Rabu, 23 Juli 2014

Presiden Baru, Mental Baru

                                      Presiden Baru, Mental Baru

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
JAWA POS, 23 Juli 2014
                                                


Don’t become a soybean cake nation, Christopher Torchia, 1976

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) akhirnya secara resmi mengakhiri rekapitulasi hasil penghitungan suara nasional (real count) di mana pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dengan demikian, resmi sudah pasangan Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.

Pasangan Jokowi-JK semasa kampanye selalu menekankan pentingnya mentalitas bangsa dalam tiap orasi politiknya. Gagasan tentang mentalitas bangsa ini menitikberatkan supaya rakyat Indonesia melakukan revolusi mental. Kebangkitan suatu bangsa, merujuk pemikiran para the founding fathers, memang harus dibangun atau bermula dari persoalan mentalitas.

Ancaman berbahaya bagi bangsa Indonesia adalah ketika ada sebagian masyarakatnya yang berpura-pura mencintai bangsanya, padahal di balik itu mereka memiliki niat jahat untuk menghancurkannya. Misalnya dengan melakukan korupsi, menyuap, bermain politik uang, dan lain-lain. Hancurnya sebuah bangsa bukan disebabkan faktor eksternal atau adanya pihak-pihak asing yang ingin merebut serta mengeksploitasinya. Melainkan disebabkan faktor internal yang diejawantahkan dengan adanya kepentingan individu maupun kelompok dari dalam sebuah bangsa yang bersifat destruktif.

Menurut kesaksian sejarah Pramoedya Ananta Toer (2004), bangsa Indonesia sebenarnya tak pernah dijajah bangsa asing, namun dijajah sebagian kecil masyarakat dari bangsanya sendiri (kaum priyayi atau bangsawan lokal). Mereka berselingkuh dengan penguasa asing untuk menindas kaum lemah. Wujud dari kolonialisasi tahap awal adalah pembelian tanah milik kaum lemah dengan harga yang sangat murah oleh para centeng (jawara) yang disuruh kaum priyayi dan bangsawan lokal. Selanjutnya mereka menjualnya ke penguasa asing dengan harga yang sangat tinggi. Lalu tanah itu dikelola, sebagian besar untuk perkebunan dan sebagian kecil dibangun sebuah industri. Pemiliknya penguasa asing, yang mengorganisasi priyayi dan bangsawan lokal, pengawas lapangannya para centeng, sementara buruh kasarnya kaum lemah yang semula memiliki tanah tersebut.

Demikianlah wujud kolonialisasi tahap awal. Selanjutnya, secara evolusioner, kondisi itu terus berlangsung hingga mencapai titiknya yang paling klimaks, yaitu penguasaan besar-besaran atas tanah rakyat kaum lemah. Ketika tanah-tanah kaum lemah itu sudah terakumulasi, ketika penguasa lokal sudah ditundukkan dengan uang, jabatan atau kekuasaan, dan seterusnya, pada saat itu pula kolonialisasi terjadi selama lebih dari empat abad lamanya. Keberhasilan kolonialisasi yang cukup lama terjadi akibat perselingkuhan penguasa lokal dan kekuasaan asing, polabargaining kekuasaan (sharing of power) menjadi begitu ampuh. Kondisi seperti itulah yang kemudian lambat laun disebut sebagai pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda telah memproduksi mentalitas kolonial yang kemudian diwarisi sebagian masyarakat dari bangsa ini.

Menurut sejarawan Ong Hok Ham (2003), strukturasi pemerintah Hindia Belanda sangat penuh dengan nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kantor gubernuran harus dikuasai orang Belanda sendiri, sedangkan di bawah gubernuran seperti kadipaten (kabupaten) boleh dikuasai penguasa lokal yang lazimnya dari kalangan priyayi atau bangsawan. Sementara para petugas pamong pemerintahan, baik di gubernuran, kadipaten, maupun di tingkatan yang lebih bawah lagi, dijabat orang-orang terdekat dari kalangan priyayi maupun bangsawan. Jika menginginkan kenaikan jabatan, budaya permisif sangat kental terjadi, apakah melakukan kolusi dalam bentuk memberi upeti atau mengawinkan putrinya dengan penguasa yang lebih tinggi. Pendeknya, strukturasi pemerintah Hindia Belanda sangat kental dengan nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Karena itu, yang dikhawatirkan sejarawan seperti Ong Hok Ham, karena narasi sejarah pemerintah Hindia Belanda tersebut masih diwarisi hingga kini dan mata rantainya belum terputus secara mengakar. Kesalahan dari kebangkitan Indonesia pada 1945 adalah ketika saat itu tidak benar-benar melakukan revolusi sepenuhnya, dalam pengertian memotong secara habis struktur birokrasi warisan pemerintah Hindia Belanda. Yang terjadi hanyalah sebentuk pelimpahan wewenang kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda ke pemerintah Indonesia. 
Sedangkan birokrasinya masih tetap diduduki orang-orang lama, yaitu mereka para pamong dari kalangan priyayi dan bangsawan yang dulu pernah bekerja dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Konsekuensinya, hingga kini sebenarnya bangsa Indonesia masih dibelenggu birokrasi yang korup, nepotisme dan penuh dengan kolusi. Mereka kaum birokrat semacam itu berlindung di balik jubah nasionalisme keindonesiaan yang palsu (pseudo nasionalis). Bagi mereka, tak peduli terhadap kondisi bangsa ini yang masih terus dilanda krisis. Karena mereka hanya peduli dengan kepentingan individu serta kelompoknya. Sebenarnya, ketimpangan dan disparitas sosial antara ”orang kaya” dan ”orang miskin” yang terjadi begitu kontras; sebagian masyarakat naik mobil mewah, sementara sebagian lagi menjadi pedestrian sejati, ”orang kaya” tak peduli dan tak ambil pusing dengan keberadaan ”orang miskin”, dan seterusnya, kondisi semacam itu sebenarnya merupakan wujud dari budaya kolonial. Jika mau jujur, bangsa Indonesia belum sepenuhnya keluar dari terali penjajahan. Sebab, masih banyak rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan yang ekstrem, kebodohan sebagai akibat dari rendahnya kualitas pendidikan, dan persoalan lain yang masih tersisa hingga detik ini. Demikian, narasi kolonialisasi dari pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya masih berlanjut hingga kini.    

Segaris dengan pemikiran tersebut, menurut H.S. Nordholt (2004), pada derajat tertentu, krisis yang dialami bangsa Indonesia sekarang ini, yang disebabkan korupsi khususnya, adalah warisan zaman pemerintahan Hindia Belanda. 

Bagaimana pengelolaan departemen yang semestinya mengabdi kepada rakyat, justru di dalamnya banyak terjadi praktik-praktik korupsi yang sangat ekstrem. Sehingga departemen selalu mengalami defisit dan uang yang semestinya dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat justru habis lantaran dikorupsi dalam jumlah yang cukup masif. Persis ketika VOC, sebuah lembaga perekonomian pemerintah Hindia Belanda, masih ada. Padahal, VOC adalah lembaga ekonomi terbesar ketika itu. Namun, akibat adanya korupsi yang masif, akhirnya VOC mengalami kebangkrutan yang koma hingga klimaksnya: bubar.

Satu-satunya jalan bagi kebangkitan Indonesia baru sebenarnya bangsa ini harus benar-benar memutus mata rantai sejarah warisan zaman kolonial tersebut. Bangsa ini jangan sampai menjadi bangsa tempe (Don’t become a soybean cake nation), karena mentalitas rakyatnya yang masih belum mau beranjak untuk menuju serta menjemput perubahan revolusioner. Hal itu pula yang menjadi sebab tertinggalnya bangsa ini dari bangsa-bangsa lain. Karakter bangsa yang maju adalah karena berani menanggung risiko, mereformulasi hal-hal baru untuk perubahan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang berani melakukan perubahan, memutus mata rantai sejarah yang menjadi benalu perubahan, dan harus mampu membentengi diri dengan kualitas sumber daya manusia yang mapan sehingga tidak bergantung kepada bangsa lain.

Namun sayangnya, keinginan dan hasrat semacam itu selalu terbentur oleh karena dalam tubuh bangsa ini sebenarnya masih banyak kaum-kaum yang bermental penjajah. Mereka tak menginginkan bangsa ini maju. Mereka tak menginginkan rakyat bangsa ini menjadi pintar dan tercerahkan karena dikhawatirkan posisi sosialnya akan dibalik oleh perubahan. Karena itulah, kondisi sosial bangsa Indonesia yang masih serba mengenaskan sebenarnya terjadi akibat adanya pembiaran, dalam arti bukan tidak mungkin bisa diatasi. Namun, keadaan seperti itu sengaja dibiarkan karena masih ada keinginan dari kalangan tertentu yang sengaja membiarkan segala kondisi itu terus berlangsung demi keuntungan individu dan kelompok.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar