Rabu, 27 Agustus 2014

Semangat Kementerian Pemuda dan Olah Raga

Semangat Kementerian Pemuda dan Olah Raga

Eddi Elison  ;   Praktisi Olahraga Nasional
KORAN TEMPO, 27 Agustus 2014
                                                


Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) bersama staf sedang sibuk membahas dan mempersiapkan pembentukan kabinet, menyangkut tokoh calon menteri ataupun struktur kementerian, sebagaimana lazimnya setiap kementerian sudah punya program.

Khusus bidang olahraga, kita merasa perlu mengemukakan pernyataan Presiden Sukarno saat meresmikan kontingen Indonesia untuk Asian Games IV di Bandung dengan ucapan: "Saya mau prestasi olahraga Indonesia 10 besar dunia!" Ucapan itu kemudian diimplementasikan dalam Rencana 10 Tahun Olahraga melalui sebuah surat keputusan.

Masalah struktur, kita membatasi diri untuk menelaah Kementerian Pemuda dan Olahraga, kementerian yang terkesan berfungsi sebagai "pelengkap penderita" dibanding kementerian lainnya. Padahal, di era Sukarno (1945-1966), olahraga menempati posisi prioritas dalam konteks nation and character building, dalam napas gerakan kebangsaan yang amat kental memperlaju proses pengukuhan eksistensi sebuah negara kebangsaan (nation state).

Bagi kabinet Jokowi mendatang, membangkitkan jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi Keolahragaan Nasional (Trilogi Ornas) adalah prioritas. Sebabnya, hal itu seiring sejalan dengan program Trisakti yang merupakan dasar materi kampanye Jokowi/JK. Trilogi Ornas adalah kompilasi historis kemantapan keolahragaan nasional, yakni PON I di Solo 1948 sebagai PON Perjuangan yang membuktikan eksistensi RI yang masih tegak dan berdaulat--meskipun ditekan Belanda melalui Agresi Militer I, bahkan ibu kota negara terpaksa hijrah di Yogyakarta.

Asian Games IV di Jakarta pada 1962 merupakan gebyar kemampuan Indonesia di benua Asia, dengan menunjukkan diri mampu membangun fasilitas olahraga terbesar di dunia (1962-1966)--Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK)--dan mampu melaksanakan multi-events, walaupun harus berhadapan dengan tekanan keras dari Asian Games Federation (AGF) dan IOC (International Olympic Committee). Indonesia menolak kehadiran Israel dan Taiwan yang saat itu tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, sebagai konsekuensi politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Trilogi ketiga adalah Ganefo I di Jakarta 1963, yang merupakan jawaban dan tantangan kepada seluruh dunia atas "penghinaan" IOC yang menskors keanggotaan Indonesia. Selain itu, dalam rangka membangkitkan spirit Gerakan Non-Blok menentang dominasi Blok Barat di bidang olahraga.

Jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi Ornas, sejak Orde Baru sampai saat ini, telah sirna akibat tererosi oleh politik transaksional dan pragmatis.

Erosi terindikasi di era Orba melalui semboyan "memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat", selanjutnya di era Reformasi "teramputasi" oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang beberapa pasalnya "simpang-siur", termasuk rohnya bertentangan dengan semangat dan ketentuan Olympic Charter, ayat 4; "The practice of sport is human right" (melakukan kegiatan olahraga adalah hak setiap manusia), sehingga prestasi olahraga Indonesia di peta dunia menjadi terbata-bata.

Bayangkan, jika dalam Asian Games IV 1962 Indonesia dapat menduduki posisi kedua, setelah Jepang, pada perhelatan berikutnya dan terakhir (Asian Games XVI di Guangzhou), Indonesia hanya mampu menduduki posisi ke-15. Bahkan setelah 56 tahun kemudian, baru Indonesia mampu menjadi tuan rumah lagi, itu pun setelah Vietnam menarik diri untuk Asian Games 2018. Dalam pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games), Indonesia pada akhirnya hanya mampu tampil sebagai juara umum, bahkan pada SEA Games di Myanmar 2013, kontingen Garuda hanya berkutat di peringkat keempat.

Saat Ganefo 1963, yang diikuti 51 negara, skuad Merah Putih mampu berada di posisi ketiga setelah RRT dan Uni Soviet. Setelah Ganefo "dibekukan" oleh kemasifan kondisi perpolitikan internasional, kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IOC. Sebagai anggota IOC, Indonesia berpartisipasi dalam Olympic Games. Yang terakhir, dalam Olimpiade London 2012, kontingen Indonesia berada di tangga ke-26, masih sebagai "anak bawang". Belum lagi jika dikaitkan dengan prestasi internasional cabang-cabang olahraga, seperti sepak bola, peringkat Indonesia berada di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Di cabang bulu tangkis, khususnya Piala Thomas dan Uber, pemain bulu tangkis Indonesia tak mampu lagi merebut gelar.

Jika mengacu pada jiwa, spirit, dan nilai Trilogi Ornas, jelas Kementerian Pemuda dan Olahraga harus melepas urusan kepemudaan ke kementerian lain, mengingat selama ini korelasi masalah kepemudaan dengan olahraga prestasi tidak sinkron karena kepemudaan orientasinya ke politik. Kembalikan seperti yang dilakukan Bung Karno; Kementerian Olahraga dengan Menteri Maladi, yang tidak mencampur kepemudaan dengan olahraga. Dengan demikian, Kementerian Olahraga akan lebih bebas memantapkan programnya dan anggarannya pun sendiri.

Dengan menu baru, disesuaikan dengan kondisi saat ini, kita yakin prestasi olahraga Indonesia dapat ditingkatkan. Jokowi tidak perlu alergi terhadap masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar