berhak atas keseluruhan, atas komunitas politis sebagai keseluruhan.
Satu hal yang dilupakan bahwa kita memiliki sistem hukum sebagai ”yang ketiga” yang menengahi suksesi demokratis itu. Di dalam negara hukum demokratis, yang ketiga ini, sistem hukum, memiliki prioritas atas para politikus partai dalam klaim atas keseluruhan. Karena itu, kualitas kenegarawanan para capres-cawapres diukur dari pelaksanaan komitmen mereka untuk menjadi ”penjaga hukum”.

Memang tidaklah mudah menerima kekalahan setelah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan harta disertai imajinasi agung untuk memenangkan pilpres. Perbedaan jumlah perolehan kedua kubu tidaklah sangat besar, tetapi lalu hanya ada satu pemenang yang boleh diterima oleh keseluruhan. Bagaimana mungkin dukungan oleh sebagian kemudian berubah menjadi dukungan oleh keseluruhan?

Itulah keajaiban sekaligus absurditas demokrasi elektoral! Karena itu, sangatlah berbahaya bagi keseluruhan jika kubu yang kalah tidak merelatifkan imajinasi politisnya di bawah sistem hukum. Menerima kekalahan merupakan sebuah keutamaan demokratis seorang kandidat yang telah terbukti memiliki dukungan suara yang hampir sama kuatnya dengan kandidat yang menang.

Kualitas kenegarawanan ditunjukkan lewat pelaksanaan komitmennya pada hukum dan demokrasi. Dengan cara itu, dia tidak bersikap sebagai stasiastikos yang dikurung oleh kesempitan kepentingannya dan yang mengancam keseluruhan, tetapi sebagai politikos yang mengutamakan kepentingan keseluruhan dan menjamin keutuhan komunitas politis. Untuk menerima kemenangan cukup dibutuhkan sikap seorang stasiastikos. Namun, untuk menerima kekalahan dibutuhkan sikap seorang politikos.

Tanpa damai sejahtera di hati dan kebesaran jiwa seorang negarawan, mustahil menerima kekalahan.

Kenegarawanan pemimpin baru

Pemimpin baru yang menang tidak lagi sendirian dengan kepentingan kubunya yang sewaktu kampanye lebih menunjukkan kepentingan kubunya. Dia sudah membawa momen keseluruhan di dalam fakta legal kemenangannya. Kualitas kenegarawanan ditunjukkan olehnya jika ia dapat merangkul kubu yang kalah di dalam sebuah gramatika kepentingan keseluruhan sebuah komunitas politis sehingga di dalamnya tidak ada lagi ”kita dan mereka”, melainkan hanya ”kita”.

Seorang pemenang yang masih berbicara dalam gramatika kepentingan golongan tak lebih daripada seorang stasiastikos yang memerintah. Orang ini berbahaya bagi keseluruhan. Kemampuan untuk mengubah gramatika kepentingan tersebut banyak tergantung bukan hanya dari karakter atau keutamaan politis seorang penguasa, melainkan juga dari sistem hukum yang membatasi kekuasaannya.

Selama Pilpres 2014, kita sudah telanjur terlalu percaya pada karakter para kandidat, padahal karakter bisa membusuk di dalam lingkungan sistem kekuasaan yang buruk. Dalam Politikos, Plato mengatakan bahwa penguasa dan pejabat yang gagal mengikatkan diri mereka pada hukum adalah seorang bajingan yang mengejar kepentingan golongannya. Membereskan negara dari para bajingan bukan pekerjaan mudah karena godaan untuk menjadi pembela golongan sendiri sangatlah besar.

Di sini kita bisa membedakan antara kenegarawanan yang sudah dan yang belum. Kenegarawanan calon yang kalah sudah terbukti begitu dia menerima kekalahan demi kepentingan keseluruhan. Akan tetapi, kenegarawanan seorang pemenang pilpres belum terbukti pada saat dia menerima kemenangannya, melainkan justru masih harus dibuktikan selama dia memerintah.

Baru dalam proses ujian panjang pemerintahannya dia akan menyingkapkan diri, entah sebagai seorang negarawan atau sebenarnya hanyalah seorang politikus partai yang mementingkan golongannya saja, seorang stasiastikos. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar