Selasa, 30 September 2014

Menganalisis Kontroversi SBY

Menganalisis Kontroversi SBY

Refly Harun  ;   Pakar dan Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS,  29 September 2014

                                                                                                                       


“walahhh....bung refly opini anda malah jd aneh.....awalnya sy sk anda loh dgn coment2 di tv ttg sosok anda sbg ahli tata negara pakarnya loh.... mana ada presiden bs batalkan uu pilkada yg sdh di stujui oleh dewan scr voting itu syah loh bung refly.... mslh tidak or ttd tangan gak mslh tetap syah ! nah miss informasi kok bisa di jadikan alat utk gugat dn batalkan uu pilkada..... makin ngawur km bung refly...”

Itulah salah satu komentar dari pembaca bernama Ferry Hartanto menanggapi berita yang dimuat detik.com, Minggu (28/9/14), berjudul, “Refly: Jika Terbukti ada Misinformasi, Presiden Bisa Batalkan UU Pilkada”. Saya tersenyum kecut membaca komentar seperti itu. Bagaimana tidak, dibilang makin ngawur. Lebih kecut lagi ketika membaca penggalan komentar akun Kedaulatanbangsa, “kayaknya anda yg udah trima duit banyak biar bs bikin fatwa seenaknya....”

Itulah risiko sebuah pemberitaan yang harusnya dijelaskan secara konseptual, tetapi karena dibuat secara straight news sehingga banyak informasi yang tidak termuat dan saya sendiri juga mungkin tidak menyampaikan secara lengkap. Ada baiknya juga menjelaskan kepada pembaca agar kita sama-sama belajar untuk bersama-sama memperbaiki praktik ketatanegaraan kita.

Persetujuan RUU

Tentu tidak susah memahami makna Pasal 20 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap RUU dibahas bersama DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU tersebut tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Undang-undang tidak menjelaskan kapan persetujuan Presiden itu diangap diberikan. Namun, dalam rapat paripurna DPR, wakil pemerintah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terhadap RUU yang akan disetujui sebelum pimpinan sidang mengetukkan palu. Kesempatan pemerintah menyampaikan pandangan umum biasanya sekadar formalitas karena persetujuan secara substantif sudah terjadi dalam pembicaraan tingkat pertama yang juga sudah melibatkan pemerintah.

Soalnya, dalam pembahasan RUU Pilkada, fraksi-fraksi belum sampai pada kata bulat mengenai pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD dalam pembicaraan tingkat pertama sehingga masalah tersebut harus diputuskan di rapat paripurna. Tentu saja persetujuan Presiden secara substantif belum bisa diketahui. Presiden SBY sendiri melalui media sosial menyatakan setuju pada pemilihan langsung. Fraksi Demokrat juga mendukung proposal mempertahankan pemilihan langsung.

Ketika voting DPR memenangkan kubu yang pro pemilihan DPRD – dengan drama walk out-nya Fraksi Demokrat—kunci sesungguhnya di tangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk menyatakan tidak setuju terhadap RUU Pilkada yang baru divoting tersebut. Dengan demikian, bila pernyataan tidak setuju tersebut disampaikan wakil pemerintah, RUU tersebut tidak dapat disetujui dan tidak dapat menjadi undang-undang. Masalahnya, Mendagri Gamawan Fauzi tidak menyatakan tidak setuju. Artinya, bisa dikatakan RUU Pilkada telah mencapai persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Hingga titik ini tidak ada persoalan. Andaipun nantinya Presiden enggan untuk mengesahkan RUU Pilkada dengan cara tidak membubuhkan tanda tangan, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, dalam waktu 30 hari setelah persetujuan, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Hal ini sangat jelas.

Reaksi SBY

Masalah muncul ketika dalam jumpa pers di Hotel Willard Intercontinental, Washington, DC, Sabtu (27/9/2014) pukul 09.00 waktu setempat, SBY menegaskan dirinya sangat berat untuk menandatangani UU Pilkada. "Saya serius berat untuk menandatangani UU ini, karena dari awal opsi saya pilkada langsung dengan perbaikan," kata SBY sebagaimana dikutip detik.com. SBY juga marah dengan sikap walk out Fraksi Demokrat dan memerintahkan mengusut dalangnya. Terlebih walk out itu dilakukan setelah PDIP menerima opsi Demokrat.

Berdasarkan pernyataan kecewa dan marahnya SBY, muncul pertanyaan spekulatif, apakah Presiden tidak di-update perkembangan terakhir? Apakah ada penelikungan terhadap SBY, baik oleh Fraksi Demokrat maupun Mendagri? Analisis ini sah-sah saja diungkapkan, selain pendapat yang saat ini sangat deras berkembang bahwa dalang dari semua ini adalah Presiden SBY sendiri. Tidak heran kalimat di media-media sosial seperti shame on you dan shamed by you (SBY) menjadi trending topic.

Sangat jelas, seandainya SBY memang tetap ingin pilkada langsung, ia tinggal perintahkan Mendagri Gamawan Fauzi bertahan dengan opsi itu dan tidak menyetujui bila opsi dipilih oleh DPRD yang menang. Kepada Fraksi Demokrat, ia juga bisa memerintahkan untuk bahu-membahu dengan fraksi lain yang juga memilih opsi pilkada langsung. Perintah kepada Mendagri menjadi kartu truf SBY bila opsi dipilih langsung kalah dalam voting.

Kapuspen Kemendagri Dody Riatmadji menyatakan tidak ada arahan tertentu kepada Mendagri. Kehadiran Mendagri yang mewakili Presiden SBY saat itu bersikap menyesuaikan dengan fraksi-fraksi di DPR. Artinya, apa pun yang diputuskan DPR, Presiden akan ikut saja. Hingga titik ini jelas ada paradoks besar karena pasca-paripurna DPR, SBY menyatakan berat menandatangani RUU Pilkada karena dia tetap ingin pilkada langsung.

Hingga titik ini saya ingin menyudahi analisis dengan menyalahkan SBY sepenuhnya akan hilangnya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri. SBY tidak hanya tidak tegas, tapi juga tidak jelas, sehingga Mendagri dan Fraksi Demokrat terkesan dibiarkan mengambil keputusan sendiri. SBY tidak mau bertarung untuk mempertahankan warisan demokrasi pilkada langsung dalam sembilan tahun terakhir.

Penelikungan

Namun, analisis ‘penelikungan’ tetap menarik untuk dikemukakan sebagai alternatif. Dari sisi Mendagri, ‘godaan’ untuk berpilkada melalui DPRD justru datang dari pemerintah sendiri. Awalnya, pemerintah mendorong gubernur dipilih oleh DPRD dan bupati/walikota dipilih langsung, tetapi kemudian menjadi sebaliknya, yaitu hanya gubernur yang dipilih langsung, sedangkan bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Jajaran Kemendagri termasuk yang paling getol mendorong pilkada oleh DPRD. Bahkan, disebutkan Gamawan Fauzi membuat disertasi yang mengaitkan banyaknya kepala derah yang tersangkut korupsi dengan pilkada langsung.

Dari sisi Fraksi Demokrat, sudah jamak diketahui, sebagian mereka pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres, yang artinya bisa sangat pro terhadap kubu Koalisi Merah Putih, seperti Ketua Fraksi Nurhayati Ali Assegaf. Beberapa anggota Fraksi Demokrat seperti Khatibul Umam Wiranu juga getol menyuarakan pilkada oleh DPRD dan beberapa kali berdebat dengan saya di televisi untuk membela posisinya itu. Lalu, hanya 37 dari 148 anggota Fraksi Demokrat yang terpilih kembali sebagai anggota DPR Periode 2014-2019. Artinya, Fraksi Demokrat rentan untuk diinfiltrasi.

Selama proses memantau persetujuan RUU Pilkada, ada isu berembus mengenai dugaan politik uang kepada kubu yang setuju pro pemilihan langsung. Yang paling rentan untuk disuap bila isu itu benar dalam hal ini adalah anggota fraksi yang tidak solid mendukung pilkada langsung.

Bila memang ada agenda tertentu dari Kemendagri untuk mendorong pilkada oleh DPRD yang tidak sejalan dengan keinginan Presiden, lalu ada beberapa anggota Fraksi Demokrat yang dipengaruhi politik uang, bisa jadi SBY sengaja tidak diberikan informasi akurat di tengah kesibukan kunjungan ke luar negeri. Bila memang demikian dan SBY tetap menyatakan tidak setuju terhadap RUU Pilkada, saya beranggapan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada persetujuan Presiden SBY terhadap RUU Pilkada.

Persetujuan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dengan sendirinya tidak mewakili suara Presiden SBY. Bila SBY menyatakan hal ini dengan tegas ke publik maka persetujuan RUU Pilkada tidak sah, tidak memenuhi ketentuan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Jadi, bahasa yang benar bukan RUU Pilkada dibatalkan, tetapi memang tidak pernah disetujui Presiden.

Langkah SBY

Ketimbang kita semua berdebat dan Bung Ferry Hartanto bilang saya makin ngawur (dengan senyum kecut), ada baiknya kita tunggu tindakan Presiden SBY selanjutnya, apa yang ingin ia lakukan dengan semua ‘kekecewaan’ dan ‘kemarahan’ atas hasil parpurna DPR. Apakah SBY akan dengan terbuka menyatakan dia tidak pernah setuju dengan opsi pilkada oleh DPRD. Persetujuan dari Mendagri Gamawan Fauzi hanyalah aspirasi pribadi, tidak mewakili sikap Presiden SBY, dan hal tersebut pelanggaran serius terhadap etika berpemerintahan karena menteri harusnya menyampaikan apa yang menjadi keinginan Presiden. Walk out-nya Fraksi Demokrat juga bukan atas perintah darinya sebagai Ketua Umum, tetapi bentuk penelikungan dan disinformasi yang sengaja diciptakan elemen-elemen pro pilkada oleh DPRD dalam tubuh fraksi terbesar tersebut.

Bila SBY menyatakan itu semua secara terbuka ke publik, ‘dosa’ SBY akan sedikit termaafkan. Posisinya bukan sebagai ‘dalang’, tetapi orang yang dikhianati. Panasea dari semua itu, SBY tinggal menyatakan bahwa RUU Pilkada tidak pernah disetujui bersama. Persetujuan yang ada cacat formil. Presiden tidak terikat dengan persetujuan tersebut sehingga tidak merasa perlu mengundangkan RUU Pilkada. Untuk mengatasi kekosongan hukum, SBY bisa saja mengeluarkan perppu yang menghidupkan kembali pemilihan langsung. Bahan perppu bisa diperoleh dari draf opsi pemilihan langsung plus 10 perbaikan yang selalu didengungkan dan seolah sudah menjadi harga mati.

Dengan sikap SBY tersebut, tentu akan ada suara pro dan kontra. Tentu ada yang mendukung, dan ada yang marah. Kontroversi sangat mungkin bakal mencuat. Debat tatanegara akan terjadi di mana-mana. Namun, sebagai bangsa yang berkonstitusi, soal ini tinggal dibawa ke forum Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR atas persetujuan RUU Pilkada. Biarlah MK yang memutuskan apakah persetujuan RUU Pilkada sah atau tidak.

Tapi, bila semua yang terjadi atas sepengetahuan dan kesadaran Presiden SBY. Bahkan SBY sendiri sesungguhnya sutradara di balik drama paripurna DPR dengan lakon utama Fraksi Demokrat tersebut, maka jangan salahkan bila hari-hari terakhir ini rakyat marah dan merasa tertipu, lalu berkata, “shamed by you”.

Ekstra Parlemen Melawan Koalisi Neo Orba

Ekstra Parlemen Melawan Koalisi Neo Orba

Arie Sujito  ;   Sosiolog UGM, peneliti IRE
DETIKNEWS,  29 September 2014

                                                                                                                       


Sejak sidang paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014 lalu yang mengesahkan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagian besar aktivis, akademisi dan masyarakat umumnya merasa khawatir mengenai masa depan demokrasi lokal di Indonesia.

Situasi ini kian mencemaskan, karena mengancam kelangsungan demokrasi dan sistem politik Indonesia pada umumnya. UU Pilkada itu jelas secara substansi menggeser arah politik, dari corak popular demokrasi ke pola perwakilan elitis untuk urusan pemilihan kepala daerah. Hak konstitusional warga negara untuk secara langsung memilih pemimpinnya yakni Bupati, Wali Kota dan Gubernur dirampas, diambilalih ke tangan segelintir anggota DPRD yang berlindung dibalik elitis prosedural.

Kenyataan ini sungguh ironis. Di saat lembawa perwakilan politik seperti DPR dan DPRD yang jelas-jelas mengalami krisis kepercayaan (distrust) oleh publik yang ditandai oleh 'sinisme masyarakat”' serta cemoohan yang kerap muncul di media sosial, justru melalui UU Pilkada itu kewenangan mereka ditambah dalam porsi besar, merekalah yang berhak secara formal menentukan pemimpin.

Pencaplokan kewenangan kuasa rakyat oleh parlemen merupakan kemunduran demokrasi, yang tidak lain mencerminkan corak politik bergaya orde baru.

Neo orbaisme

Sebagaimana kita tahu, sepanjang pemerintah orde baru, model politik korporatik otoriter menempatkan DPRD sebagai lembaga yang berperan menentukan kepala daerah. Suara rakyat dipangkas masuk dalam perangkap DPRD, pemilihan kepala daerah pada saat itu hanya menjadi arena transaksional, tertutup. Pada saat itu Golkar sebagai partai orba mengatur keputusan apapun, dengan cara liciknya, lalu diikuti kekuatan penggembira yakni anggota parlemen dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Kepala daerah terpilih saat itu hanya mengabdi pada kepentingan para anggota parlemen, dimana risikonya mereka secara berjamaah mengkorup uang APBD sebagai konsekuensi transaksi itu. Tidak ada kepala daerah yang baik dan berhasil, karena lahir dari proses yang tertutup dan penuh rekayasa sehingga menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Peristiwa semacam itu cerita buruk masa lalu yang kemudian dikoreksi melalui gerakan reformasi 1998. Melalui reformasi dijadikan titik tolak bagi kelangsungan demokratisasi, diantaranya dalam hal pemilihan kepala daerah. Maka dari itu, sejak terbit UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemilukada menggunakan sistem pemilihan oleh rakyat secara langsung tanpa diwakilkan oleh DPRD.

Sepanjang 10 tahun berlangsung dinamis, hingga sampai tahun 2014 kita tahu capaian positif luar biasa dipetik. Selain meningkat partisipasi warga, kontestasi politik kian dinamis, muncul calon independen, harapan perbaikan kian menjulang sebagai penanda demokrasi lokal bekerja. Lebih penting dicatat adalah lahirnya banyak kepala daerah yang berprestasi, mereka berhasil mendorong perubahan secara nyata. Demokratisasi lokal semacam itu telah menstimulasi inovasi, kreasi dan gebrakan baru perubahan yang dikerjakan oleh pemerintahan daerah di bidang pelayanan publik, pemenuhan hak dasar, serta reformasi pemerintahan yang dapat dikatakan sebagai kisah positif, yang tidak bisa dipungkiri.

Jikalau sekarang ini sebagian besar anggota DPR menginginkan Pilkada dipilih oleh DPRD sebagaimana dikerjakan orde baru itu, berarti telah mengingkari capaian objektif hasil dari reformasi dalam pilkada langsung.

Sejumlah alasan soal konflik dan kekerasan serta biaya politik yang mahal selalu disampaikan sebagai cara untuk meloloskan hasrat kaum oligarkhi itu. Padahal alasan konflik dan kekerasan yang selama ini ditudingkan, kesemua itu justru bersumber dari kelakuan politisi parpol yang 'tidak matang dan dewasa' dalam meraih kekuasaan.

Politisi cenderung berupaya merekayasa untuk memenangkan pertarungan pada peristiwa pemilukada, sekalipun dengan cara culas. Karenanya, perbedaan afiliasi seringkali dimanipulasi oleh elit parpol dan tim sukses untuk membodohi rakyatnya. Dengan demikian, konflik dan kekerasan pada dasarnya bersumber justru dari ulah politisi parpol dan parlemen, bukan dari rakyatnya. Rakyat toh kian dewasa.

Simak saja dalam perkembangan sejauh ini peristiwa konflik dan kekerasan yang mewarnai pilkada kian menurun. Jadi seharusnya parpol dan parlemen yang mengoreksi diri, membenahi fungsi representasinya serta meningkatkan kualitas berpolitiknya, bukan malah menuduh rakyat tidak mampu menjalankan pilkada langsung. Anehnya dan begitu ngawur, kegagalan parpol dan parlemen dalam pilkada malah meminta kewenangannya diperbesar, ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan reformasi.

Korupsi DPRD

Begitu pula adanya tudingan soal biaya politik yang mahal dalam Pilkada langsung sesungguhnya tidak terbukti. Andai definisi biaya pilkada yakni pendanaan bersumber dari APBD ditambah biaya politik yang dikeluarkan kandidat untuk pemilih (tentu dengan kritik atas peristiwa ini), hal itu tidak seberapa dibanding pilkada DPRD kelak.

Pilkada oleh DPRD justru dipastikan biaya politik makin besar, selain membeli tiket ke parpol juga untuk menyuap anggota parlemen sebagai konsekuensi keterpilihan kandidat. Setelah terpilih, kepala daerah pasti 'bertanggung jawab dalam transaksi' berupa 'pengkaplingan' anggaran dinas-dinas yang bakal dikuasai parpol dan anggota parlemen.

Dinas atau SKPD bakal diperas anggarannya akibat dagang sapi saat Pilkada, itu berarti akan menyuburkan praktik korupsi yang jamak. Dalam konteks itu, APBD akan dijadikan bancakan anggota DPRD konsekuensi dari Pilkada yang dikendalikan mereka. Persis sinyalemen KPK, bahwa pilkada oleh DPRD dipastikan bakal menyuburkan korupsi dengan modus-modus transaksional.

Apalagi, pilkada yang dilakukan secara tertutup tanpa diawasi publik serta tidak ada akses terbuka bagi masyarakat non parpol untuk berpartisipasi, potensi penyalahgunaan kekuasaan makin membesar.

Dapat dibayangkan, pola semacam ini tidak akan mampu menjaring kandidat yang baik, bersih, jujur, dan kredibel. Ruang calon independen misalnya untuk terlibat menjadi bagian dalam proses politik lokal dan kesempatan menjadi pemimpin daerah menjadi tertutup. Dengan demikian pilkada oleh DPRD tidak akan bisa menghasilkan pemimpin daerah sesuai kehendak rakyat. Mereka yang bisa maju dan terpilih tentu harus berani menyuap anggota DPRD.

Parlemen Pasca Pilpres

Semenjak peristiwa pemilihan presiden (pilpres) sebagai ajang kontestasi dua kubu, Jokowi-Jk dengan Prabowo-Hatta, nampaknya terus berbuntut. Kemenangan Jokowi-Jk secara hukum dan legitimasi politik ternyata masih belum diterima beberapa orang yang tergabung dalam kubu koalisi merah putih (selanjutnya disebut kubu neo orba) di parlemen.

Reproduksi permusuhan pasca pilpres yang direkayasa oleh sebagian kecil orang, tetapi mereka berperan dominan dalam koalisi merah putih, untuk terus bermanuver dengan berbagai cara yang ujungnya menghambat laju pemerintahan dan menggoncangkan sistem politik.

Tujuannya sangat pragmatis, dendam atas kekalahan pilpres. Mereka berupaya mengolah kekuatan untuk menggerogoti kekuasaan pemerintahan dengan mengedepankan cara-cara anti demokrasi. Sebagaimana diketahui, mesin dominan yang bekerja dibalik koalisi neo orba ini adalah petinggi Golkar dengan menyeret PKS sebagai kekuatan inti mengoperasikan manuver dengan mempengaruhi PAN, PPP, PD dengan menumpukan blok Gerindra sebagai bamper.

Praktis cara kerja koalisi ini sangat sistematis. Selain memulai dengan pengesahan UU MD3, lalu UU Pilkada agar bisa menguasai jaringan pemerintahan daerah dengan memenangkan Pilkada melalui DPRD di Indonesia, dan beberapa agenda lainnya untuk menopang ambisi politiknya.

Lebih dari itu dalam jangka panjang kemungkinan akan membangun siasat baru dalam Pilpres, yakni upaya memperkuat kembali kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pola semacam ini menjadi makin jelas, dimana parlemen yang dikuasai oleh koalisi neo orba bakal menguasai kendali politik untuk kedepan sehingga menelorkan keputusan-keputusan yang anti demokrasi kerakyatan.

Jika MPR akan dirancang ulang menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana kehendak koalisi neo orba, maka mereka membangun justifikasi bisa memilih dan memberhentikan Presiden. Nah, dititik inilah kulminasinya.

Jikalau pemerintahan Jokowi membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan koalisi neo orba, sekalipun kebijakan pemerintahan Jokowi itu demi kepentingan rakyat, maka akan ada rekayasa dan diproyeksi untuk impeachment. Nalar ini mulai berproses dan bekerja, yang tentu saja akan merusak seluruh disain reformasi dan demokrasi yang telah berlansung selama ini.

Ekstra Parlemen

Demokratisasi yang berlangsung sebagai mandat reformasi tentu tidak bisa dihentikan. Upaya koalisi neo orba dengan merekayasa Pilkada oleh DPRD berarti tindakan anti demokrasi. Karena anti demokrasi, berarti memusuhi rakyat dalam proses politik kebijakan. Politik otoriter yang menjadi catatan kelam masa lalu, tidak bisa dibiarkan hidup kembali oleh karena ulah para pembajak demokrasi Indonesia.

Tentu sejarah harus maju dan berkembang, bukan dipangkas apalagi ditenggelamkan oleh kecongkakkan parlemen dan politisi yang bermental kumuh. Dalam konteks itulah, peran civil society, gerakan sosial sebagai kekuatan pengimbang oligarkhi parlemen menjadi alternatif penting.

Upaya mengingatkan parpol agar berbenah tidak direspon, alih-alih justru makin liar derajat oligarkhinya. Kekuatan ekstra parlemen yang didalamnya sektor buruh, mahasiswa, petani, kaum miskin kota, aktivis LSM, perempuan, jurnalis maupun golongan kelas menengah yang pro demokrasi perlu untuk digalang kembali sebagai kekuatan pengimbang. Pilihan kerja politik ekstra parlemen ini tujuannya agar jangan sampai arah politik terperosok pada kembalinya pola orde baru.

Metamorphosis politik orba yang masuk dalam parpol neo orba ini secara licik mengadaptasikan diri dalam demokrasi prosedural, dan sebenarnya mereka berwatak elitis, tidak mengakar, tetapi menguasai akses dalam pengambilan keputusan strategis di tingkat formal. Perlawanan penting yang perlu dilakukan adalah 'mendelegitimasi kekuatan koalisi orba' dimana kekuatan ekstra parlemen di berbagai sektor untuk lebih aktif melakukan gerakan sosial secara massif yang ditopang kerja politik media, dalam berbagai bentuk.

Pilihan ini tantangannya adalah, bagaimana kita mampu mengelola isu-isu struktural dan demokrasi popular yang bisa menumbuhkan energi kolektif penopang gerakan sosial. Jangan sampai koalisineo orba memanipulasi isu dalam arah sektarian, sebagai isu lama persis cara orde baru memecah bangsa.

Sejarah membuktikan melalui kerja ekstra parlemen ini akan mampu menunjukkan bentuk pembangkangan dan perlawanan pada otoriterisme, dan secara kontekstual saat ini untuk melawan oligarkhi koalisi neo orba. Atas dasar itulah, pemerintahan Jokowi JK tentu harus dikawal dengan dukungan dan kritik yang bisa memecahkan masalah bangsa ini sesuai dengan track demokrasi, kerakyatan dan semangat membangun bangsa yang berdaulat. Bagaimananpun juga dari realitas ini akan terbaca sesungguhnya; siapa menjadi kekuatan demokrasi dan anti demokrasi. Akan bisa pula menemukan dan membedakan antara reformis sejati dan reformis gadungan.

Gugat UU Pilkada adalah Urusan Sehari-hari Setiap Warga Negara

Gugat UU Pilkada

adalah Urusan Sehari-hari Setiap Warga Negara

Robie Kholilurrahman  ;   Anggota Serikat Mahasiswa Progresif UI
dan Partai Rakyat Pekerja
INDOPROGRESS,  29 September 2014

                                                                                                                       


JUMAT  26 September 2014. Matahari terbit di pagi hari seperti biasanya. Jalan-jalan raya di Ibu Kota tetap macet, dan masih dipenuhi spanduk-spanduk seperti “Aktivis 98 Tolak Pilkada oleh DPRD” dan “Rakyat Dukung SBY dan Partai Demokrat Dukung Pilkada Langsung”. Tapi ada yang berbeda. Di media sosial, di kantor-kantor, orang-orang menggerutu menyimak berita di surat kabar, radio dan televisi (sepertinya ada yang aneh jika di kantor atau tempatmu beraktivitas, keadaannya adem-ayem seolah tadi malam adalah malam yang biasa-biasa saja dan tidak terjadi apa-apa). Rupanya, penyebabnya pada dini harinya, Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang. Konsekuensinya, sudah kita tahu: kini kepala-kepala daerah akan kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebanyak 135 suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memilih opsi Pilkada Langsung, kalah jumlah dalam voting yang dimenangkan oleh 226 suara anggota DPR dengan opsi Pilkada Tidak Langsung (oleh DPRD)-nya. Koalisi PDIP-PKB-Hanura yang dibangun sejak Pilpres, seperti diprediksi sedari awal, gagal memenangkan pertarungan Parlementer untuk mempertahankan Pilkada Langsung dari usulan perubahan yang dibawa oleh pihak Pemerintah melalui RUU Pilkada. Ketiga Fraksi tersebut memang kalah jumlah dari Koalisi Merah-Putih yang digagas Prabowo Subianto.

Rapat Paripurna tersebut juga diwarnai oleh tingkah memuakkan dari SBY dan Partai Demokrat yang dipimpinnya. Beberapa waktu sebelumnya, SBY menyatakan secara publik bahwa Ia mendukung Pilkada tetap dilaksanakan secara Langsung (hal yang aneh mengingat usulan RUU Pilkada itu sendiri datangnya adalah dari pihak pemerintah dimana ia menjadi Presiden). Perkembangan ini memberikan angin segar dan harapan bagi publik yang sebelumnya sudah cemas akan hasil akhir pertarungan kedua opsi, mengingat besarnya jumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, yaitu sekitar sepertiga dari jumlah total.

Namun, di saat-saat menentukan, Fraksi Partai Demokrat melakukan jurus mabuk yang tak tertebak,  Walk Out dari Rapat. Perkembangan ini seketika mengubah kembali konstelasi kekuatan di parlemen. Dan hasilnya, sudah kita ketahui bersama.

Pelajaran dari Tragedi UU Pilkada

Dari hiruk pikuk perdebatan publik tentang RUU Pilkada ini, ada beberapa pelajaran yang musti kita camkan supaya kelak tidak terjatuh lagi ke dalam lubang yang sama.

Pertama, kasus Pilkada oleh DPRD ini tidak bisa terlepas konteksnya dari pertentangan Koalisi Merah Putih melawan Koalisi PDIP-Hanura-PKB sejak Pilpres 2014. Yang pertama disebut, menyokong Prabowo sebagai capres yang sejak masa kampanye telah kita tunjukkan bersama-sama betapa berbahayanya Ia. Dengan menangnya Jokowi, KMP/Koalisi Merah Putih ternyata tidak serta merta bubar dan merapat satu per satu ke kubu pemenang. Bahkan UU Pilkada ini bukanlah pukulan balik mereka yang pertama. Sebelumnya, DPR (fraksi-fraksi KMP) juga sudah mengesahkan RUU MD3 menjadi Undang-Undang dengan segala bahayanya bagi demokrasi.

Di masa kampanye Pilpres, wacana yang kita bangun bersama adalah bahwa ini bukan sekadar pertarungan Jokowi vs Prabowo atau PDIP vs Gerindra. Lebih dari itu, ini adalah usaha Orba untuk bangkit kembali, usaha Oligarki untuk mempertahankan status quo, dan manuver hama-hama demokrasi untuk merusak ladang demokrasi yang sedang proses bertumbuh di Indonesia. Ternyata usaha kembali ke Orba tersebut tidak begitu saja gagal dengan kekalahan KMP dengan Prabowo-nya di Pilpres. Oligarki tetap berusaha berkuasa melalui DPR. Contoh sederhana adalah dengan mengurangi kuorum untuk menyepakati hasil rapat di DPR menjadi 2/3 melalui UU MD3, sehingga kontrol kualitas untuk produk legislasi menjadi lebih buruk, dan akan dipilihnya kepala-kepala daerah kembali melalui DPRD—KMP memiliki basis suara DPRD di lebih banyak daerah di banding koalisi lawannya.

Di penghujung dekade 1990, Orba telah jatuh di antaranya karena aksi-aksi turun ke jalan. Namun ternyata usaha untuk menggagalkan berkuasanya kembali Orba melalui kotak suara di Pilpres 2014 tidak benar-benar berhasil. Menghadapi tren KMP sebagai simbolisasi baru bagi tendensi-tendensi politik Orba yang terus bermanuver dengan lancar di DPR, tentunya partisipasi politik yang lebih aktif (lebih dari kotak suara dan gerakan media sosial) dari gerakan rakyat menjadi syarat bagi penjegalan manuver-manuver KMP.
Kedua, terlepas dari bagaimanapun perdebatan publik yang bergulir di luar gedung Parlemen, pada akhirnya, hasil keputusan tersebut dikeluarkan melalui Rapat Paripurna DPR. Hasil akhir ada di tangan PARTAI POLITIK yang diwakili para anggota dewan di fraksinya masing-masing.

Berbagai kampanye (termasuk demonstrasi dan petisi on-line) yang dilakukan civil society telah berhasil mempengaruhi opini publik. Namun, ia belum berhasil mempengaruhi hasil Rapat Paripurna yang dilakukan para anggota dewan. Ia belum berhasil mempengaruhi hasil akhir apakah Pilkada Langsung akan tetap berjalan atau berhenti. Pepatah Arab menyatakan, ‘Al-Haqqu Bi La Nizham Yaghlibuhul Bathilu Bi Nizham’, Kebaikan yang Tidak Terorganisir Akan Dikalahkan oleh Kejahatan yang Terorganisir. Selama gerakan ekstraparlementer tesebut tidak berhasil memberikan tekanan/hambatan yang nyata bagi agenda-agenda yang digulirkan oligarki melalui wakil-wakilnya di DPR, selama itu pula gerakan tersebut tidak berhasil melakukan intervensi efektif ke dalam proses politik yang terjadi di Senayan.

Ketiga, dari pengalaman yang sudah terjadi seperti disinggung di atas, kita belajar (sekali lagi) bahwa sungguh, partai-partai borjuis tidak bisa dipercaya. Terkadang ada spektrum politik yang terbentang sehingga tampak yang mana yang liberal-progresif, dan yang mana yang konservatif-reaksioner. Namun pada prinsipnya, semua partai borjuis tidak ada yang bertujuan memperjuangkan sosialisme, tidak ada yang benar-benar setia pada demokrasi, tidak ada yang membasiskan diri pada perjuangan gerakan rakyat sehingga aspirasi merekalah yang kemudian tercermin menjadi agenda politik partai. Partai borjuis (di samping tekanan-tekanan anggota atau publik di luarnya yang bersifat relatif) bagaimanapun selalu milik segelintir elit, sehingga kepentingan mereka inilah yang dilayani.

Wacana-wacana yang terus disuarakan gerakan-gerakan rakyat tentang dibutuhkannya transformasi gerakan dari level sektoral-ekonomi (gerakan buruh menuntut upah layak, gerakan tani menuntut kepemilikan tanah, dll.) ke level politik sudah semakin mendesak dan perlu segera dikonkretkan. Kebutuhan akan dibangunnya partai politik baru yang membasiskan dirinya pada massa dan organisasi gerakan-gerakan rakyat sekaligus konsisten memperjuangkan aspirasi kelasnya yaitu sosialisme di Indonesia, harus segera dijawab dengan pendirian partai elektoral-parlementer.

Parpol semacam ini dibutuhkan untuk melengkapi dan meningkatkan level perjuangan dari ekstra-parlementer menjadi sekaligus extra dan intra parlementer. Kasus UU Pilkada ini memberikan pelajaran penting sekali bagi kelas pekerja tentang urgensi berpolitik praktis dalam bentuk partai yang ikut Pemilu dan menempatkan wakilnya di DPR, mengingat pelajaran pertama yang kita ambil di atas, adalah bahwa pada akhirnya keputusan politik-hukum keluar dari Parlemen, bukan jalanan.

Sejarah menggelar kenyataan-kenyataan objektif yang terus berkembang, namun keputusan politik (misalnya untuk mendirikan Parpol dan memanfaatkan peluang yang disediakan perkembangan zaman yaitu dalam hal ini demokratisasi) adalah pilihan-pilihan subyektif yang berdasar pada kejelian membaca kenyataan ekonomi-politik serta arah geraknya, dan kemampuan untuk mensarikan dari pembacaan tersebut strategi-strategi praktik politik yang konkret dan membumi.

What Is To Be Done?

Dari sekilas pelajaran yang kita ambil bersama dari kasus UU Pilkada di atas, apa yang bisa dan harus dilakukan oleh Gerakan Kiri Indonesia untuk mengatasi dan melampauinya?

Bringing Class Analysis Back In

Seperti diterangkan Mao Tse Tung, dalam masyarakat berkelas, sesungguhnya setiap individu adalah bagian dari sebuah kelas sosial, dan setiap macam pikiran terhubung dengan sebuah kelas sosial tertentu. Tentu termasuk di dalamnya, pemikiran tentang demokrasi dan bagaimana ia diterapkan secara praktis. Dalam kejadian direbutnya hak memilih kepala daerah dari warga negara, jelas Oligarki lah yang diuntungkan.

Sebenarnya, disadari atau tidak, di sisi lainnya kelas pekerja lah yang paling akan merasakan akibat buruknya, apalagi dengan belum ada partai politik milik kelas pekerja yang mewakili kepentingannya di legislatif. Dengan semakin tersembunyi dan terlokalisirnya proses-proses politik di segelintir elit yang memiliki keterputusan hubungan dengan konstituennya, yakni para anggota kelas pekerja (mayoritas penduduk), representasi politik yang sudah pincang dengan sendirinya, menjadi semakin lumpuh untuk mengartikulasikan kepentingan publik (yang, sekali lagi, mayoritasnya adalah kelas pekerja).

Itu dampak tidak langsung, dengan menerangkan bahwa sebenarnya ketika kita membicarakan masyarakat-pada-umumnya, yang-publik, sesunguhnya kita sama juga sedang membicarakan kelas pekerja sebagai sebuah subjek politik beserta kepentingan-kepentingannya. Selain itu, kelas pekerja sebenarnya juga merasakan dampak langsung, misalnya, 1) akan semakin sulit dilakukan eksperimen-eksperimen pengambilalihan kekuasaan politik di level daera; 2) Isu-isu sektoral seperti penentuan upah serta status kepemilikan tanah juga akan terdampak jika logika ‘menitip nasib’ ke anggota dewan ini diteruskan; 3) Iklim perlawanan berbasis kelas yang sedang kita rasakan kebangkitannya (kuantitas dan kualitas aksi sosial yang dilakukan kelas pekerja yang terus membanyak dan mematang), akan mendapat hambatan berarti dengan kepala-kepala daerah baru pilihan DPRD, yang tentunya akan lebih mudah berkongkalikong dengan Oligarki dan akan lebih bergantung legitimasinya sebatas kepada DPRD.

Sehingga, saat kita memperjuangkan demokrasi dan pendalamannya dalam praktik bernegara, kita perlu selalu sadar bahwa yang kita perjuangkan sebenarnya adalah bagian dari kepentingan kelas pekerja, dan ia akan lebih sering bertentangan daripada beririsan dengan kepentingan Oligarki. Jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa terlaksananya terlebih dahulu sesuatu hal, maka suatu hal itu juga menjadi sama wajibnya.

Oleh karena itu, analisis tentang keterbukaan politik dan keterlibatan langsung warga negara dalam setiap proses politik termasuk memilih kepala daerah, jangan direduksi sebagai sekadar isu demokrasi prosedural atau nilai Indonesia vs nilai Barat. Sesungguhnya kepentingan kelas pekerja adalah jelas dan terang di sini, yaitu untuk terus menyibak lebar celah-celah menuju terwujudnya presentasi aktual kekuatan kelas pekerja dalam panggung politik di Indonesia dan menendang jatuh Oligarki keluar dari panggung tersebut.

Democracy: The More The Merrier

Menjalankan demokrasi tentunya bukanlah hal yang mudah. Mengadakan Pemilu lima tahun sekali, itu mudah. Menahan waktu kekuasaan Presiden menjadi hanya 2 periode, itu juga mudah. Tapi menerapkan demokrasi, menjadi manusia dan masyarakat yang demokratis di kehidupan sehari-harinya, bukanlah hal yang mudah.

Publik Indonesia dengan mudah mengamini begitu saja jargon-jargon yang diserukan Oligarki, seperti ‘Demokrasi harus efektif dan efisien’, ‘Demokrasi hanyalah cara untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan’, ‘Demokrasi Indonesia harus sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, dan nilai-nilai budaya Indonesia’. Sehingga, demokrasi termaknai sebagai sebuah ide yang karena ia muncul di dunia Barat sementara Indonesia berada di dunia Timur sehingga memiliki budaya yang berbeda, maka harus diperlakukan dengan ‘hati-hati’ dan ‘Diambil baiknya saja yang cocok dengan Indonesia, sisanya tidak’.

Pertanyaannya, siapakah subjek politik Indonesia yang berotoritas menentukan kecocokan dan ketidakcocokan tersebut? Apakah benar bahwa demokrasi harus dipandang secara hati-hati karena tidak sesuai dengan tradisi leluhur?

Sesungguhnya, jika sesuatu yang datang dari luar Indonesia maka otomatis tidak bisa diterima begitu saja, lantas bagaimana dengan Nasionalisme? Republik? Uang? Bahkan, agama-agama seperti Islam dan Kristen? Baik atau tidaknya sesuatu tentu tidaklah bergantung pada dari mana ia berasal.

Logika ‘demokrasi yang harus efektif dan efisien’ sebenarnya merupakan oxymoron, karena sebenarnya demokrasi dengan sendirinya sudah tidak efisien. Jika anda ingin efisiensi, belajarlah ke pabrik-pabrik di masyarakat kapitalistik kita. Apakah mereka menerapkan demokrasi? Apakah setiap pekerja memiliki haknya untuk berpendapat? Memilih apa yang ingin diproduksi dan bagaimana dilakukan? Ketika kita berkomitmen dengan demokrasi, selayaknya kita telah sadar di dalam kepala sendiri bahwa kesetaraan, keadilan, dan kebebasan warga negara adalah penting dan hal yang mendasar, karena ujung-ujungnya, untuknyalah negara itu sendiri kita pertahankan keberadaannya.

Dan dengan begitu, kita menomorduakan persoalan efisiensi demi kebaikan bersama yang kita lebih ingini. Saat berdemokrasi, kita harus siap lelah, siap bersabar, bertoleransi, siap menang, siap kalah. Dari situlah kita belajar bersama tentang kesatuan kita sebagai suatu masyarakat. Dari situlah kita mendidik diri kita sendiri secara bersama-sama untuk berpolitik dengan dewasa.

Semakin banyak dan semakin seringlah justru kita perlu mempraktikkan demokrasi. Beradu pendapat, merumuskan bersama apa yang mau kita lakukan, kebijakan seperti apa yang kita inginkan, siapa pemimpin yang kita sepakati, termasuk di dalamnya siap menerima konsekuensi kalau aspirasi kita tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas.

Demokrasi prosedural kita hari ini perlu terus diperdalam menuju demokrasi partisipatoris hingga demokrasi aktual, demokrasi re-presentatif: demokrasi dengan kehadiran langsung tanpa perwakilan. Dan tentunya, seperti terjadi di Kota Porto Alegre, Brazil (demokrasi partisipatoris dalam perencanaan anggaran dan tata ruang kota) atau di Athena, Yunani (demokrasi presentatif), pendalaman dari demokrasi yang prosedural dan representatif lebih mudah dilaksanakan di lingkup masyarakat yang lebih kecil. Dalam hal ini, politik daerah merupakan wahana yang perlu kita gunakan untuk bereksperimen memperdalam demokrasi. Dan hal itu sangat dapat kita mulai dari, pertama-tama, merebut kembali hak dan kepentingan kita untuk memiliki kepala daerah pilihan kita sendiri, seluruh masyarakat secara bersama-sama.

Repolitisasi Warga Negara

Survey-survey menunjukkan bahwa mayoritas yang sangat besar dari masyarakat Indonesia sebenarnya memang lebih memilih Pilkada Langsung. Namun itu ternyata tidak 100 persen. Masih ada bagian dari masyarakat kita yang merasa rakyat belum cukup pintar. Mereka bisa salah memilih. Lebih baik anggota DPRD saja yang memilih karena mereka lebih pintar-pintar, tentunya tahu yang mana yang terbaik bagi kita semua.

Sekali lagi kita tidak bisa tidak mengutuk Orde Baru yang mayatnya sedang ingin hidup kembali ini, karena warisannya sangat kentara dalam men-depolitisasi warga negara. Memisahkan politik dari kehidupan warga negara sehari-harinya, itulah esensi politik Orde Baru. Mengurung politik dalam kotak suci yang sakral dan rumit sehingga politik bukanlah urusannya rakyat jelata, melainkan urusan mereka saja, para orang berpendidikan tinggi (teknokrat), elit politik, militer, dan birokrasi. Selama puluhan tahun di bawah Orde Baru, rakyat Indonesia dipaksa untuk tidak memanfaatkan otaknya dengan baik untuk mempertanyakan segala hal yang di hatinya terasa tidak baik dan tidak wajar. Otak kolektif tersebut karenanya hampir lapuk. Baru setelah tumbangnya Orde Baru otak kolektif itu panas kembali dan bekerja keras ‘berpolitik’, memikirkan politik.

Mendampingi fenomena populisme Jokowi adalah fenomena mulai memanasnya kembali otak kolektif masyarakat Indonesia tersebut. Orang-orang di mana-mana berbicara politik, mempertahankan pilihan politiknya dan menyerang pilihan politik orang lain. Bukan hanya berbicara, tapi otot kolektif mereka juga memanas kembali, semuanya bekerja politik. Memenangkan calon gacoannya, menjadi relawan, mengawasi dari dekat proses prosedur Pilpres demi menjamin kemenangan pihaknya. Dalam istilah yang lain, fenomena ini dapat disebut sebagai active citizenship, kewargaan aktif. Sesuatu yang di era Orde Baru dahulu seperti Oase di padang pasir.

Namun active citizenship ini tidaklah paripurna dalam dirinya sendiri. Ia masih perlu didorong lebih maju lagi, untuk tidak saja berkutat pada personal Jokowi dan lawan-lawan politiknya, tapi hingga ke pemerintilan kebijakan-kebijakannya di berbagai aspek dan penghubungannya secara langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari kita semua.

Misalnya, mendorong pemerintahan Jokowi menata ulang BPJS dari asuransi komersial berlevel nasional yang di-endorse pemerintah menjadi asuransi negara yang non-komersil. Tidak perlu ada premi karena menjamin kesehatan dan keselamatan kerja warga negara adalah kewajiban dan tanggung jawab negara. Dananya ada dari pos SDA yang mesti direbut pengelolaannya dari perusahaan-perusahaan pengemplang pajak serta dari pos pajak itu sendiri yang mesti ditingkatkan penerimaannya. Dengannya, langkah selanjutnya menuju PST/Perlindungan Sosial Transformatif bisa mulai ditapaki. Tanpa langkah ini, belum ada jaminan jika suatu saat kita atau anggota keluarga kita tertimpa sakit yang gawat darurat, keselamatannya dapat relatif terjaga karena kita tidak dipusingkan dengan persoalan biaya jaminan seperti yang sekarang ini umum terjadi. Tidak perlu lagi terulang kejadian anggota keluarga kita gagal terselamatkan hanya karena ada tindakan yang terlambat diambil oleh tenaga medis, hanya karena belum ada jaminan kita dapat membayar biaya tindakan itu nantinya.

Di atas adalah salah satu contoh bahwa bahkan urusan kasih sayang kita dengan anggota keluarga, tidaklah dan tidaklah boleh terlepas dari politik dan negara. Memisahkannya dengan sengaja bukan sekadar berarti kita bersikap naif, tapi lebih dari itu, berarti kita telah mengidap penyakit kebutaan yang paling menyedihkan yaitu BUTA POLITIK. Tidak dapat melihat keterhubungan urusan hidup kita sehari-hari dengan politik negara. Apakah dikira biaya pengobatan yang mahal itu tidak ada hubungannya dengan negara? Dengan sukarela kita telah membayar pajak setiap harinya (setidaknya melalui pajak pertambahan nilai di setiap barang yang kita beli), dan membiarkan SDA yang sangat kaya di bawah dan atas tanah tempat kaki kita berpijak dikelola oleh perusahaan-perusahaan. Kapankah kita boleh menagih bayaran, balasan dari itu semua? Tentunya adalah saat kita berhadapan dengan hak-hak kita sebagai warga negara. Saat itulah kita harus menagih, karena kita bernegara bukanlah iseng-iseng berhadiah.

Kita selalu musti sadar bahwa kita bukan sekadar pelajar atau pekerja atau ibu rumah tangga atau suami atau pacar dari seseorang. Kita setiap saatnya juga sekaligus adalah WARGA NEGARA. Pada status itu tercantum secara inheren konsekuensi-konsekuensi, yang terkadang tidak datang pada kita dengan sendirinya kecuali kita menagihnya, menuntutnya. Dengan cara: BERPOLITIK. Kewarganegaraan, dengannya, perlu kembali direpolitisasi.

We Must Be Both The Arrow and The Bull’s Eye

Salahsatu argumen yang dilontarkan KMP adalah bahwa banyak kepala daerah yang dipilih langsung ternyata kemudian tertangkap KPK. Arah dari logika argumen ini adalah bahwa rakyat bisa salah memilih pemimpin. Sebenarnya tidak ada penghubung yang membuktikan bahwa para kepala daerah tersebut melakukan korupsi karena mereka dipilih secara langsung. Selain itu, KPK juga telah ikut membantah argumen ini dengan menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru membuka celah lebih besar untuk terjadinya praktik korupsi.

Namun, sebenarnya ada sedikit unsur kebenaran di dalam argumen tersebut. Rakyat bisa salah memilih pemimpin. Ini benar, walaupun sama benarnya dengan bahwa wakil rakyat juga begitu, bisa salah memilih pemimpin. Poinnya adalah yang telah disinggung di atas, yaitu perlu usaha serius untuk memanaskan kembali otak dan otot kolektif masyarakat Indonesia untuk mampu lagi memikirkan dan mengerjakan politik. Banyak dari kita yang telah terlalu akut terpapar radiasi Orde Baru, yaitu penundukkan kesadaran politik rakyat dan depolitisasi kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, bukan hanya Oligarki yang musti kita tendang keluar panggung politik Indonesia, tapi juga bagian dari kita sendiri, masyarakat Indonesia, orang-orang yang biasa saja, termasuk mayoritas di dalamnya kelas pekerja, yang gagal memanaskan kembali otak dan otot politik mereka. Mereka yang terjebak untuk berpikir tentang politik sekadar sebagai pertarungan kekuatan, terlepas dari aspek etisnya, yaitu politik sebagai kewargaan dan bernegara, yang dimaknai ulang secara progresif dengan serangkaian konsekuensinya.

Perjuangan memperdalam demokrasi dan menyibak lebar-lebar celah bagi politik kelas pekerja, tidak bisa tidak, harus mencakup perjuangan membuat panas kembali otak dan otot kolektif masyarakat Indonesia, supaya tidak lagi alergi terhadap politik dan memandangnya sebagai hal yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Singkatnya, pendidikan politik progresif supaya semakin luas lagi masyarakat yang mau menagih secara aktif konsekuensi kewargaannya dengan cara berpolitik. Berdemonstrasi. Berpropaganda. Berpartai.

Bukan hanya kepada Oligarki kita perlu berteriak Revolusi, melainkan kepada diri kita sendiri, masyarakat luas, orang-orang biasa, khususnya kelas pekerja. Kepada kita sendiri, perlu diteriakkan Revolusi. Untuk konsisten hidup dengan mata terbuka terhadap poltik dan segala keterhubungannya dengan kehidupan sehari-hari semua orang. Kita harus menjadi anak panah yang melesat menusuk, sekaligus juga menjadi sasaran tembaknya sendiri. We must be both the arrow and the bull’s eye.