Rabu, 27 Agustus 2014

Alkohol di Tengah Ruang Publik

Alkohol di Tengah Ruang Publik

Fanny Y Irawan  ;   Alumnus Fakultas Hukum Universitas Pekalongan,
Pegiat Forum for Crime and Penal Studies, Tinggal di Batang
SUARA MERDEKA, 27 Agustus 2014
                                                


"Kita tak bisa memperlakukan pemabuk dengan memasungnya agar orang lain terhindar dari perilaku buruknya"

Manusia adalah binatang yang berpikir, kata Aristoteles, ribuan tahun lampau. Senada dengan pernyataan tersebut, Imam Al Ghazali pun berujar al insanu hayawanun nathiq, manusia adalah binatang yang berakal. Meskipun itu bukanlah pendapat baru, konsepsi pemikiran keduanya belum usang sehingga tetap relevan hingga saat ini.

Dengan kata lain, yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Dengan karunia berupa rasionalitas yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu menimbang segala tindakan dan perilakunya berdasarkan perhitungan logis. Hal itu jelas tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Manusia membutuhkan kemampuan akal sehatnya untuk hidup dan berinteraksi dengan manusia lain. Akal yang berfungsi secara normal menjadi prasyarat dasar bagi manusia berperilaku selayaknya manusia yang bertanggung jawab atas segala konsekuensi perbuatannya.

Lantas bagaimana mengaitkan perilaku manusia dengan alkohol dalam minuman keras? Bayangkan andai manusia di bawah pengaruh alkohol berada di tengah masyarakat. Pengaruh alkohol menurunkan fungsi kesadarannya yang merupakan prasyarat dasar dapat menjalankan aktivitasnya selayaknya manusia normal. Pengaruh atau efek alkohol bisa di luar kendali akal sehat.

Beberapa hari lalu, di tengah kepadatan arus mudik Lebaran, Briptu Dwi Adi Leksono, anggota Satlantas Polres Pekalongan Kota meninggal dunia dalam tugas. Ia tertabrak pengemudi mobil yang mabuk. Cerita tentang kecelakaan yang disebabkan oleh pengendara/ penyemudi yang dalam pengaruh alkohol sebenarnya merupakan kisah lama, dan berulang.

Kisah tersebut meneguhkan pemikiran Al Ghazali bahwa manusia tanpa kemampuan untuk menggunakan akal tidak ubahnya binatang buas yang akan membahayakan manusia lain di sekitarnya. Argumennya adalah akal pikiran yang sehat merupakan tempat rasio dijalankan untuk menimbang baik buruk sebuah tindakan. Pengalaman empiris membuktikan efek alkohol menihilkan fungsi akal sehat.

Kasus itu bukan kali pertama terjadi namun harus menjadi yang terakhir. Ruang publik harus aman dari perilaku di luar kontrol akal yang membabi-buta hingga memakan korban jiwa. Regulasi yang tegas tentang tata edar dan tata konsumsi alkohol atau perda miras sudah seharusnya diterapkan.

Minuman beralkohol sebenarnya hanya dapat dibeli di tempat yang telah ditetapkan dalam perda, dengan mengacu Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tersebut. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa peminumnya, taruhlah andai sampai mabuk, tetap berada di lokasi khusus tersebut. Artinya, efek mabuknya tak bakal merugikan pihak lain.

Kasus yang menimpa anggota Satlantas Polres Pekalongan Kota bisa dialami siapa saja, dan dapat terjadi di mana saja. Selama ruang publik masih belum steril dari pengguna minuman beralkohol, tragedi itu berisiko kembali terulang. Masyarakat tentu tidak rela bila ruang publik diisi oleh orang yang hilang kesadarannya karena pengaruh alkohol.

Aturan Hukum

Padahal kita tak bisa memperlakukan orang yang mengonsumsi minuman beralkohol yang belum sepenuhnya sadar, dengan cara memasungnya supaya orang lain terhindar dari dampak buruk perilakunya, yang di luar kesadaran manusia normal. Atau menjeratnya dengan Pasal 492 KUHP dengan pidana kurungan tapi dengan membiarkannya tetap berada di ruang publik?

Ruang publik adalah ruang untuk kita semua. Cicero mengatakan ubi societas ibi ius. Terma itu menyiratkan ruang publik membutuhkan aturan hukum untuk mengatur dan sekaligus menumbuhkan rasa aman bagi tiap anggota masyarakat yang beraktivitas di dalamnya. Bisakah itu terwujud bila regulasi tentang konsumsi alkohol belum diatur secara jelas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar