Sabtu, 26 Juli 2014

Lebaran Kemarau Kebahagiaan

                                Lebaran Kemarau Kebahagiaan

Yudi Latif  ;   Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
HALUAN, 25 Juli 2014



Seorang sahabat memohon pada pem­bantunya, “Tolonglah, Lebaran ini tak perlu mudik. Giliran saya pulang kampung. Nanti saya lipatkan gajimu.” Sang pembantu berka­ta, “Maaf tuan, saya tak mau.” Sang majikan masih merayu, “Sudah dua puluh lima tahun saya tak pulang, sedangkan kamu setiap tahun.” “Tapi, tuan bisa berbahagia setiap hari, sedangkan kebahagiaan saya hanya setahun sekali.”

Inikah gerangan yang mem­buat antrean panjang para pemudik bersepeda motor, bertaruh nyawa arungi medan hambatan, kemacetan, dan risiko kecelakaan? Apakah kehidupan Ibu Kota sebagai “ibu harapan” mengalami paceklik ke­ba­hagiaan?

Adalah William James yang menyatakan bahwa kepedulian utama manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang. Juga dalam kehidupan beragama. Keba­hagiaan yang dirasakan orang dalam keyakinannya, dijadikan bukti kebenarannya.

Pencapaian kebahagiaan tertinggi, ujar Viktor Frankl, bukanlah dalam keberhasilan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan. Berbeda dari Freud yang menjang­karkan kebahagiaan pada kenik­matan-seksual, dan Adler pada kehendak untuk berkuasa, Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning) sebagai sumber kebahagiaan tertinggi.

Tetapi apa artinya makna hidup jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung kemiskinan, kekalahan per­saingan, pungutan liar, ketidak­pastian hukum, tipu daya partai politik yang sekadar rajin kibarkan bendera tanpa keter­libatan di akar rumput, serta para pemimpin yang ke­pe­du­liannya se­batas menaik­kan gaji dan harga tanpa kesang­gu­pan me­mulih­kan hara­pan.

Dalam kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang-orang akan mencarinya dengan berpaling ke bela­kang. Kepu­langan ke kampung hala­man dengan segala klange­nannya sambil merembeskan rezeki pada akar jati diri merupakan meka­nisme katarsis demi mengisi kekosongan makna hidup.

Demikianlah, mudik Lebaran merupakan peristiwa yang amat heroik. Kalah dalam hidup, berani menghadapi kenyataan. Tak seberapa rezeki ter­kumpul, gembira berbagi pada sesama. Kegagalan negara menyediakan ke­rangka solidaritas fungsional bagi redis­tribusi kekayaan hingga ke perdesaan, tertolong oleh heroisme korban-korban pem­bangunan yang dengan soli­daritas emosio­nalnya mampu membawa balik nutrisi ke akar.

Drama ini tidak berhenti di situ. Partai politik dan pemimpin pemerintahan yang mestinya menjadi wahana penguatan solidaritas fungsional lewat perundangan dan kebijakan negara yang berorientasi kese­jahteraan dan pemerataan, justru lebih berintervensi secara ad hoc dalam bentuk-bentuk solidaritas emosional-karitatif. Partai dan pemimpin politik yang dalam kinerja institusionalnya lebih berpihak pada kepentingan korporatokrasi, berlomba menge­sankan populismenya secara aji mumpung seperti lewat Tarawih keliling atau bantuan terbatas kepada para pemudik.

Masih bagus, jika usaha meraih du­ku­ngan dari para kor­ban pem­ba­ngu­nan ini m­asih se­na­pas de­ngan se­mangat Idul Fitri. Semangat I­dul Fitri ada­­­lah semangat per­saudaraan u­ni­­ver­sal, bah­­wa setiap anak ma­nusia terlahir da­lam “ke­jadian asal yang suci”.

Da­­lam ke­fit­rahan ma­nu­sia,Tuhan tidak pernah partisan-memihak seseorang atau golo­ngan tertentu-melainkan kualitas keberserahan diri dan amal salehnya. Oleh karena itu, atas nama semangat Idul Fitri, semoga pemimpin politik tidak mengor­bankan para korban ini dengan mengadunya di altar pil­pres, atas nama ideologi komu­nalistik, demi kepentingan elitis.

Sebaliknya, dengan semangat Idul Fitri, semoga kasih ketu­hanan merembesi jiwa-jiwa suci ini, mengisi relung jiwa politik yang memung­kinkan suara kasih dan etik bergema dalam kehi­dupan bangsa.

Hanya dengan kemam­puan memulihkan kebai­kan cinta-kasih dan cinta-moralitas, kepadatan ber­ibad­ah selama Ramadan bisa meng­hadirkan kemenangan sejati.
Nabi Muhammad bersabda, “Maukah aku tunjukkan perbua­tan yang lebih baik daripada puasa, salat, dan sedekah? Kerjakan kebaikan dan prinsip-prinsip yang tinggi di tengah-tengah manusia.”

Para pemimpin dituntut untuk mawas diri. Dalam terang mawas diri ini, akan tampak bahwa kesulitan warga mencari kebaha­giaan disebabkan oleh tabiat para pemimpin yang melupakan (tak mensyukuri) kebahagiaan, karena rangkaian panjang keinginan yang tak pernah berakhir.

Sa’di berkisah, “Seorang raja yang rakus bertanya pada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ‘Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat.”

Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga, ketika kita saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi pertum­buhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongro­ngan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.

Thich Nhat Hanh, dalam The Miracle of Mindfulness, me­ngisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar mengajukan perta­nyaan kepada seorang biksu. “Kapan waktu terbaik menger­jakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu? Biksu itu pun menjawab, “Waktu terbaik adalah sekarang, orang ter­penting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah mem­beri kebahagiaan bagi orang sekelilingmu.”

Dengan “lebaran” (kepur­naan), semoga musim kemarau kebahagiaan berakhir. Dengan kembali rahim fitri, semoga bisa kita suburkan kembali pohon kebahagiaan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar