Minggu, 31 Agustus 2014

Politik Pembaruan PKB

Politik Pembaruan PKB

Fathorrahman Hasbul  ;   Peneliti pada Media Literacy Circle (MLC) Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
REPUBLIKA, 29 Agustus 2014

                                                                                                                       


Pada tanggal 30 Agustus - 1 September ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan menggelar muktamar di Surabaya. Bagi pertai besutan Cak Imin ini, muktamar adalah agenda besar yang tidak saja berbicara relasi kekuasaan, tetapi agenda untuk merumuskan platform pembaruan politik. Politik rahmatan lil alamin adalah pilihan politik yang akan dirumuskan secara strategis. Entah dalam kerangka apa tema tersebut diambil, namun yang pasti naiknya suara PKB dan menangnya pasangan Jokowi-JK adalah contoh nyata bagaimana strategi politik PKB benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.

PKB adalah salah satu partai Islam yang memiliki napas nasionalisme, pluralitas, dan semangat kebhinekaan yang kuat. Di dalamnya termanifestasikan dimensi keislaman dan keindonesiaan yang berjumpa dalam satu gugus limaslahatil ummah (kebaikan bersama) dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terbukti meskipun PKB acap kali diempas gelombang berupa resentasi dan intimidasi tetapi, tetap lihai memberikan afirmasi positif dan tampil sebagai partai dewasa.

Namun, barang tentu keberhasilan tersebut bukan tanpa masalah. Peningkatan jumlah suara hendaknya tidak membuat PKB jemawa. Karakter politik Indonesia adalah politik instrumental yang acap kali mengaburkan sebuah nilai demi kepentingan parsial. Relasi politik PKB dengan seluruh konstituen pada Pemilu 2014 tidak sebatas dipahami sebagai murni konstituen  tradisional NU, tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya pemilih pragmatis yang  tidak didasarkan pada rasionalitas sebuah ideologi dari partai politik tertentu. Model pemilih sejenis ini bisa berubah sesuai arah politik yang berkembang. 

Robert Kennedy (1976) mengatakan, dalam sistem politik negara berkembang, politik adalah utopia tentang peremajaan kekuasaan yang tidak akan pernah berakhir. Kekuasaan jenis inilah yang akan  melahirkan kebijakan utopis di republik ini. Sehingga, tak pelak mayoritas partai politik akan menisbatkan dirinya dalam lingkaran politik yang hanya mengejar keuntungan pragmatis. Imajinasi semacam ini pada titik tertentu akan menciptakan paradoks politik yang tidak sehat. PKB sebagai partai berbasis Islam dan tradisi khas Indonesia dengan logika politik tradisional NU semestinya menjadi pelopor politik yang bermartabat.  Naluri politik yang telah dibangun PKB dengan asas religius dan nasionalis dengan branding politik "membela yang benar"' harus membumi menjadi kerangka kerja kepartaian.

Persolan mutakhir

Dari sinilah tanggung jawab PKB benar-benar dipertaruhkan. Euforia dan posisi Gus Dur yang pada Pemilu 1999 dan 2004 semata-mata membuat PKB jemawa tidak lagi melambung tinggi. Konflik Gus Dur versus Cak Imin telah membuat haluan PKB berubah drastis. Tidak mengandalkan Gus Dur sebagai tokoh mungkin bukan perkara mudah bagi PKB, tetapi setidaknya PKB tanpa Gus Dur telah menunjukkan kebangkitan gemilang. Reformasi struktur, gagasan kebangsaan, dan gerakan nyata merupakan deretan pembaruan yang mesti dilakukan. Sebab, hari ini PKB tengah dihadapkan pada beberapa persoalan krusial.

PKB masih dipersepsikan sebagai partai kaum Nahdliyin yang jauh dari jangkauan kaum elite dan kelas menengah ke atas. Representasi sebagai partai berbasis warga NU sedikit memicu ketegangan politik sektarian dalam imajinasi kolektif masyarakat Indonesia yang majemuk. Imajinasi dan persepsi ini muncul karena platform PKB selama ini kurang mencerminkan sikap akomodatif di luar internal konstituen NU.

Pada konteks yang sama, dalam peta segmentasi politik nasional, posisi PKB masih berada pada ruang ideologis yang masih sempit, yakni Islam tradisionalis. Sehingga, persepsi keislaman yang dibangun masih Islam kaum sarungan, sedangkan lintas kelompok Islam yang lain masih kurang tersentuh oleh PKB secara holistik. Sehingga, berpotensi memicu kecemburuan dari aliran-aliran Islam yang ada.

Komunikasi pluralitas

Dinamika politik PKB harus tampil ke permukaan dengan semangat yang benar-benar nyata. Semangat  Islam dan politik yang rahmatan lil alamin. Meningkatnya suara PKB pada Pemilu 2014 menjadi starting point dalam berbenah dan kemudian melakukan agenda strategis yang taktis.

Pertama, revitalisasi ideologi pluralisme. Melalui jalan ini PKB harus selalu menjaga dan meneguhkan kembali nilai dan prinsip ideologi yang majemuk, inklusif, dan merangkul semua golongan sesuai dengan setting kebhinekaan Indonesia. Kemajemukan dan perbedaan tersebut kemudian dikukuhkan dalam satu visi, cita-cita hidup, semangat demokrasi, untuk membangun Indonesia yang bermartabat, berkeadilan, dan berkeadaban lahir dan batin.

Kedua, menajamkan komunikasi, sosialisasi, dan internalisasi ideologi pluralisme menjadi condition sine qua non. Upaya-upaya ini  patut dilakukan oleh PKB dan ditransmisikan kepada seluruh kader, konstituen, dan masyarakat luas. Komunikasi dan sosialisasi ideologi tersebut dilakukan dalam desain pendidikan politik untuk menciptakan partisipasi dan kesadaran publik.

Ketiga, intensifikasi komunikasi ke arus bawah. Sebagai partai yang menjunjung semangat pluralitas, PKB semestinya melakukan langkah yang riil dalam mendorong implementasi pluralitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat arus bawah, masyarakat yang mudah digesek dan diprovokasi.

Semangat untuk terus membangun komunikasi pluralitas yang intensif menjadi salah satu tolok ukur politik pembaruan PKB. Politik yang menjunjung semangat advokasi dan tradisi dalam kerangka mendorong martabat politik Indonesia lebih bersemi. Sebab, kemenangan politik yang hakiki tidak dapat diukur dari sejauh mana peningkatan jumlah pemilih dalam setiap pemilu, melainkan oleh berhasilnya membangun kebhinekaan, keadaban, dan kemajemukan dalam bingkai NKRI secara berkesinambungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar