Sabtu, 26 Juli 2014

Presiden Baru dan Krisis

Presiden Baru dan Krisis Lingkungan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas Sumatera Utara;
Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
SINAR HARAPAN, 24 Juli 2014
                                                


Selasa, 22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional. Presiden baru dan wakilnya yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan patut kita dukung secara baik. Layaknya sebuah kompetisi, tentu harus ada yang menang dan ada yang kalah. Hal yang menjadi salah satu pertanyaan yang segera dijawab presiden terpilih adalah, bagaimana arah pembangunan lingkungan hidup lima tahun ke depan?

Dalam debat capres yang di gelar beberapa waktu lalu, mencuat pendapat bahwa lingkungan hidup menjadi sebuah isu yang tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sayangnya, krisis lingkungan dan strategi mengatasinya belum sepenuhnya tersentuh secara baik dalam debat yang diselenggaran KPU tersebut.

Para kandidat belum tampak memiliki konsep dan rencana kebijakan yang komprehensif di bidang lingkungan untuk ditawarkan kepada masyarakat. Rumusan konkret penyelamatan lingkungan seharusnya dapat menjadi way of life pemerintahan hasil Pemilu 2014, mengingat dampak pemanasan global akan bermuara pada krisis air dan krisis pangan yang kian masif di masa datang.

Bagi rakyat, presiden baru yang pro lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya, persoalan lingkungan hidup menjadi salah satu isu penting pembangunan ekonomi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Berbagai pelanggaran etika lingkungan hidup yang kerap terjadi menjadi persoalan global yang sering mengemuka di tengah diskusi publik. Dari yang sederhana hingga yang kompleks.

Kita tidak pernah merasa bersalah membuang sampah di sembarang tempat; Tidak merasa risi menyajikan air mineral kemasan plastik mulai dari rapat di tingkat RT hingga DPR di Senayan; Tidak merasa berdosa menebang dan membakar hutan yang menyebabkan bencana kabut asap setiap tahun yang acap melumpuhkan perekonomian nasional.

Masalah lain yang tak kalah penting untuk segera mendapat perhatian dan penanganan pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 adalah krisis air bersih. Di sejumlah daerah, air berlebihan tetapi distribusinya tidak dikelola secara baik. Sebaliknya di daerah lain debit air bersih sangat sedikit sehingga akses masyarakat rendah. Ketersediaan air kerap tidak diikuti dengan kualitas yang baik karena tingkat pencemaran relatif tinggi (too much, too little, dan too dirty).

Terobosan Baru

Permasalahan-permasalahan lingkungan hidup tersebut perlu penanganan dan terobosan baru. Praktik-praktik bisnis besar yang terus ingin meraup keuntungan tengah menghancurkan kehidupan. Hutan belantara porak poranda digilas roda pembangunan hedonis di tengah kompetisi pasar global. Tanah, air, udara, dan laut telah beralih fungsi dari sistem yang mendukung kehidupan menjadi gudang limbah. Degradasi lingkungan yang terjadi harus dapat dikurangi dan diperbaiki.

Pelanggaran etika lingkungan ini membutuhkan ketegasan komitmen politik dari presiden terpilih. Tingkat kerusakan lingkungan hidup yang kian parah dapat menjadi mesin pendorong konflik baru untuk memperebutkan pasokan air yang makin langka. Sekadar menyebut contoh, konflik yang terjadi di wilayah Darfur, Sudan konon dipicu masalah akses ke sumber air bersih.

Pemanasan global telah memicu perubahan iklim dan berdampak pada penguapan air dari permukaan Bumi lebih cepat. Pertambahan populasi dunia yang signifikan dari 7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050, akan mendorong meningkatnya penggunaan air. Jumlah penduduk yang kekurangan air akan meningkat menjadi 3,9 miliar jiwa pada 2030. Itu mendekati separuh dari jumlah populasi dunia.

Indonesia tidak luput dari bencana itu. Kita bakal mengalami krisis pangan yang lebih buruk jika air selalu dianggap sebagai sumber daya alam yang tak terbatas. Dari perspektif pertanian, air adalah pilar kedaulatan pangan. Negeri yang dipuja subur dan makmur ini kedaulatan pangannya masih keropos karena kerap mengalami krisis air untuk pertanian.

Alam yang selama ini diharapkan bisa memasok kebutuhan air untuk sektor pertanian ternyata memiliki keterbatasan. Alam kerap dimaknai sebagai sumber air yang tak terbatas sehingga saat air berlimpah orang cenderung tak memedulikannya sebagai anugerah Tuhan. Ketika air mogok mengalir di sungai dan petani berteriak karena air menghilang dari sawahnya, kita tersentak alam punya batas untuk dikuras.

Keberhasilan pemerintahan rezim Orde Baru memutar roda pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah menetaskan bentuk kemiskinan baru. Lingkungan hidup dieksploitasi secara berlebihan. Perambahan hutan (illegal logging untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan) dikendalikan pemodal besar guna mengisap madu sumber daya alam. Banjir dan kekeringan sebagai buah perubahan iklim tak bisa dilepaskan dari disorientasi ekologi akibat kerakusan sekolompok orang terhadap nilai ekonomi hutan.
Habitus Baru

Disorientasi ekologi merupakan cermin dari persoalan kita secara keleluruhan. Kita kehilangan etika dalam segala aspek kehidupan karena selalu berjubahkan habitus lama dan berikatpinggangkan keangkuhan. Lingkungan hidup diposisikan sebagai pelengkap penderita dan ditempatkan sebagai objek yang harus di eksploitasi.

Perilaku dan sikap kita yang kian rakus menggunakan sumber daya alam telah sampai pada tingkat melebihi batas kemampuan lingkungan untuk menanggungnya. Patut disadari dampak penggundulan hutan yang sistematis bisa melahirkan monster ekologi bernama banjir bandang dan tanah longsor yang memiliki daya dekstruktif mengerikan.

Buah dari ketidakramahan terhadap lingkungan menempatkan Indonesia menjadi perusak hutan tercepat di dunia. Data FAO menunjukkan Indonesia merusak hutan sekitar 1,87 juta ha setiap tahun, atau seluas 300 lapangan bola setiap jam. Prestasi buruk ini akan melahirkan berbagai bencana alam di masa datang yang siap memangsa kehidupan manusia.

Krisis lingkungan yang kini mengancam kehidupan, menuntut kesadaran setiap warga untuk kian peduli terhadap pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi yang tidak ramah lingkungan adalah pembangunan hegemoni yang mendatangkan bencana ekologis.

Di tengah perampasan madu sumber daya hutan yang kian masif, kita berharap kepada pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 dapat mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengenakan jubah habitus baru. Memperlakukan Bumi sebagai rumah bersama dan menghentikan perilaku buruk yang menguras sumber daya alam untuk kepentingan sesaat menjadi landasan habitus baru.

Selain itu, memelihara sumber daya alam dan lingkungan memiliki arti penting dalam menyelamatkan kehidupan sebagai bagian dari revolusi mental. Revolusi mental yang belakangan ini menjadi topik yang hangat dan menarik dalam diskursus publik, harus disandingkan dengan upaya percepatan pembangunan berkelanjutan untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar