Sabtu, 30 Agustus 2014

Tegakkan Kedaulatan Ekonomi

Tegakkan Kedaulatan Ekonomi

Gianie dan Putri Arum Sari  ;   Wartawan/Litbang Kompas
KOMPAS, 30 Agustus 2014

                                     


”VISI Indonesia 2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan.” (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014)

Ke manakah arah pembangunan Indonesia sejahtera, apakah dengan menjadikan Indonesia negara agraris, negara industri, negara maritim, atau negara yang kuat di perdagangan? Ketidakjelasan arah kebijakan seperti itulah yang menimbulkan ketidaksatuan langkah antarlembaga pemerintahan dan menghabiskan banyak anggaran. Rakyat yang kemudian menanggung akibatnya, lambat sejahtera.

Itulah benang merah diskusi kelompok terfokus bidang ekonomi yang menyoroti bidang pembangunan ekonomi. Dalam bidang ini, persoalan terjadi hampir di setiap sektor akibat lembaga pemerintah yang berjalan sendiri-sendiri. Setiap kementerian mempunyai program, tetapi tidak semuanya mengerucut pada target terfokus. Pemerintah dinilai belum mengintegrasikan sektor satu dengan sektor lainnya. Ibarat telur dan ayam, bingung mana yang harus dikerjakan lebih dulu.

Peserta diskusi menunjuk sektor perekonomian yang dituntut terus bertumbuh, tetapi sektor pangan dan energi tertinggal. Infrastruktur juga lambat dibangun. Yang sudah ada pun tidak mengikuti rantai pasokan yang dibutuhkan untuk memperkuat industri.

APBN selalu didesain defisit yang berpijak di atas tak optimalnya penerimaan dan inefisiensi belanja. Upaya menyelamatkan uang negara yang gencar dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bukan cara optimal penyelamatan penerimaan negara. Yang tak kalah penting adalah meningkatkan potensi penerimaan negara dari sumber-sumber kekayaan alam, seperti minyak dan gas bumi, barang tambang dan mineral, perkebunan, perikanan, serta kehutanan.

Contoh kebijakan terbaru yang dinilai tak integratif adalah kebijakan pemerintah terkait pengadaan mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC). LCGC adalah kebijakan industri yang tidak cukup dikomunikasikan dengan sektor-sektor lain. Padahal, LCGC selalu terikat dengan urusan penyediaan bahan bakar (energi), integrasi moda transportasi (perhubungan), dan perdagangan karena bahan baku atas sebagian komponen impor LCGC. Akibatnya, kita kini ribut soal krisis BBM bersubsidi dan bersamaan dengan itu juga frustrasi dengan kemacetan yang makin parah di kota-kota besar.

Kebijakan impor menjadi kebijakan instan untuk keluar dari krisis pasokan komoditas apa pun. Kebijakan instan ini juga mengabaikan komunikasi struktural, tetapi menguntungkan pencari rente. Krisis pasokan bisa segera diatasi, tetapi ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam semakin terlihat.

Yang terjadi selama lebih satu dekade adalah eksploitasi sumber daya alam hingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Cadangan kekayaan alam dikuras tanpa memikirkan masa depan generasi mendatang. Contoh paling nyata masalah ini adalah penambangan batubara, timah, atau emas.

Dengan kekayaan alam melimpah, baik di darat maupun laut, kita tidak sepenuhnya mampu mengelola untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekayaan alam belum optimal dikembangkan untuk menjadi input bagi kegiatan industri domestik sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Ironisnya, input industri lebih banyak mengandalkan bahan baku impor.

Diskusi juga membahas transformasi struktural yang selama ini dijalankan dianggap gagal karena yang terjadi adalah ”lompatan” dari mengandalkan sektor pertanian ke industri ke jasa. Ketika kita belum matang sebagai negara produsen, kita sudah melompat ke era sektor jasa. Periode pertanian yang kuat pada awal Orde Baru tiba-tiba melompat ke booming industri yang dikembangkan tidak berbasis pertanian (agroindustri). Akibatnya, industri segera memasuki siklus periode hidup senja kala. Negeri ini pun segera menjadi negara pengimpor untuk kebutuhan dasar, seperti pangan dan energi. Pemerintah kehilangan kontrol dalam pengelolaan pangan dan energi.

Dalam perencanaan suatu kebijakan, komunikasi dan koordinasi memang menjadi problem. Banyak kebijakan yang tidak jalan karena perencanaan yang sudah disiapkan pemerintah kadang bisa dibelokkan operator atau pelaku bisnis. Terjadi pelemahan peran negara karena kepentingan para pemburu rente. Persekongkolan antara swasta dan pemerintah atau politisi sudah dimulai sejak penyusunan anggaran. Marak terjadi kasus suap. Untuk menyebutkan contoh, kasus impor sapi dan suap dalam tender proyek infrastruktur atau pembebasan lahan.

Persoalan regulasi dan komunikasi struktural ini berlanjut ke masalah alokasi anggaran yang menggerakkan program-program pemerintah. Terjadi pengaplingan alokasi anggaran yang ”disahkan” melalui konstitusi. Pengaplingan itu antara lain, 26 persen dari pendapatan dalam negeri di APBN dialokasikan dana alokasi umum sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan.

Tengok pula ”pengaplingan” sebanyak 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sejumlah 5 persen dari APBN juga diperuntukkan sektor kesehatan sebagaimana diatur UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di luar yang sudah dikapling lewat UU, yang sudah menjadi ”tradisi” adalah alokasi sekitar 17-20 persen dari APBN untuk subsidi energi.

Setelah bagi-bagi kapling, hanya sedikit ruang fiskal yang tersisa untuk menstimulus perekonomian. Kementerian Keuangan seolah tinggal bertindak menjadi kasir, tidak dapat lagi menggunakan APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal. Hal ini lagi-lagi terjadi karena alokasi anggaran APBN tidak dibuat berdasarkan prioritas dan mengabaikan politik fiskal yang menekankan aspek keadilan dan kesejahteraan.

Tantangan ke depan

Salah satu aspek mendasar yang dikhawatirkan peserta forum diskusi adalah aspek kependudukan. Jumlah penduduk akan semakin bertambah. Kuantitas penduduk, dari segi jumlah, struktur, dan persebaran, akan berdampak terhadap kondisi sosial, ekonomi, keamanan, politik, budaya, lingkungan, dan sebagainya. Jumlah dan struktur penduduk menentukan kebutuhan akan pangan, energi, transportasi, sandang, serta perumahan. Estimasi salah mengenai penduduk akan mengakibatkan lahirnya kebijakan dan penanganan yang salah.

Oleh karena itu, masalah kependudukan tidak bisa diabaikan. Jika persoalan mendasar bangsa ini tidak segera diatasi, terutama pembangunan ekonomi, visi Indonesia yang tercantum dalam RPJM tidak akan terwujud. Kemajuan suatu bangsa diukur berdasarkan indikator kesejahteraan penduduk. Akan tetapi, banyaknya persoalan membuat kinerja pemerintah tidak maju-maju. Kesejahteraan sulit merata.

Kehidupan masyarakat akan jauh dari sejahtera dan berkeadilan, termasuk akibat bagi pemerintah sebagai regulator. Pemerintah akan kesulitan mendapatkan kepercayaan pihak swasta dan internasional untuk mengembangkan perekonomian karena dianggap tidak memiliki kapabilitas dan daya saing.

Karena itu, dibutuhkan kepemimpinan yang revolusioner untuk memutuskan mana arah bangsa yang menjadi prioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar