Sabtu, 26 Juli 2014

Mudik

                                                                     Mudik

Agus M Irkham  ;   Pegiat Literasi
KORAN TEMPO, 25 Juli 2014
                                                


Satu lema yang akrab, ketika Ramadan menjelang paripurna, yaitu mudik. Orang rela bersusah-payah demi mendapatkan pagi 1 Syawal di kampung halaman, meskipun kaki terasa pegal lantaran berdiri saat membeli tiket dengan antrean mengular. Badan lungkrah penat karena berbilang jam dalam perjalanan.

Adalah penting untuk mencoba memberikan pemaknaan/pembacaan terhadap peristiwa mudik. Buat para pemudik, mudik tidak sekadar peristiwa alamiah. Hal ini dilakoni dengan tanpa sengaja atau hanya ikut-ikutan. Tapi, hal ini betul-betul penuh kesengajaan dan mempunyai alasan atau pijakan yang mendasar. Golongan masyarakat yang tidak mudik pun menjadi tidak sibuk dengan prasangkanya sendiri. Mereka akan paham, dan memaklumi, mengapa jutaan orang berkeras pulang kampung, betapapun melelahkan dan menghabiskan banyak uang.

Dalam bingkai psikologis, mudik paling kurang mempunyai dua makna. Pertama, menjadi semacam angop (kuap) berjemaah. Angop merupakan mekanisme mikro, sekaligus makro-kosmos yang bersifat limbah. Ketika tubuh lelah, ia muncul begitu saja, tanpa kita undang, guna menyeimbangkan kembali kondisi fisik dan psikis. Demikianlah hal yang dikatakan Emha Ainun Nadjib. Jadi, mudik berposisi sebagai jeda atau sela atas keletihan menjalani jelujur kehidupan kota yang hampir tanpa koma.

Kedua, di samping menjadi semacam kanalisasi kekalahan hidup, dalam waktu berbarengan, mudik juga menjadi ajang perayaan kemenangan hidup. Hal ini berkait jalin dengan pamrih utama orang hijrah ke kota, yaitu perbaikan ekonomi. Soal ekonomi ini menjadi motivasi utama seseorang melakukan mobilitas vertikal, berupa peningkatan martabat/status sosial di lingkungan asal. Dengan demikian, mudik dapat dimengerti sebagai panggung ekspresi perjuangan hidup dan pembuktian diri.

Dalam dimensi spiritual, mudik merupakan bentuk kerinduan orang untuk kembali kepada yang suci. Sebab, melalui mudiklah kita sebenarnya diingatkan kembali kepada awal kejadian kita, yaitu kehidupan rumah, di mana untuk pertama kalinya kita melihat dunia. Kita mencenungi saat berada di kandungan ibu. Kandungan disebut pula sebagai rahim. Tuhan pun diseru dengan sebutan ya rahim. Kasih sayang Tuhan mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu.

Melalui mudik, manusia diajak kembali untuk membaca halaman pertama buku kehidupannya. Bersua dengan saudara, orang tua di kampung halaman, atau menziarahinya, membantu para pemudik mengentalkan makna Lebaran: saling memaafkan, kembali kepada kesucian, sekaligus teringat bahwa satu waktu pasti akan kembali ke titik nol. Baik nol dalam pengertian semua bermula dari ketiadaan eksistensi (peran) maupun dalam ranah dunia milik (perolehan material). Dengan begitu, melalui mudik, kita dingatkan lagi pada semua titik perjalanan hidup berawal.

Jika halaman pertama buku kehidupan itu adalah ketidaan peran dan milik, mudik seyogianya mampu mendorong kita untuk bergegas menyemai bibit-bibit kebaikan di tiap-tiap lembar berikutnya buku kehidupan. Dan itu dilakukan dalam rangka menghadapi mudik yang sesungguhnya, kembali ke rahim Tuhan, saat seluruh lembaran halaman buku kehidupan kita ditutup. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar