Kamis, 28 Agustus 2014

Titik Krusial Jokowi-JK

Titik Krusial Jokowi-JK

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN, 27 Agustus 2014
                                                


Sejatinya kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 9 Juli dan penolakan gugatan Prabowo-Hatta oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus menjadi kemenangan demokrasi. Namun, saya masih belum yakin itu berwujud.

Sebagai satu dari jutaan sukarelawan yang memperjuangkan mereka, saya memikirkan banyak hal baru. Memang secara de jure, pada 20 Oktober mereka adalah presiden dan wakil presiden Indonesia baru. Akankah mereka muncul dengan gaya baru? Belum tentu. Kultur demokrasi, perilaku politikus, konstruksi hukum dan politik, serta situasi masyarakat kita masih sama seperti sebelum mereka terpilih.

Pertama, meskipun publik pendukung Jokowi–JK bergembira dengan hasil keputusan MK yang menolak semua permohonan tim hukum Prabowo-Hatta, tak ada kelegaan yang ditunjukkan sebagian barisan pasangan kompetitor Jokowi-JK itu. Pernyataan pengakuan kemenangan pascaputusan MK tidak keluar dari mulut Prabowo Subianto. Orang yang membuat pernyataan di media massa adalah “tokoh lapis kedua” dengan juru bicara Tantowi Yahya. Gestur mereka pun tidak terlihat legawa.

Dengan tidak adanya pernyataan secara pribadi bisa dianggap Prabowo tetap menolak. Bukan hanya dia, tokoh-tokoh Gerindra dan PKS pun tak sudi memberikan ucapan selamat kepada koalisi perubahan itu. Pernyataan kuasa hukum Prabowo, Maqdir Ismail, bahwa putusan MK meninggalkan luka mendalam.

Fadli Zon yang menyatakan tidak akan memberikan ucapan selamat sekaligus mengancam akan “melakukan sesuatu” di parlemen, menjadi sinyal perang masih terus berlanjut. Salah satu sifat demokrasi adalah kematangan menerima kekalahan. Kali ini sikap itu mengering dan tandas.

Kedua, dengan diberlakukannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) baru, dipastikan kursi ketua DPR tidak otomatis diberikan kepada partai pemenang pemilu, tetapi disepakati secara “musyawarah”. Adegan selanjutnya pasti bullying politik kepada PDIP setelah 1 Oktober.

Peperangan di internal DPR menjadi strategi untuk mengganggu konsentrasi pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan terobosan pembangunannya. Jika terlihat ganjil, koalisi besar akan menjalankan strategi check and balance ekstrem. Sampai hari ini kekuatan Koalisi Merah Putih masih sebesar 60 persen. Apa pun bisa dilakukan atas nama politik mayoritas.

Ketiga, kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) di akhir pemerintahan SBY seperti rangsangan skema pengurangan subsidi BBM di masa pemerintahan Jokowi-JK. Ini perangkap besar baru.

Di persimpangan ini, Jokowi-JK akan diuji apakah tetap lekat dengan semangat populisme atau menjadi pemerintahan-pemerintahan seperti era sebelumnya: gemar menaikkan BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Secara kasatmata, kebijakan menaikkan BBM akan mengurangi beban keuangan negara, tapi pasti menambah beban keuangan “fiskal masyarakat”. Itulah kebijakan teknokratis, warisan lama sejak era Soeharto, Megawati, dan SBY.

Kebijakan teknokratis pasti membenarkan semua logika pengurangan subsidi BBM dan listrik, bagian dari skema politik ekonomi neoliberalisme. Mengharapkan pemerintahan Jokowi–JK memberikan tesis baru atas dalil “revolusi mental”, belum cukup ampuh. Logika populisme dan demokrasi kenyal di masa kampanye, tetapi kerap mengeras dan tak laku pada masa ketika berkuasa.

Logika teknokratis, seperti dikatakan Jacques Ellul, filsuf Prancis, akan mereduksi seluruh problem masyarakat menjadi problem massa, sosial menjadi induktif, dengan kalkulasi mekanistik. Hal ini lebih lanjut memengaruhi peradaban manusia atas nilai-nilai materialisme yang gejalanya semakin menguat pascaperang dingin. Inilah fenomena harian bangsa kita.

Bagi rakyat (sebagian besar miskin, rural, serta berpendidikan dan berketerampilan rendah) alasan itu hanya menambah kebosanan. Alasan 70 persen BBM bersubsidi dinikmati pemilik mobil pribadi; disparitas harga dengan keekonomian global tidak bagus bagi ketahanan fiskal nasional; pertumbuhan industri otomotif yang tidak seimbang dengan skema subsidi 48 juta kiloliter bensin dan solar per tahun (kini diam-diam diturunkan 46 juta); hanya bahasa akademis yang berbinar di ruang elite, jauh dari denyut nadi dan keringat rakyat.

Hal yang rakyat rasakan, kenaikan BBM dan listrik pasti menambah masalah bagi daya beli mereka. Lagi-lagi rakyat merancang siklus adaptasi penderitaan baru untuk tetap bertahan hidup.

Itu logika klasik yang hanya bisa dipahami untuk memuaskan insting statistik para ekonom (liberal). Pelan-pelan melupakan substansi konstitusional bangsa ini bahwa kekayaan alam dan mineral di Bumi Indonesia diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia (tanpa diskriminasi).

Terobosan?

Apakah Jokowi-JK melihat prosa dan puisi derita rakyat ini? Saya yakin ya! Apakah mereka berkuasa untuk membuat skema lain untuk tidak menambah derita ke dalam kebijakan nonsubsidi? Saya tidak yakin mereka cukup berkuasa. Jika tidak dinaikkan tahun ini, tahun depan hantu ini akan kembali dibangkitkan. Penderitaan belum lepas. Kemerdekaan adalah realitas sublim ke dalam partikulus penderitaan lain. Ketika dicacah, ia tak terlihat sebagai totalitas penderitaan.

Di tengah situasi ini, sangat sulit mengharapkan terobosan jitu yang tersedia bagi Jokowi-JK dalam waktu singkat. Pelbagai program kesejahteraan, kebahagiaan, dan demokrasi pasti menuntut peran dan perubahan cara pandang masyarakat atas nilai-nilai kehidupannya. Ketika masyarakat juga semakin materialistis, konsumeristis, apolitis, dan tidak ideologis, kata-kata perubahan hanya mantra palsu.

Namun, terobosan tetap ada ketika Jokowi-JK mendapat suntikan gagasan dan keberanian positif dari tim-tim kerja yang progresif. Mereka harus figur terlatih bekerja bersama rakyat. Bukan kaum berdasi yang tak pernah duduk dan makan di desa dan daerah terpencil. Mereka harus mampu menyeimbangkan realitas mikro dengan statistik makro agar menjadi kebijakan sensitif rakyat.

Karena itu, kabinet nanti sangat menentukan bagaimana postur Jokowi-JK. Jika jajaran kementerian yang mengurus bidang ekonomi adalah cendekiawan berwatak neoliberalistis, kebijakan populis tak akan hadir. Jika jajaran pada kementerian hukum dan politik adalah orang bervisi borjuistis-elitis-oligarkis maka tidak akan turun menjadi misi dan program keadilan dan kebahagiaan sosial.

Jika sosok yang mengawal kementerian di bidang pendidikan, informasi, dan kultural bermental mekanistik-merkantilistik maka produk kebudayaan, kesenian, pendidikan, dan generasi penerus pasti berwujud antilokal-etnografistis, modernis-kapitalistis, hiperkomersial, ultra/antinasionalistis, dan pemuja fundamentalisme baru.

Sayang sekali, negeri ini sudah lama diteror untuk tidak menyukai sosialisme seolah-olah sama dengan komunisme. Dalam situasi demikian, sulit mengarahkan perubahan fundamental jika bangsa ini sedemikian liberal dan pragmatis, elite dan masyarakatnya. Jawaharal Nehru, Saddam Hussein, Ahmadinejad, Hugo Chavez, Fernando Lugo, dan Jose Mujica lebih mudah membangun negaranya dengan semangat sosialisme yang mengakar. Bangsa kita?

Namun, bukan tak ada sosok-sosok brilian, berjiwa altruistis, membela demokrasi, kolektivisme, dan nasionalisme dengan penuh gelora. Kata-kata Soekarno berikut ini harus menjadi pelecut bagi tim pemerintahan mendatang. “Apakah kelemahan kita? Kita kurang percaya diri sebagai bangsa sehingga harus menjadi penciplak luar negeri. Kita kurang mempercayai satu sama lain, padahal asal rakyat kita adalah gotong royong”.

Semoga Jokowi-JK bisa melewati masa kritis di awal pemerintahan ini dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar