Jumat, 25 Juli 2014

Presiden Baru tanpa Bulan Madu

                              Presiden Baru tanpa Bulan Madu

Dahlan Iskan  ;   Ketua Umum Serikat Perusahaan Pers, Menteri BUMN
JAWA POS, 24 Juli 2014
                                                


INILAH presiden baru tanpa bulan madu. Sebuah tamsil yang pas untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla. Seruannya di malam kemenangan untuk jangan bikin perayaan, dan salam dua jari yang harus langsung diubah menjadi salam tiga jari, menandakan pengantin baru ini benar-benar tidak punya waktu untuk honeymoon.

Saya mendukung semua itu. Tentu saya juga memahami kalau sebagian relawan sewot. Ada di antara mereka yang berpendapat sewajarnyalah sebuah kerja keras yang membuahkan hasil gemilang dirayakan.

Ada beberapa faktor yang membuat sebaiknya memang tidak diperlukan bulan madu. Pertama, kemenangan Jokowi adalah kemenangan tipis, 53 persen. Beda dengan Pak SBY yang menang lebih dari 60 persen.

Kedua, pesaing Jokowi tidak menerima kekalahannya dengan legawa. Bahkan, kelihatannya berbagai usaha untuk menggagalkan kemenangan itu akan dilakukan di semua front: hukum dan politik.

Ketiga, kondisi ekonomi lagi sangat kurang baik: kurs rupiah, defisit neraca perdagangan/pembayaran, ancaman defisit anggaran, besarnya subsidi energi, dan banyak lagi.

Kini semua itu harus diselesaikan dengan kerja. Tidak bisa lagi dengan pidato atau selebaran.

Maka sudah sewajarnya Jokowi-JK tidak menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Harus langsung kerja. Pekerjaan pertama adalah menjalin kerja sama dengan pemerintah yang sekarang. Terutama untuk menggodok RAPBN tahun depan.

Pengajuan RAPBN 2015 adalah wewenang Presiden SBY. Namun, yang akan melaksanakan APBN itu adalah Presiden Jokowi. Jangan sampai Pak Jokowi bekerja berdasar anggaran yang dia tidak tahu alokasinya. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa dia tidak bisa mengerjakan apa yang dia janjikan dalam kampanyenya selama ini.

Padahal, janji kampanye itu akan ditagih. Penagihannya pun kelihatannya akan sangat keras. Ingat, Koalisi Merah-Putih akan memelototi semua janji Jokowi dengan mata sampai mendelik. Mereka yang saat ini memosisikan diri sebagai relawan bisa berubah menjadi kelompok kritis yang mencermati kebijakan-kebijakan pemerintah baru.

Beruntung bahwa Pak SBY menunjukkan niat yang sangat baik untuk mengajak presiden terpilih ikut menyiapkan RAPBN 2015. Meski Pak Jokowi baru akan dilantik 20 Oktober, Pak SBY akan mengajak presiden terpilih untuk membahasnya.

RAPBN 2015 sekarang sedang disusun dan diajukan ke DPR bulan depan. Tidak boleh telat. Pak Jokowi harus memasukkan program utamanya dalam RAPBN tersebut sehingga tersedia anggaran untuk melaksanakannya tahun depan.

Misalnya, di bidang kesehatan. Tahun ini anggaran BPJS Kesehatan hanya Rp 16,5 triliun. Akibatnya tidak memuaskan. Banyak sekali komplain dari pasien maupun dokter. Saya menghitung, harusnya bidang itu diberi anggaran Rp 35 triliun. Ini tidak besar, mengingat yang menikmati adalah seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya segelintir koruptor.

’’Menolong orang miskin jangan tanggung-tanggung,’’ ujar Pak SBY pada suatu saat.

Contoh lain, anggaran untuk pesantren, PAUD, dan sekolah swasta. APBN bidang pendidikan itu besarnya seperti gajah bengkak. Sudah waktunya dialirkan sampai jauh ke pesantren dan PAUD. Dan itu harus dialokasikan sekarang, dalam RAPBN 2015.

Demikian juga anggaran riset, subsidi pupuk serta benih, dan seterusnya. Dengan demikian, tahun depan Presiden Jokowi bisa langsung bekerja.

Di bidang politik, agenda besarnya adalah penggantian hampir seluruh anggota BPK. Beda dengan KPK dan OJK, DPR sepenuhnya memiliki wewenang melakukan pendaftaran, menyeleksi, dan memilih anggota BPK. Yang menyeleksi KPK dan OJK adalah lembaga independen. Hasil seleksi diajukan ke DPR untuk dipilih.

Untuk BPK, semua sepenuhnya di DPR. Transaksi politik akan luar biasa serunya. Pemerintahan Pak Jokowi akan jadi sasaran pemeriksaan yang sangat politis kalau seluruh anggota BPK yang terpilih berasal dari kalangan oposisi. Bisa saja terjadi saling umpan bola antara BPK dan DPR yang akan sangat menyulitkan jalannya pemerintahan.

Maka sungguh pantas dipertimbangkan agar ada ’’kuota’’ keanggotaan di BPK. Misalnya, 50 persen kuota diberikan untuk pejabat karir yang sudah puluhan tahun bekerja sebagai auditor di BPK atau BPKP, baru 50 persennya kuota untuk nonkarir. Dengan demikian, akan ada batasan agar BPK tidak dijadikan arena politik. Atau, bahkan ada kombinasi persentase lain yang lebih hebat.

Benar-benar pemerintahan baru yang tidak perlu berbulan madu, tidak bisa berbulan madu, dan tidak sempat berbulan madu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar