Minggu, 31 Agustus 2014

Konversi Subsidi BBM

Konversi Subsidi BBM

Ahan Syahrul Arifin  ;   Ketua PB HMI, Mahasiswa Pascasarjana UI
SINAR HARAPAN, 30 Agustus 2014
                                      


Gejolak akibat BBM makin mengular. Kelangkaan BBM bersubsidi menjalar hampir di setiap daerah. Menghadapi kondisi ini, pemerintah melakukan antisipasi dengan pengendalian BBM. Melalui Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi.

Pemerintah menetapkan empat langkah pengendalian BBM yang harus diambil. Kebijakan pengendalian harus kembali dilakukan sebagaimana disebutkan Menteri ESDM, Jero Wacik, agar kuota BBM bersubsidi yang sudah ditetapkan dalam APBN-P sebanyak 46 juta kl bisa mencukupi hingga akhir tahun.

Tanpa pengendalian, kuota solar itu akan habis pada akhir November dan Premium akan habis pada 19 Desember 2014.

Empat langkah kebijakan tersebut antara lain; pertama, terhitung per 1 Agustus dilakukan peniadaan solar bersubsidi untuk kawasan Jakarta Pusat. Kedua, per 2 Agustus dilakukan pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SBPU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali, mulai 4 Agustus 2014, hanya pukul 18.00-08.00 WIB.

Ketiga, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan (SPBB/SPBN/ SPDN/AMPS) akan dipotong hingga 20 persen. Penyalurannya lebih mengutamakan kapal nelayan dengan bobot di bawah 30 gross ton (GT). Keempat, sejak 6 Agustus 2014, penjualan Premium di seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol ditiadakan.  

Beban Subsidi

Lalu, bisakah kebijakan pengendalian dapat menyembuhkan masalah subsidi energi yang sangat memberatkan ruang gerak fiskal bagi perekonomian? Patut diketahui, APBN kita terlampau besar digerogoti kanker subsidi energi. Diperkirakan hingga akhir tahun nanti untuk BBM bisa mencapai Rp 260 triliun dan Rp 104 triliun untuk listrik.

Besaran subsidi ini membuat ruang gerak fiskal menjadi sangat sempit. Apalagi, APBN banyak tersedot pada anggaran rutin untuk birokrasi. Belum lagi 20 persen APBN harus diperuntukkan untuk sektor pendidikan, ke depan APBN juga harus menyokong pelaksanaan UU Desa yang menempatkan 10 persen dari anggaran DAU dan DAK untuk desa. Ruang fiskal tentunya akan semakin menyempit. Pengendalian BBM dengan berbagai pola sebetulnya bukan menyelesaikan masalah.

Bahkan, kebijakan ini bisa disebut kontraproduktif bagi perekonomian. Sebut saja masalah yang akan muncul dari proses pencabutan subsidi energi adalah penyelundupan dan manipulasi, diversifikaasi energi nonfosil yang mandek, impor minyak yang makin tinggi. Ujung-ujungnya defisit neraca perdangan makin menebal. Bahkan, jika ditelaah lebih detail, pola penundaan kenaikan harga BBM dengan penerapan kebijakan seperti pemasangan stiker mobil dinas pemerintah, pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, penerapan mobil LCGC, pemasangan radio frequency identification (RFID), pembelian BBM bersubsidi nontunai, hingga inisiatif terakhir pembatasan lokasi dan waktu operasi penjualan solar bersubsidi bukan berdampak mengurangi BBM, melainkan membebani anggaran.

Fakta di lapangan banyak mobil-mobil LCGC yang ikut mengantre BBM bersubsidi, hal ini wajar sebab tidak ada aturan yang melarang LCGC untuk mengonsumsi bahan bakar bersubsidi.  

Cabut dan Konversi

Dilihat dari perkembangan dan aspek besarannya, subsidi BBM menjadi masalah yang sudah tidak masuk akal. Pada 2009 volume subsidi BBM sudah mencapai jumlah Rp 100,6 triliun. Tahun ini dipatok pada angka Rp 210,7 triliun. Besaran anggaran ini hanya menyebabkan polusi dan kemacetan yang tak terkendali.

Bahkan, Bank Dunia memperkirakan realisasi subsidi BBM akan mencapai Rp267 triliun. Hingga 31 Juli 2014 realisasi konsumsi solar bersubsidi sudah mencapai 9,12 juta kl atau 60 persen dari kuota 15,16 juta kl. Realisasi konsumsi Premium bersubsidi mencapai 17,08 juta kl atau 58 persen dari kuota 29,29 juta kl. Oleh karena itu, penting agar BBM bersubsidi dicabut. Apalagi, banyak disinyalir penggunaanya tidak tepat sasaran.

Data yang disulih dari penelitian ESDM (2011), menyebutkan 25 persen rumah tangga dengan penghasilan tertinggi per bulan adalah penerima alokasi subsidi 77 persen, sedangkan 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan terendah dalam sebulan hanya menerima subsidi 15 persen.

Tentunya sangat tidak adil melihat subsidi yang tidak tepat sasaran. Hal ini karena lebih dari 80 persen barang bersubsidi itu justru dinikmati elemen-elemen masyarakat yang sesungguhnya tidak berhak.

Selain menyajikan potret ketidakadilan, salah kelola BBM bersubsidi yang sudah berlangsung sangat lama jelas-jelas telah memperlemah kemampuan negara untuk membangun, baik infrastruktur maupun pembangunan manusia. Dalam dari penelitian ESDM ditemukan fakta 53 persen pengguna BBM bersubsidi adalah mobil pribadi. Secara logika pemilik mobil pribadi adalah masyarakat kelas menengah keatas.

Pengendalian juga tidak tepat. Ini mengingat selama ini sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap penggunan motor dan mobil. Pengendalian terhadap penjualan BBM sesungguhnya juga tidak tepat, mengingat tren penjualan motor dan mobil yang meningkat.

Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transpotasi berbasis angkutan massal yang memadai. Itu artinya, pengendalian agar BBM bersubsidi tepat guna bukan mengendalikan jumlah BBM, melainkan membatasi jumlah mobil dan motornya.

Melihat kondisi yang ada subsidi untuk BBM, sudah mestinya dicabut dengan dikonversikan kepada kebutuhan lainya yang lebih mendesak, misalnya infrastruktur, inovasi energi biofuel, atau penguatan SDM. Pilihan ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa agar tidak jadi penonton dalam alam globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar