Minggu, 28 September 2014

Kelirumologi Keadilan Substantif

Kelirumologi Keadilan Substantif

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 27 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ini masih lanjutan soal kelirumologi yang saya tulis pekan lalu dari seminar bersama Jaya Suprana. Saya bisa menyebut satu contoh lagi, betapa keliru memahami satu istilah seringkali menimbulkan kegaduhan.

Pada 2009, MK membatalkan satu hasil penetapan KPU tentang keanggotaan DPR/ DPRD karena peraturan KPU yang mendasarinya batal. Kemudian, seorang komisioner KPU menyatakan bahwa penetapannya tentang anggota DPR/ DPRD terpilih tetap sah karena vonis MK berlaku ke depan (prospektif), tidak berlaku surut (retroaktif). Terjadilah saling klaim antara parpol dan para caleg. Rupanya komisioner KPU itu tak paham perbedaan arti ”batal” dan ”dibatalkan” sebagai istilah hukum.

Menurut hukum, keputusan yang batal itu sifatnya extunc, artinya konsekuensi dari peraturan/keputusan yang dinyatakan batal itu dianggap tidak pernah ada. Ada pun jika pengadilan mengatakan ”membatalkan” maka sifatnya ex-nunc. Artinya, keberlakuan keputusan/peraturan yang dibatalkan itu berhenti sejak pengadilan membatalkannya, sehingga akibat-akibat dan/atau manfaat peraturan/keputusan sebelum dibatalkan dinyatakan sah. Ya, banyak kegaduhan karena kelirumologi atau kekeliruan dalam memahami istilah-istilah hukum, termasuk kelirumologi wartawan dalam membuat berita.

Di luar istilah-istilah yang lebih teknis, kekeliruan acap terjadi juga pada masalah yang cukup serius bahkan filosofis. Dalam sengketa pemilihan umum (pileg, pilpres, dan pemilukada) di Mahkamah Konstitusi (MK) kerap muncul perebutan kebenaran tafsir tentang ”keadilan substantif”. Misalnya pihak pemohon mengatakan telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena membuat daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) di luar daftar pemilih tetap (DPT).

DPKTb yang dibuat di luar perintah UU itu oleh pemohon dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi karena ternyata banyak disalahgunakan, bahkan ditengarai ada mobilisasi pemilih tambahan dengan memanfaatkan DPKTb. Maka itu, pemohon meminta agar, demi keadilan dan tegaknya konstitusi, keputusan KPU tentang hasil pemilu dibatalkan oleh MK. Sebaliknya, pihak termohon KPU menyatakan bahwa justru pembuatan DPKTb diperlukan demi keadilan.

Alasannya, banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di dalam DPT, atau, karena sedang berada jauh dari tempat pemungutan suara di mana dirinya terdaftar sebagai pemilih. Oleh sebab itu, demi keadilan, menjadi tepat jika KPU membuat pengaturan tentang daftar pemilih tambahan atau DPKTb itu sehingga hak konstitusional untuk memilih tidak terhalangi oleh persoalan teknis-administratif. Di mana letak kelirumologi dalam kontroversi ini? Ternyata kedua kubu yang punya argumen yang saling bertentangan itu justru sama-sama berdalih ”demi keadilan”.

Yang satu mengatakan bahwa keadilan itu harus dibangun dengan cara tidak membuat peraturan DPKTb di luar DPT karena bisa mengacaukan dan bisa disalahgunakan, seperti mobilisasi pemilih fiktif dan pemilih ganda. Sementara yang satunya mengatakan bahwa justru ”demi keadilan” itulah KPU harus membuat peraturan DPKTb yang membuka peluang bagi warga negara yang tidak terdaftar di DPT atau sedang berada di tempat lain untuk tetap bisa menggunakan haknya untuk memilih.

Persoalannya kemudian merambah ke debat soal keadilan substantif. Yang satu mengatakan bahwa demi keadilan substantif maka ketentuan yang ada di dalam dan menjadi bunyi UU tak perlu disiasati dengan membuat peraturan ekstra, agar tak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan-kecurangan; sedangkan yang satunya mengatakan bahwa demi keadilan substantif diperlukan peraturan ekstra guna menampung mereka yang terhalang hak pilihnya karena tak tercantum di dalam DPT.

Soalnya, apakah dalam keadilan substantif itu penegakan hukum harus sama dengan bunyi UU (apa pun isinya), ataukah boleh keluar dari bunyi UU yang isinya dirasa tidak mampu memberi rasa keadilan? MK sendiri sudah lama mengampanyekan dirinya sebagai lembaga yang bekerja untuk menegakkan keadilan substantif (substantive justice) , bukan sekadar penegak keadilan prosedural (procedural justice) .

Di dalam istilah, keadilan substantif ini terkandung makna filosofis bahwa hakim tidak harus dibelenggu oleh aturan-aturan formal-prosedural atau bunyi UU. Hakim boleh membuat hukum sendiri di luar UU jika UU yang ada tidak memadai atau tidak memberi rasa keadilan. Makna filosofis yang seperti ini bisa dipahami, misalnya, dari pernyataan Bung Karno ketika pada 10 Juli 1945 menyatakan di depan sidang BPUPKI bahwa prosedur formalitet harus dibuang ke tong sampah jika tidak memberi manfaat.

Sikap MK seperti dinyatakan dalam vonis sengketa Pilpres 2009, menegakkan keadilan substantif ”boleh” keluar dari bunyi UU yang tidak adil, tetapi ”tidak harus” selalu keluar dari ketentuan atau isi UU. Selama rasa keadilan masih bisa ditemukan di dalam UU, pengadilan harus memberlakukan isi UU. Hakim, baru boleh keluar dari isi UU jika setelah digali sedemikian rupa, rasa keadilan itu tetap tidak dapat ditemukan di dalamnya.

Jadi, penegakan keadilan substantif itu membuka peluang bagi hakim untuk membuat vonis hukum sendiri di luar UU sesuai dengan rasa keadilan, sekaligus membuka peluang untuk memberlakukan isi UU sepanjang bisa ditemukan darinya rasa keadilan. Idealnya, keadilan substantif mempertemukan public common sense dengan pasal-pasal UU dan/atau dengan keyakinan hakim dalam memutus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar