Minggu, 31 Agustus 2014

Ujian Satriya Piningit

Ujian Satriya Piningit

Sumaryoto Padmodiningrat  ;   Anggota DPR
SUARA MERDEKA, 30 Agustus 2014
                                      


SEORANG satriya piningit harus diuji guna membuktikan kesaktiannya. Dengan prinsip rawe-rawe rantas malang-malang putung, ia mampu mengatasi. Itu pulakah yang terjadi pada Joko Widodo, presiden terpilih Pilpres 2014, yang diidentifikasikan satriya piningit?

Ujian itu datang sebelum, saat, dan setelah Pilpres 9 Juli 2014. Semasa kampanye, Jokowi diuji dengan fitnah dan kampanye hitam melalui Obor Rakyat. Setelah pilpres, dia menghadapi ujian lain, yakni gugatan Prabowo-Hatta. Setelah MK menolak gugatan itu pada 21 Agustus 2014, Jokowi masih menghadapi ujian berikutnya, yakni gugatan di PTUN, MA, dan Mabes Polri yang diajukan rivalnya.

Setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 pun, Jokowi harus menghadapi ujian lain, yak­ni beban subsidi BBM dan utang luar negeri. Ujian itu bisa mengunci langkahnya. D­a­lam RAPBN 2015 yang dibacakan Pre­siden SBY pada 15 Agustus 2014, subsidi ener­gi diproyeksikan 18% dari total pe­nge­luaran. Subsidi BBM Rp 291 triliun, naik da­ri pagu APBN-P 2014 sebesar Rp 247 triliun.

Padahal APBN-P 2014 sudah ”bermasalah” mengingat volume konsumsi terus meningkat, sementara undang-undang membatasi tidak boleh melebihi 46 juta kilo­liter (kl). Hingga Oktober atau No­vember 2014, komsumsi BBM bersubsidi diprediksi melampaui batas itu.

Mau tak mau Jokowi-JK harus mengurangi atau bahkan mencabut subsidi, dengan cara menaikkan harga. Kenaikan harga BBM ibarat kematian yang pasti terjadi, hanya soal waktu. Bila harga premium naik jadi Rp 8.000/ liter misalnya, dari sebelumnya Rp 6.500, negara bisa menghemat Rp 40 triliun. Meski bukan kebijakan populer, Jokowi menyatakan kesiapannya. Selama ini pemerintah menyubsidi Rp 3 triliun per hari, dan sebagian besar dinikmati orang kaya pemilik mobil pribadi.

Ujian kedua adalah utang luar negeri yang terus membengkak. Dalam RAPBN 2015, SBY mengalokasikan 7,6% dari total pengeluaran guna membayar bunga utang. Utang luar negeri pada akhir Juni 2014 tercatat 284,9 miliar dolar AS, meningkat 8,6 miliar dolar atau 3,1% dibanding posisi akhir kuartal I-2014 Rp 276,3 miliar dolar. Peningkatan utang ini dipengaruhi oleh meningkatnya kepemilikan nonresiden atas surat utang yang diterbitkan baik oleh sektor swasta (4,2 miliar dolar), publik (1,2 miliar dolar), maupun pinjaman luar negeri sektor swasta (1,6 miliar dolar).

Siap Bergabung

Jadi, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dari 32,33% pada kuartal I-2014 menjadi 33,86% pada Juni 2014. Sementara debt service ratio (DSR), rasio total pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap total penerimaan transaksi berjalan, meningkat dari 46,42% pada kuartal sebelumnya menjadi 48,28% pada Juni 2014.

Ujian berikutnya adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ada tujuh kasus pelanggaran berat HAM yang harus diselesaikan dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Kasus itu peristiwa pascapemberontakan G30S/PKI tahun 1965; penembakan misterius; kasus Talangsari Lampung; tragedi Trisakti-Semanggi I dan II tahun 1998; penculikan aktivis tahun 1997/1998; dan kasus pelanggaran HAM di Wasior Papua.

Tak mudah bagi Jokowi menghadapi ujian itu, apalagi bila komposisi politik di parlemen 2014-2019 didominasi Koalisi Merah Putih. Saat ini dukungan dari 4 parpol pengusung, yakni PDIP (109 kursi), PKB (47), Nasdem (35), dan Hanura (16) baru menghasilkan kekuatan 207 kursi dari total 560. Jumlah itu masih kurang aman bagi Jokowi-JK untuk mengamankan kebijakan di parlemen.

Jokowi mengisyaratkan 3 parpol dari Koalisi Merah Putih akan bergabung, yakni Demokrat (61 kursi), PAN (49) dan PPP (29). Tiga parpol tambahan itu menyumbang 149 kursi sehingga Koalisi Indonesia Hebat berkekuatan 356 kursi (63,57%). Adapun Golkar (91), Gerindra (73), dan PKS (40) menjadi kekuatan penyeimbang.

Tidak mudah bukan berarti tak bisa. Bila Jokowi tetap berprinsip rawe-rawe rantas malang-malang putung, insya Allah tak ada yang tak bisa diatasi. Apalagi dari Jokowi kita melihat representasi Satriya Piningit atau Ratu Adil seperti dinubuatkan Jayabaya, Raja Kediri (1135-1157), kemudian ditegaskan Ranggawarsita (1802-1873), pujangga Keraton Surakarta.

Jokowi diindentifikasi sebagai Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu (pemimpin religius dan digambarkan bagai begawan yang senantiasa bertindak atas dasar hukum), setelah sebelumnya muncul satriya lain, yakni Satriya Kinunjara Mur­wa Kuncara (pemimpin yang ’’akrab’’ dengan penjara, namun berhasil membebas­kan bangsa dari penjajah) yang diindentifikasi sebagai Bung Karno

Kemudian, Satriya Mukti Wibawa Kesandung Kesampar (pemimpin berharta dan disegani namun akhirnya dihujat) yakni Soeharto; Satriya Jinumput Sumela Atur (pemimpin yang diangkat hanya untuk masa transisi) yakni BJ Habibie; dan Satriya Lelana Tapa Ngrame (pemimpin yang suka keliling dunia tetapi religius) yakni KH Abdurrahman Wahid.

Seterusnya Satriya Piningit Hamong Tuwuh (pemimpin yang muncul membawa karisma keturunan) yakni Megawati Soekarnoputri; dan Satriya Boyong Pambukaning Gapura (pemimpin yang berpindah tempat, dari menteri menjadi presiden, dan menjadi pembuka gerbang menuju zaman keemasan) yakni SBY. Apakah benar Jokowi representasi dari Satriya Pinandita Sinisihan Wahyu atau bukan, akan dia buktikan melalui kinerja kepemimpinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar