Selasa, 30 September 2014

Ekstra Parlemen Melawan Koalisi Neo Orba

Ekstra Parlemen Melawan Koalisi Neo Orba

Arie Sujito  ;   Sosiolog UGM, peneliti IRE
DETIKNEWS,  29 September 2014

                                                                                                                       


Sejak sidang paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014 lalu yang mengesahkan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagian besar aktivis, akademisi dan masyarakat umumnya merasa khawatir mengenai masa depan demokrasi lokal di Indonesia.

Situasi ini kian mencemaskan, karena mengancam kelangsungan demokrasi dan sistem politik Indonesia pada umumnya. UU Pilkada itu jelas secara substansi menggeser arah politik, dari corak popular demokrasi ke pola perwakilan elitis untuk urusan pemilihan kepala daerah. Hak konstitusional warga negara untuk secara langsung memilih pemimpinnya yakni Bupati, Wali Kota dan Gubernur dirampas, diambilalih ke tangan segelintir anggota DPRD yang berlindung dibalik elitis prosedural.

Kenyataan ini sungguh ironis. Di saat lembawa perwakilan politik seperti DPR dan DPRD yang jelas-jelas mengalami krisis kepercayaan (distrust) oleh publik yang ditandai oleh 'sinisme masyarakat”' serta cemoohan yang kerap muncul di media sosial, justru melalui UU Pilkada itu kewenangan mereka ditambah dalam porsi besar, merekalah yang berhak secara formal menentukan pemimpin.

Pencaplokan kewenangan kuasa rakyat oleh parlemen merupakan kemunduran demokrasi, yang tidak lain mencerminkan corak politik bergaya orde baru.

Neo orbaisme

Sebagaimana kita tahu, sepanjang pemerintah orde baru, model politik korporatik otoriter menempatkan DPRD sebagai lembaga yang berperan menentukan kepala daerah. Suara rakyat dipangkas masuk dalam perangkap DPRD, pemilihan kepala daerah pada saat itu hanya menjadi arena transaksional, tertutup. Pada saat itu Golkar sebagai partai orba mengatur keputusan apapun, dengan cara liciknya, lalu diikuti kekuatan penggembira yakni anggota parlemen dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Kepala daerah terpilih saat itu hanya mengabdi pada kepentingan para anggota parlemen, dimana risikonya mereka secara berjamaah mengkorup uang APBD sebagai konsekuensi transaksi itu. Tidak ada kepala daerah yang baik dan berhasil, karena lahir dari proses yang tertutup dan penuh rekayasa sehingga menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Peristiwa semacam itu cerita buruk masa lalu yang kemudian dikoreksi melalui gerakan reformasi 1998. Melalui reformasi dijadikan titik tolak bagi kelangsungan demokratisasi, diantaranya dalam hal pemilihan kepala daerah. Maka dari itu, sejak terbit UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemilukada menggunakan sistem pemilihan oleh rakyat secara langsung tanpa diwakilkan oleh DPRD.

Sepanjang 10 tahun berlangsung dinamis, hingga sampai tahun 2014 kita tahu capaian positif luar biasa dipetik. Selain meningkat partisipasi warga, kontestasi politik kian dinamis, muncul calon independen, harapan perbaikan kian menjulang sebagai penanda demokrasi lokal bekerja. Lebih penting dicatat adalah lahirnya banyak kepala daerah yang berprestasi, mereka berhasil mendorong perubahan secara nyata. Demokratisasi lokal semacam itu telah menstimulasi inovasi, kreasi dan gebrakan baru perubahan yang dikerjakan oleh pemerintahan daerah di bidang pelayanan publik, pemenuhan hak dasar, serta reformasi pemerintahan yang dapat dikatakan sebagai kisah positif, yang tidak bisa dipungkiri.

Jikalau sekarang ini sebagian besar anggota DPR menginginkan Pilkada dipilih oleh DPRD sebagaimana dikerjakan orde baru itu, berarti telah mengingkari capaian objektif hasil dari reformasi dalam pilkada langsung.

Sejumlah alasan soal konflik dan kekerasan serta biaya politik yang mahal selalu disampaikan sebagai cara untuk meloloskan hasrat kaum oligarkhi itu. Padahal alasan konflik dan kekerasan yang selama ini ditudingkan, kesemua itu justru bersumber dari kelakuan politisi parpol yang 'tidak matang dan dewasa' dalam meraih kekuasaan.

Politisi cenderung berupaya merekayasa untuk memenangkan pertarungan pada peristiwa pemilukada, sekalipun dengan cara culas. Karenanya, perbedaan afiliasi seringkali dimanipulasi oleh elit parpol dan tim sukses untuk membodohi rakyatnya. Dengan demikian, konflik dan kekerasan pada dasarnya bersumber justru dari ulah politisi parpol dan parlemen, bukan dari rakyatnya. Rakyat toh kian dewasa.

Simak saja dalam perkembangan sejauh ini peristiwa konflik dan kekerasan yang mewarnai pilkada kian menurun. Jadi seharusnya parpol dan parlemen yang mengoreksi diri, membenahi fungsi representasinya serta meningkatkan kualitas berpolitiknya, bukan malah menuduh rakyat tidak mampu menjalankan pilkada langsung. Anehnya dan begitu ngawur, kegagalan parpol dan parlemen dalam pilkada malah meminta kewenangannya diperbesar, ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan reformasi.

Korupsi DPRD

Begitu pula adanya tudingan soal biaya politik yang mahal dalam Pilkada langsung sesungguhnya tidak terbukti. Andai definisi biaya pilkada yakni pendanaan bersumber dari APBD ditambah biaya politik yang dikeluarkan kandidat untuk pemilih (tentu dengan kritik atas peristiwa ini), hal itu tidak seberapa dibanding pilkada DPRD kelak.

Pilkada oleh DPRD justru dipastikan biaya politik makin besar, selain membeli tiket ke parpol juga untuk menyuap anggota parlemen sebagai konsekuensi keterpilihan kandidat. Setelah terpilih, kepala daerah pasti 'bertanggung jawab dalam transaksi' berupa 'pengkaplingan' anggaran dinas-dinas yang bakal dikuasai parpol dan anggota parlemen.

Dinas atau SKPD bakal diperas anggarannya akibat dagang sapi saat Pilkada, itu berarti akan menyuburkan praktik korupsi yang jamak. Dalam konteks itu, APBD akan dijadikan bancakan anggota DPRD konsekuensi dari Pilkada yang dikendalikan mereka. Persis sinyalemen KPK, bahwa pilkada oleh DPRD dipastikan bakal menyuburkan korupsi dengan modus-modus transaksional.

Apalagi, pilkada yang dilakukan secara tertutup tanpa diawasi publik serta tidak ada akses terbuka bagi masyarakat non parpol untuk berpartisipasi, potensi penyalahgunaan kekuasaan makin membesar.

Dapat dibayangkan, pola semacam ini tidak akan mampu menjaring kandidat yang baik, bersih, jujur, dan kredibel. Ruang calon independen misalnya untuk terlibat menjadi bagian dalam proses politik lokal dan kesempatan menjadi pemimpin daerah menjadi tertutup. Dengan demikian pilkada oleh DPRD tidak akan bisa menghasilkan pemimpin daerah sesuai kehendak rakyat. Mereka yang bisa maju dan terpilih tentu harus berani menyuap anggota DPRD.

Parlemen Pasca Pilpres

Semenjak peristiwa pemilihan presiden (pilpres) sebagai ajang kontestasi dua kubu, Jokowi-Jk dengan Prabowo-Hatta, nampaknya terus berbuntut. Kemenangan Jokowi-Jk secara hukum dan legitimasi politik ternyata masih belum diterima beberapa orang yang tergabung dalam kubu koalisi merah putih (selanjutnya disebut kubu neo orba) di parlemen.

Reproduksi permusuhan pasca pilpres yang direkayasa oleh sebagian kecil orang, tetapi mereka berperan dominan dalam koalisi merah putih, untuk terus bermanuver dengan berbagai cara yang ujungnya menghambat laju pemerintahan dan menggoncangkan sistem politik.

Tujuannya sangat pragmatis, dendam atas kekalahan pilpres. Mereka berupaya mengolah kekuatan untuk menggerogoti kekuasaan pemerintahan dengan mengedepankan cara-cara anti demokrasi. Sebagaimana diketahui, mesin dominan yang bekerja dibalik koalisi neo orba ini adalah petinggi Golkar dengan menyeret PKS sebagai kekuatan inti mengoperasikan manuver dengan mempengaruhi PAN, PPP, PD dengan menumpukan blok Gerindra sebagai bamper.

Praktis cara kerja koalisi ini sangat sistematis. Selain memulai dengan pengesahan UU MD3, lalu UU Pilkada agar bisa menguasai jaringan pemerintahan daerah dengan memenangkan Pilkada melalui DPRD di Indonesia, dan beberapa agenda lainnya untuk menopang ambisi politiknya.

Lebih dari itu dalam jangka panjang kemungkinan akan membangun siasat baru dalam Pilpres, yakni upaya memperkuat kembali kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pola semacam ini menjadi makin jelas, dimana parlemen yang dikuasai oleh koalisi neo orba bakal menguasai kendali politik untuk kedepan sehingga menelorkan keputusan-keputusan yang anti demokrasi kerakyatan.

Jika MPR akan dirancang ulang menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana kehendak koalisi neo orba, maka mereka membangun justifikasi bisa memilih dan memberhentikan Presiden. Nah, dititik inilah kulminasinya.

Jikalau pemerintahan Jokowi membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan koalisi neo orba, sekalipun kebijakan pemerintahan Jokowi itu demi kepentingan rakyat, maka akan ada rekayasa dan diproyeksi untuk impeachment. Nalar ini mulai berproses dan bekerja, yang tentu saja akan merusak seluruh disain reformasi dan demokrasi yang telah berlansung selama ini.

Ekstra Parlemen

Demokratisasi yang berlangsung sebagai mandat reformasi tentu tidak bisa dihentikan. Upaya koalisi neo orba dengan merekayasa Pilkada oleh DPRD berarti tindakan anti demokrasi. Karena anti demokrasi, berarti memusuhi rakyat dalam proses politik kebijakan. Politik otoriter yang menjadi catatan kelam masa lalu, tidak bisa dibiarkan hidup kembali oleh karena ulah para pembajak demokrasi Indonesia.

Tentu sejarah harus maju dan berkembang, bukan dipangkas apalagi ditenggelamkan oleh kecongkakkan parlemen dan politisi yang bermental kumuh. Dalam konteks itulah, peran civil society, gerakan sosial sebagai kekuatan pengimbang oligarkhi parlemen menjadi alternatif penting.

Upaya mengingatkan parpol agar berbenah tidak direspon, alih-alih justru makin liar derajat oligarkhinya. Kekuatan ekstra parlemen yang didalamnya sektor buruh, mahasiswa, petani, kaum miskin kota, aktivis LSM, perempuan, jurnalis maupun golongan kelas menengah yang pro demokrasi perlu untuk digalang kembali sebagai kekuatan pengimbang. Pilihan kerja politik ekstra parlemen ini tujuannya agar jangan sampai arah politik terperosok pada kembalinya pola orde baru.

Metamorphosis politik orba yang masuk dalam parpol neo orba ini secara licik mengadaptasikan diri dalam demokrasi prosedural, dan sebenarnya mereka berwatak elitis, tidak mengakar, tetapi menguasai akses dalam pengambilan keputusan strategis di tingkat formal. Perlawanan penting yang perlu dilakukan adalah 'mendelegitimasi kekuatan koalisi orba' dimana kekuatan ekstra parlemen di berbagai sektor untuk lebih aktif melakukan gerakan sosial secara massif yang ditopang kerja politik media, dalam berbagai bentuk.

Pilihan ini tantangannya adalah, bagaimana kita mampu mengelola isu-isu struktural dan demokrasi popular yang bisa menumbuhkan energi kolektif penopang gerakan sosial. Jangan sampai koalisineo orba memanipulasi isu dalam arah sektarian, sebagai isu lama persis cara orde baru memecah bangsa.

Sejarah membuktikan melalui kerja ekstra parlemen ini akan mampu menunjukkan bentuk pembangkangan dan perlawanan pada otoriterisme, dan secara kontekstual saat ini untuk melawan oligarkhi koalisi neo orba. Atas dasar itulah, pemerintahan Jokowi JK tentu harus dikawal dengan dukungan dan kritik yang bisa memecahkan masalah bangsa ini sesuai dengan track demokrasi, kerakyatan dan semangat membangun bangsa yang berdaulat. Bagaimananpun juga dari realitas ini akan terbaca sesungguhnya; siapa menjadi kekuatan demokrasi dan anti demokrasi. Akan bisa pula menemukan dan membedakan antara reformis sejati dan reformis gadungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar