Jumat, 29 Agustus 2014

Kapan Perang Berakhir?

Kapan Perang Berakhir?

Smith Alhadar  ;   Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
REPUBLIKA, 27 Agustus 2014
                                                


Penghentian perang Hamas-Israel, belum juga berujung. Upaya gencatan senjata yang dilakukan berkali-kali di Kairo oleh Mesir, AS, dan PBB, dan melibatkan Israel maupun Hamas-Fatah tidak mencapai kata sepakat. Masing-ma sing bersikukuh pada syarat gencatan senjata yang diajukannya. Maka, perang pun dilanjutkan sejak jeda 24 jam berakhir Selasa, 19 Agustus. Sejauh ini, perang ini hanya menghasilkan tuduhan keja-hatan perang, antikemanusiaan, kerugian besar bidang ekonomi, dan penurunan martabat Israel. Sedangkan, kematian 2.000-an warga sipil, terjadi 10 ribu pengungsi, kehancuran infrastruktur yang luar biasa, serta juga kerugian ekonomi diderita oleh Palestina. 

Kesia-siaan

Setelah gencatan senjata 72 jam, Israel menarik seluruh pasukannya dari Jalur Gaza. Israel mengklaim berhasil mencapai tujuan perangnya dengan menghancurkan 34 terowongan Jalur Gaza-Israel. Terowongan itu tidak mudah di hancurkan dalam waktu singkat. Apalagi jumlah terowongan pun kemungkinan lebih banyak dari yang diklaim Israel.

Sejak dulu, Is rael berupaya menghancurkan ratusan terowongan Gaza-Mesir tapi tidak pernah berhasil. Klaim pemerintahan PM Benjamin Netanyahu itu hanya untuk konsumsi dalam negeri demi menjustifikasi perang yang di lancarkan, yang sangat merugikan Israel, setelah upaya melucuti Hamas--yang menjadi tujuan perang utama Israel--tidak tercapai.

Penghancuran rumah-rumah dan infrastruktur Gaza, serta pembunuhan keji ribuan warga sipil, yang diharapkan memuaskan publik Israel sebagai balas dendam penculikan dan pembunuhan tiga remaja Yahudi di Hebron, Tepi Barat--sebagai pemicu perang--dan harapan agar warga Gaza kehilangan kepercayaan pada Hamas dan kehilangan legitimasi, juga tidak tercapai. Kebrutalan perang Israel itu justru memunculkan antipati komunitas internasional, khususnya masyarakat Eropa, yang selama ini memberi bantuan besar kepada Israel di bidang ekoniomi dan politik.

Publik Is rael pun mempertanyakan cara Netanyahu mengatasi Hamas setelah keluarnya puluhan kantong jenazah prajurit Israel dari Gaza. Belum lagi, biaya perang yang dikeluarkan Israel sebesar 3,5 miliar dolar AS dan kerugian ekonominya sebesar 546 juta dolar AS. Di pihak lain, AS, sekutu utama Israel, tak kuasa berdiam diri. Maka, kita menyaksikan para pemimpin utama Eropa dan AS ber seliwaran di Timur Tengah untuk menghentikan segera perang.

Sejauh ini, Hamas dan faksi-faksi pejuang Palestina di Gaza pun tidak mendapatkan apa-apa kecuali kehancuran rumah warga dan infrastruktur, yang kalau diuangkan 2,4 miliar dolar AS atau Rp 28,23 triliun.

Mengubah strategi 

Setelah melihat gencatan senjata tidak dapat dicapai karena Israel tidak dapat memenuhi tuntutan Hamas agar blokade atas Gaza dibuka dan Hamas tidak dapat memenuhi tuntutan Israel agar dilucuti atau melucuti diri, pemerintahan PM Israel Benjamin Netanyahu menarik seluruh pasukannya dari Gaza.

Tentara itu ditempat kan di seluruh perbatasan Gaza untuk perang panjang.
Perang singkat yang direncanakan semula, dengan mengerahkan seluruh kekuatan militernya, guna menimpakan kehancuran sebesar mungkin pada Gaza, diantaranya menyerang warga sipil dan rumah-rumah serta infrastruktur vital, diharapkan warga Gaza berbalik melawan para pejuang Palestina itu. Tapi kekuatan Israel itu telah berubah menjadi kelemahannya dan kelemahan Hamas berubah menjadi kekuatannya.

Perang panjang ini dimaksudkan mendapatkan kemenangan dari dampak psikologis, sosial, politik, dan militer. Israel tidak akan melakukan serangan massif dan brutal lagi, tapi serangan-serangan terbatas yang berlarut-larut untuk menciptakan situasi perang di Gaza sambil mengantisipasi serangan balasan roket-roket rakitan Hamas.

Jumlah roket milik Hamas terbatas. Bila digunakan terus dalam jumlah besar, maka dalam waktu relatif cepat senjata itu akan habis. Hamas harus menggunakan roket-roketnya dalam jumlah besar agar punya dampak signifikan, yaitu kerugian ekonomi yang cukup besar pada Israel sehingga bisa memaksa negara Yahudi itu menerima gencatan senjata dengan syarat-syarat yang didiktekan. Bila bom terus dijatuhkan Israel, akan timbul masalah sosial dan ekonomi yang akan menimbulkan dampak psikologis. Diharapkan dukungan warga pada Hamas dan Jihad Islami akan melemah. Kalau roket Hamas habis, maka mudah bagi Israel mendiktekan gencatan senjata, yang akan "menghabisi" Hamas di sana. Ini skenario Israel. 

Front Baru

Kendati perang sangat memukulnya, Israel tak dapat menerima syarat gencatan berupa pencabutan blokade dan pemulihan pengoperasian bandara internasional Gaza karena akan membahayakan posisi PM Benjamin Netanyahu dan masa depan Israel. 

Pertama, kalau blokade dicabut, maka Netanyahu akan jatuh dari kursi kekuasaan karena gagal memenangi perang. Kedua, posisi Hamas dan Jihad Islami akan semakin kuat. Ketiga, pencabutan blokade dan beroperasinya bandara internasional akan membuka akses internasional bagi Hamas dan Jihad Islami yang dapat membuka hubungan langsungnya dengan Turki di bawah Presiden Recep Tayyep Erdogan dari partai berbasis Islam yang bersimpati pada Hamas. Dan khususnya berhubungan dengan Iran yang bersedia membantu senjata dan selama ini menawarkan bantuan politik dan ekonomi pada Hamas. Khususnya lagi faksi Jihad Islami yang lebih militan dan sepenuhnya berkiblat pada Teheran. 

Posisi Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas di Tepi Barat dan AS pun tidak menguntungkan. Abbas, pemimpin Fatah, yang mengakui eksistensi Israel dan memilih jalan diplomasi mem peroleh kemerdekaan, dipertanyakan setelah jalan diplomasi tidak membawa hasil. Perundingan sembilan bulan Fatah-Israel yang diprakrasai Menlu AS John Kerry, gagal total karena pemerintahan Netanyahu tidak bersedia memberi konsesi apa pun pada Abbas. 

"Keberhasilan" jalan perang yang dipilih Hamas, yang tidak mengakui eksistensi Israel, mungkin sekali diapresisasi warga Palestina secara keseluruhan. Kecaman Abbas pada Israel atas pembantaian di Gaza, pengikutsertaan politisi Fatah dalam perundingan gencatan senjata di Kairo, dan pengerahan warga Tepi Barat memprotes tindakan Israel merupakan upaya Abbas menyelamatkan posisinya. 

Dengan begitu, kepemimpinannya diakui Hamas dan warga Palestina, serta membuka kembali jalan perundingan perdamaian dalam posisi Palestina lebih kuat. Sementara itu, sambil terus memasok amunisi pada Israel agar sekutunya itu tidak kedodoran dalam perang, Washington bekerja keras meloloskan gencatan senjata menyelamatkan muka Israel, sekaligus memelihara status quo politik Timur Tengah.

Munculnya kerusuhan di Tepi Barat menantang Israel, yang telah menewaskan remaja Palestina sehingga diharapkan terjadi eskalasi pemberontakan di Tepi Barat, merupakan upaya Abbas membuka front baru untuk tidak membiarkan Perang Gaza berlalu begitu saja.

Gencatan senjata dengan pen cabutan blokade adalah bagian dari harapan Abbas untuk menjadi modal bagi perundingan perdamaian Palestina-Israel ke depan. Keadaan sulit yang dihadapi Israel diharapkan dapat memaksa negara itu mengalah pada Hamas dan Jihad Islami.

Hanya AS dan Israel yang dapat mengakhiri penderitaan ini. Inilah saatnya Presiden AS Barack Obama memenuhi janjinya menciptakan perdamaian Israel-Palestina dalam pidatonya di Universitas al-Azhar, Mesir, ketika baru terpilih jadi presiden. Perdamaian Israel-Palestina adalah kepentingan kemanusiaan dan politik-ekonomi semua pihak.

Membuka kembali pintu perdamaian dengan Fatah, untuk mencapai kesepakatan perdamaian yang adil dan bermartabat, akan didukung warga Gaza yang telah letih menghadapi perang. Obama perlu menggunakan pengaruhnya menekan Israel agar bersedia memberi konsesi pada Palestina. Berapa banyak lagi peluru harus dimuntahkan dan darah rakyat tak berdosa harus ditumpahkan sebelum perdamaian kekal bisa diwujudkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar