Sabtu, 30 Agustus 2014

Mengamputasi Mandat Politik

Mengamputasi Mandat Politik

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol, Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 29 Agustus 2014

                                                                                                                       


MESKIPUN anggota legislatif 2014-2019 baru dilantik pada 1 Oktober 2014, mereka mulai mengiming-imingi kursi panas pimpinan DPR. Manuver dan komunikasi politik dilakukan melalui lobi-lobi intensif pengajuan nama kader partai ke fraksi-fraksi lain.

Harus diakui, ketua DPR masih menjadi posisi yang sangat strategis sebagai cerminan gengsi politik partai dalam mewadahi aspirasi dan mandat publik. Dialah yang secara simbolis mewakili DPR dalam berinteraksi dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, termasuk memimpin jalannya administratif kelembagaan, rapat-rapat paripurna serta menetapkan sanksi atau rehabilitasi.

Di tengah ekspektasi publik yang besar terhadap perbaikan performa DPR, peranan ketua tentu saja turut menentukan apakah perubahan kinerja dan etika dan moralitas lembaga bisa terwujud sepanjang lima tahun ke depan atau sebaliknya terus mereproduksi kekecewaan demi kekecewaan. Dan mestinya, dalam semangat itulah kita membaca dinamika persaingan di Senayan.

Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi 21 Agustus kemarin, rupanya pendulum politik Senayan mulai berubah. Semulanya sesuai kesepakatan di internal Koalisi Merah Putih, ketua MPR akan menjadi milik Demokrat, sedangkan ketua DPR menjadi milik Golkar. Namun belakangan, bursa pencalonan ketua DPR RI jadi rebutan banyak partai. Selain Golkar yang telah menyiapkan sejumlah nama seperti Setya Novanto (Bendahara Umum Golkar), Ade Komaruddin (Ketua DPP Golkar), dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), muncul nama Hasrul Azwar (Ketua Fraksi PPP yang juga Waketum PPP), Romahurmuziy (Sekjen PPP), Irgan Chairul Mahfiz, dan Dimyati Natakusumah.

Di Partai Amanat Nasional (PAN) dua nama yakni Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan), Taufik Kurniawan (Sekjen PAN) merupakan calon kuat yang digadang-gadang sebagai Ketua DPR, sedangkan Di PKS, terdapat dua kader senior yang menjadi calon kuat yakni Hidayat Nur Wahid dan Sohibul Iman. Dari partai Gerindra, nama yang dianggap layak memimpin DPR yakni Fadli Zon (Waketum Gerindra) Ahmad Muzani (Sekjen Gerindra), sedangkan Partai Demokrat sejauh ini masih menunggu arahan dari Ketua Umum-nya, Susilo Bambang Yudhoyono.

Durian runtuh

Awalnya dua partai yang alot mengincar kursi Ketua DPR adalah Golkar dan PDIP.PDIP telah solid menyiapkan kadernya, Puan Maharani, mewakili partai peraih 109 kursi DPR hasil pemilu sebagai calon ketua. Namun disahkannya UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), 8 Juli 2014, seperti membuyarkan konstelasi dimaksud.

Menurut UU tersebut, pimpinan DPR ditetapkan melalui mekanisme pemilihan secara demokratis atau dipilih oleh seluruh fraksi. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam UU 27/2009 tentang MD3 bahwa ketua DPR berasal dari fraksi dengan kepemilikan kursi terbanyak di DPR.Dengan demikian Pimpinan DPR tidak lagi otomatis berasal dari partai politik peraih kursi terbanyak, melainkan dipilih langsung oleh seluruh anggota DPR secara paket melalui sidang paripurna.Akibatnya, ruang kontestasi memperebutkan Ketua DPR kini kian melebar dan menjadi domain semua partai di Senayan.

Ibarat politik aji mumpung, demi menyambut peluang politik karena ketiban `durian runtuh' regulasi tersebut, semua elite Senayan pun berlomba-lomba menjustifikasi langkah politiknya dengan alibi kesetaraan hak politik dan ikhtiar memperjuangkan mandat rakyat. Namun, mereka lupa bahwa mandat rakyat bagi wakilnya di parlemen bukanlah tanpa syarat dan berada di ruang hampa. Setidaknya mandat yang diserahkan rakyat tersebut haruslah menjamin suatu imperasi kolektif bagi wakil-wakilnya di DPR untuk menginternalisasikan budaya politik baru yang kongruen dengan prinsip-prinsip demokrasi (Larry Diamond, 1999).

Budaya politik baru tersebut antara lain berupa pemeliharaan standar etis dan moral berlembaga, memberikan ruang apresiasi terhadap tradisi lembaga dan kesepakatan bersama serta menegasi berbagai intensi syahwat kekuasaan yang dapat mengganggu efektivitas terwujudnya keberhasilan agenda-agenda kelembagaan (DPR).

Berubahnya mekanisme pemilihan ketua DPR di atas secara lokus (tempat) dan tempus (waktu) justru dapat dianggap sebagai upaya mengamputasi budaya sekaligus mandat politik di kalangan elite karena lebih menonjolkan semangat politik parokialistik daripada menaati prosedur kelembagaan yang sudah disepakati sebelumnya.

Semangat ini menunjukkan pula kian matangnya tirani mayoritas oleh para elite kunci partai untuk memonopoli kursi dan lahan politik di internal koalisi sebagai implikasi lanjutan dari sentimen negatif game politik pileg dan pilpres kemarin. Kemungkinan, hasrat ini juga yang akan memfasilitasi penguasaan posisi alat kelengkapan dewan lainnya seperti perebutan ketua/subkomisi `basah', Banggar dan lain sebagainya yang merupakan lahan empuk praktik transaksi dan korup.

Benturan loyalitas

Jika pun muncul alasan, perubahan mekanisme pemilihan ketua DPR ditempuh demi melahirkan suatu kepemimpinan lembaga yang representatif dan berkualitas, hal tersebut pun sebetulnya terkesan absurd karena telanjur dimulai dengan semangat awal yang salah. Kendatipun semangat tak bisa diuji untuk menandai sebuah determinasi sikap politik, namun ia setidaknya bisa dilihat dan direfleksikan dari bagaimana ruang-ruang politik disegregasi dan dikapitalisasi dalam rangka membungkus agendaagenda tertentu.

Merujuk pada pemikiran WF Werthein (1956) niat politik yang deviatif atau salah (pada diri seorang wakil rakyat) selalu berpotensi melahirkan pemaknaan tugas dan posisi berdasarkan prinsip loyalitas ganda yakni antara loyal terhadap kepentingan diri/partai atau loyal terhadap kepentingan rakyat. Benturan loyalitas seperti ini kerap mengorbankan loyalitas kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik mandat karena tarikan tekanan politik partai yang kuat.

Lebih kuatnya orientasi pembentukan pansus kecurangan pilpres di Senayan daripada menyelesaikan target program legislasi nasional yang selalu keteteran mengisyaratkan kian terbelahnya loyalitas para legislator di tengah naluri berkuasa yang kian inflatif.

Inilah momentum bagi rakyat untuk melakukan pendobrakan radikal dengan mengawal setiap kinerja dan seluk beluk perilaku wakilnya di parlemen. Lewat jaringan sosial media yang ada, rakyat harus bisa memobilisasi gerakan kritisnya dengan mempersempit ruang manuver liar para wakilnya yang tengah mencoba menjauh dari agenda dan perjuangan populisme kerakyatan. Sikap apatis dan pasif (hibernation) publik akan ikut membuat fasad DPR kian kehilangan wibawanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar