Rabu, 27 Agustus 2014

Legalisasi Ganja vs Legalisasi Aborsi

Legalisasi Ganja vs Legalisasi Aborsi

Irma Garnesia  ;   Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
HALUAN, 27 Agustus 2014
                                                


Baru-baru ini ma­syarakat dikagetkan dengan santernya pemberitaan legalisasi aborsi di Indonesia. Isu yang didasari Rencana pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini memicu protes dari kelompok masyarakat. Sebagian tidak setuju dan mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi. Namun ada juga yang men­dukung PP ini dengan alasan tertentu.

Bicara soal legalisasi aborsi, tentu bukan hal main-main. Harus ada petunjuk pelak­sanaan (juklah) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas agar masyarakat tak salah paham. Anggota Komisi IX DPR, Prof. dr. H. Mahyuddin NS, SP.OG, mengatakan melalui www.ha­rian­terbit.com pada Selasa, (12/08), aborsi dibolehkan apabila ada indikasi medis berdasarkan rekomendasi oleh para ahli kesehatan, psikolog dan agama. Sebab, apabila kehamilan itu dapat menyebabkan kematian dan mengancam kesehatan ibu dan anak di dalam kandungan­nya, maka dibolehkan.
Lebih tegasnya, PP tersebut mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindi­ka­sikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. 

Sementara itu, Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Julianto Witjaksono berpendapat, dalam peraturan teknis PP, nantinya bisa dimasukkan bahwa peme­rintah menunjuk RS tertentu yang diperbolehkan melakukan aborsi pada korban pemer­kosaan. Seperti di Australia, contohnya, hanya ada satu RS yang diperbolehkan melakukan aborsi.  Banyak aspek harus diperhatikan dalam pengim­plementasian PP ini. Jangan sampai PP aborsi menjadi alasan bagi perempuan mela­kukan aborsi dengan dalih menjadi korban pemerkosaan.

Beralih ke topik lain, sebelum legalisasi aborsi menjadi kon­troversial, telah banyak pem­beritaan mengenai legalisasi ganja di Indonesia. Apa pula legalisasi ganja yang didukung oleh LGN? Legalisasi ganja yang dikutip dari situs www.legali­sasiganja.com meru­pakan  sebuah gagasan untuk member­antas perda­gangan gelap dan penyalahgunaan ganja. Organi­sasi ini ingin NKRI berdaulat dan mengelola pohon ganja (aset kapital) secara mandiri.

Lalu, apa itu LGN? Ling­kar Ganja Nasional (LGN) merupakan organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa Universitas Indonesia. Awalnya berupa Grup Facebook: Dukung Legalisasi Ganja (DLG). Jum­lah pendukung DLG mencapai angka 11.000 pada tahun 2009. Di tahun itu pula DLG mela­kukan kopdar pertama yang diinisiasi oleh salah seorang aktivis NAPZA. Mei 2010, mereka ambil bagian dalam iven tahunan “Global Marijuana March” atau GMM 2010. Aksi damai dilakukan dengan membagikan selebaran yang berisi informasi objektif terkait pohon ganja di sekitar Bun­daran HI, Jakarta.

Setelah GMM 2010, mereka rutin mengadakan pertemuan untuk mewujudkan legalisasi ganja di Indonesia. Hingga pada Juni 2010 nama Lingkar Ganja Nusantara (LGN) terbentuk. Kemudian, tentu saja banyak pertanyaan yang muncul mengenai LGN. Apa yang akan dilakukan? Apa gunanya melegalkan ganja? Bagaimana cara mencapainya dan siapa yang akan melaksanakannya? Semua itu mereka jawab dalam visi misinyanya.

Berikut visi LGN; menja­dikan pohon ganja sebagai tanaman yang dapat diman­faatkan seluas-luasnya bagi kehidupan masyarakat Indo­nesia dan umat manusia. Untuk mewujudkannya, mere­ka melakukan misi-misi ini. Pertama, melakukan penelitian terkait pohon ganja. Kedua, melakukan upaya pendidikan untuk menciptakan kesadaran kritis pada masyarakat. Kemu­dian, melakukan advokasi serta memperjuangkan terpenuhinya hak asasi manusia yang berkeadilan terkait dengan pemanfaatan pohon ganja. Terakhir, membangun komu­nitas yang peduli dengan pemanfaatan pohon ganja.

Barangkali banyak yang bertanya-tanya. Mengapa harus ada legalisasi ganja? Bukannya ganja lebih banyak mudha­ratnya ketimbang manfaatnya? Lantas, jika dilegalkan, apakah masyarakat paham cara peng­gu­naannya selain dihisap? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya Anda menyaksikan Stand Up Comedy dari Pandji Pragi­waksono mengenai manfaat ganja. Menurut Pandji, keba­nyakan orang tidak tahu kalau ganja ada dua jenis. Ada Hash dan Hemp. Keduanya meru­pakan varian ganja, tapi beda ordo. Tanamannya berbeda, hash adalah jenis yang biasa dihisap, dan hemp ini biasa dipakai industri. Jenis ini sedikit mengandung zat psiko­aktif dan tidak menimbulkan efek fisik atau psikologis. Hemp mengandung THC di bawah 0,3%, sedangkan Hash bisa mencapai 6% sampai 20%.

Pemakaiannya juga beda, hash dipakai daunnya, sedang­kan hemp dipakai batangnya. Hemp dipakai ham­pir seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Di China ratusan penduduk keluar dari garis kemiskinan karena industri berbasis Hemp. Sementara di Indonesia tidak me­ngenal dua jenis ini. Hanya ada satu undang-undang yang me­nyebutkan bahwa ganja adalah bentuk psikotro­pika yang tidak boleh diman­faatkan dalam bentuk apapun.

Seharusnya Hemp dilegal­kan. Namun masyarakat kita tidak mengerti, tahunya ganja berbahaya saja. Padahal industri berbasis Hemp tidak perlu modal besar, makanya orang miskin di China diajari berco­cok tanam Hemp. Hemp itu bisa dibikin sepatu, kemeja, celana jeans bahkan baju astronot. Bahkan kertas Decla­ration of Independent America tahun 1976 itu kertasnya dari Hemp, dan kertas itu masih ada sampai sekarang. Hemp juga bisa dipakai untuk campu­ran semen, membuat bangu­nan, Ford juga menge­luarkan mobil yang bio diesel­nya dari Hemp, badan mo­bilnya pun terbuat Hemp dari campuran Hemp. Terbayang kan peman­faatan­nya itu luar biasa? Andaikan ini legal, akan banyak orang Indonesia yang bisa keluar dari garis kemis­kinan dengan pe­manfaatan tersebut!

Satu alasan lagi mengapa ganja harus diregulasi. Menu­rut data BNN tahun 2012, pe­nya­­lahgu­na ganja berjumlah 2.816.429 orang, jumlah ini terus naik setiap tahun. Ganja dengan mudah diakses dan ditemukan. Harusnya pereda­ran ganja diatur untuk memi­ni­malkan dampak buruknya. Hukum pelarangan ganja yang sekarang justru tidak me­ngatur peredaran ganja, dan menjamin bahwa keuntungan atas penjua­lan ganja sepenuh­nya masuk ke tangan pelaku pasar gelap, bukan sebagai profit negara.

Ini bukan sekedar retorika! Penyalahgunaan ganja sudah terjadi meskipun status ganja ilegal. Bagi remaja, regulasi akan mempersempit ruang pa­sar gelap yang menjual ganja pada anak di bawah umur. Re­gulasi memastikan ganja dijual di tempat yang ditentu­kan hukum dengan ketentuan un­tuk mendapatkan ganja. Me­reka harus membuktikan bah­wa mereka cukup umur! De­ngan ini, penjual ganja akan kehi­langan hal untuk menjual gan­ja pada anak di bawah umur.

Di Belanda, ganja sudah diregulasi pengedarannya dan mengharuskan pembeli me­nunjukkan bukti bahwa dirinya adalah berhak men­dapatkan ganja. Survey WHO mendapati penurunan tingkat penggunaan ganja pada remaja sebanyak lebih dari setengah jumlah penggunaan ganja pada remaja di Amerika. Mereka yang memulai memakai ganja di usia 15 tahun, di Belanda sebanyak 7% sedangkan di Amerika mencapai 20.2%. (Sum­ber: U.S Depart­ment of Health and Human Services, National Survey on Drug Use and Health, 2008, table 1.1.A.)

Namun, kedua legalisasi ini masih tabu bagi masya­rakat Indonesia. Jika tidak melalui penyuluhan yang jelas dan lama, masyarakat akan salah paham. Diperlukan waktu agar kita mengerti tentang legalisasi aborsi maupun legalisasi ganja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar