Kamis, 28 Agustus 2014

RAPBN 2015 dan Beban Subsidi BBM

RAPBN 2015 dan Beban Subsidi BBM

Aunur Rofiq  ;   Alumnus Institut Pertanian Bogor,
Pebisnis Sektor Pertambangan dan Perkebunan
SINAR HARAPAN, 28 Agustus 2014
                                                


Tanggal 15 Agustus, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyampaikan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015.

RAPBN 2015 berada dalam masa transisi, disusun periode pemerintahan SBY-Boediono, namun dilaksanakan dalam pemerintahan Jokowi-JK. Dari sisi postur RAPBN 2015, ada kemajuan yang berarti karena komposisi RAPBN 2015 untuk pertama kalinya mencapai angka di atas Rp 2.000 triliun, yakni Rp 2.019 triliun.

Terkait struktur RAPBN 2015, pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 1.762,29 triliun, naik 7,8 persen dibandingkan APBN Perubahan (APBN-P) 2014. Kontribusi penerimaan perpajakan Rp 1.370,827 triliun, naik 10 persen dari APBN-P 2014. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak berkontribusi Rp 388 triliun atau 0,3 persen dari APBN-P 2014.

Belanja negara yang mencapai Rp 2.019 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.379,875 triliun atau naik 7,8 persen dari APBN-P 2014 dan transfer daerah dan desa Rp 639,993 triliun atau naik 7,3 persen dari APBN-P 2014. Defisit terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai 2,32 persen atau Rp 257,6 triliun.

Dari belanja pemerintah pusat Rp 1.379,875 triliun tersebut, ada dua pos yang memperoleh perhatian publik, yakni beban subsidi yang mencapai Rp 433 triliun dan pembayaran bunga utang Rp 154 triliun. Beban subsidi terbesar adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM), BBN dan elpiji, mencapai Rp 246,49 triliun. Sementara itu, subsidi listrik mencapai Rp 72,42 triliun. Dengan demikian, anggaran belanja negara untuk pembangunan yang tersedia hanya 39 persen.

Dari sisi fiskal, subsidi BBM termasuk dalam pos belanja pemerintah pusat yang terus meningkat secara signifikan. Untuk 2013, beban subsidi energi dalam anggaran negara sudah mencapai Rp 310 triliun, terbagi untuk subsidi BBM Rp 210 triliun dan listrik Rp 100 triliun. Sementara itu, dalam APBN-P 2014, beban subsidi energi sudah membengkak menjadi Rp 453,3 triliun, terbagi untuk subsidi BBM Rp 350,3 triliun dan listrik Rp 103 triliun.

Kenaikan anggaran subsidi energi, terutama BBM, disebabkan beberapa hal, di antaranya pelemahan nilai tukar rupiah karena sebagian BBM masih diimpor, kenaikan konsumsi BBM domestik karena meningkatnya jumlah kendaraan, serta kegagalan target lifting minyak dan gas (migas).

Postur RAPBN 2015 di satu sisi meningkat signifikan, namun belum memberikan gambaran utuh dalam upaya menghadapi tekanan sektor energi. Terkait beban subsidi energi, belum ada upaya serius mengatasinya. Dengan kondisi tersebut, anggaran infrastruktur masih menjadi sebuah tantangan besar bagi perekonomian.

Salah satu tantangan berat pemerintahan Jokowi-JK adalah bagaimana mengurangi subsidi energi dan meningkatkan alokasi pembangunan infrastruktur fisik dan sosial. Jika tidak ada upaya mengurangi konsumsi energi, terutama BBM dan sekaligus mengurangi subsidi BBM, negeri ini akan terus disandera persoalan tersebut.

Solusi yang dapat dilakukan guna mengatasi permasalahan energi di Indonesia adalah mengendalikan impor migas, mematok target kuota subsidi secara konsisten, dan membuat kebijakan menaikkan harga BBM.

Pertama, konsumsi energi kita terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang melesat dengan cepat, pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pertumbuhan jumlah kendaraan yang mengonsumsi bahan bakar kian tinggi. Konsumsi energi 44,2 persen digunakan industri, konsumsi transportasi 40,6 persen, dan konsumsi rumah tangga 11,4 persen.

Situasi energi dalam negeri membuat Indonesia menjadi sangat haus dan lapar terhadap energi. Padahal menurut Kementerian ESDM, baru 75,8 persen dari jumlah rumah tangga di Indonesia yang berlistrik. Pemenuhan kebutuhan BBM juga menjadi kedodoran karena minimnya kegiatan eksplorasi yang mengakibatkan cadangan minyak hanya tinggal bertahan untuk 10-11 tahun lagi.

Impor minyak mentah tidak dapat dihindarkan, menyebabkan defisit perdagangan. Tekanan defisit neraca perdagangan ini mendorong pemerintah perlu mencari sumber-sumber alternatif untuk energi.

Energi terbarukan menjadi alternatif yang perlu dipikirkan pemerintah.
Bangsa lain sudah maju dengan kebijakan pengembangan energi alternatif dan terbarukan, seperti biofuel atau biodiesel untuk mengantisipasi ancaman krisis energi. Namun, bangsa ini masih berkutat dengan BBM.

Tren pengembangan biodiesel di dunia sudah semakin meningkat, terutama meningkatnya kesadaran banyak negara akan ancaman pemanasan global yang sumber utamanya pembakaran bahan bakar fosil. Padahal, Indonesia memiliki khazanah kekayaan alam sumber energi, seperti panas bumi, energi matahari, angin, dan gelombang laut.

Kedua, pemerintah harus mematok target kuota subsidi secara konsisten. Hingga berakhir semester I/2014, pemerintah sudah menghadapi kondisi sulit dengan kuota subsidi BBM. Untuk menjaga realisasi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota 2014, 46 juta kiloliter (kl), pemerintah telah melakukan sejumlah langkah. Langkah pertama melarang penjualan minyak solar subsidi di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. Kedua, mulai 4 Agustus, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 gross ton (GT). Ketiga, mulai 6 Agustus, seluruh SPBU di pinggir tol tidak boleh menjual Premium bersubsidi. Mereka hanya menjual seri Pertamax.

Sebelumnya, Kementerian ESDM pernah menggulirkan ide pengendalian BBM bersubsidi dengan melarang konsumsi pada akhir pekan dan hari libur. Asumsinya, langkah itu akan menghemat 25 triliun rupiah atau sekitar 6,5 juta kl.

Kuota 46 juta kiloliter diperkirakan akan habis pada November. Oleh sebab itu, jika tidak ditekan, pemerintahan baru akan menghadapi tantangan dari sisi fiskal, yakni pembengkakan anggaran negara yang berpotensi meningkatnya defisit anggaran.

Ketiga, kebijakan menaikkan harga BBM. Penghapusan subsidi BBM jelas sebuah langkah berat. Langkah yang realistis adalah mengurangi subsidi secara bertahap, terutama kepada kelompok kelas menengah yang selama ini justru menjadi penikmat terbesar subsidi BBM. Ini karena penggunaan subsidi sekitar 52 persennya dipakai mobil pelat hitam. Jadi, sasaran subsidi menjadi kurang tepat.

Sementara itu, kendaraan transportasi publik dibiarkan menikmati subsidi BBM agar pemerintah bisa menekan biaya logistik dan kegiatan bisnis. Jadi, inflasi tetap terkendali.

Pengurangan bertahap juga harus memperhatikan kondisi ekonomi rakyat. Meskipun ekonomi terus tumbuh positif rata-rata di atas 5 persen, laju pertumbuhan ekonomi yang pesat itu masih menyisakan berbagai persoalan kemiskinan dan pengangguran, serta masalah sosial yang masih relatif tinggi.

Solusi pengurangan subsidi bertahap harus diikuti pula dengan kebijakan konversi energi fosil ke gas dan penggunaan mobil listrik. Namun, konversi ini cenderung lambat. Penggunaan transportasi publik berbahan gas juga masih tertahan di pembangunan infrastruktur untuk bahan bakar gas. Sementara itu, kendaraan murah yang diharapkan tidak memakai BBM bersubsidi ternyata tidak konsisten dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar