Sabtu, 27 September 2014

Pelaksanaan Kurikulum 2013

Pelaksanaan Kurikulum 2013

Rosalia Wiwiek Wahyuning Ratri  ;   Guru SMP Negeri 1 Patuk,
Gunung Kidul, DI Yogyakarta
KOMPAS, 26 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEHUBUNGAN dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, satu masalah yang sangat serius dihadapi di sekolah adalah mewujudkan pola belajar-mengajar yang membuat siswa aktif bertanya dan guru dilarang berceramah terlebih dahulu. Ini terutama pada awal tatap muka di kelas: siswa harus bertanya dulu, lalu ditanggapi siswa lain atau guru. Keluhan paling umum, termasuk dalam beberapa kali pendidikan dan pelatihan berhubungan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang saya ikuti, adalah ruang kelas jadi sunyi. Bermenit-menit waktu berlalu dan terbuang sia-sia, tak ada siswa bertanya. Meski berkali-kali guru minta siswa mengajukan masalah apa pun yang berhubungan dengan pelajaran atau materi tertentu, tetap saja mereka diam. Sunyi!

Kadang-kadang satu-dua siswa terpaksa bertanya, tetapi tetap tidak berlanjut pada semua siswa aktif bertanya jawab. Guru tak mungkin membiarkan kelas sunyi dalam sehari itu. Akhirnya ada guru yang memilih kembali ke model konvensional: banyak ceramah, menyebarkan lembar kerja siswa, atau kegiatan lain. Yang penting di kelas tetap ada aktivitas.

Kita tentu berharap agar kegiatan belajar-mengajar aktif dan eksploratif tetap diwujudkan. Namun, harus diakui, di sinilah tantangan mewujudkan belajar siswa aktif, termasuk aktif bertanya dan mencari sendiri. Langkah apa untuk mewujudkan itu? Kita perlu paham sumber masalah yang membuat kelas sunyi.

Lima hal

Paling sedikit lima hal membuat siswa tidak aktif bertanya: malu atau minder, takut, tidak mengerti, patuh, dan mental
meremehkan.

Pertama, malu atau minder cukup banyak diidap anak-anak kita. Bagi mereka, menampilkan diri di depan umum sama dengan mempermalukan diri sendiri. Supaya tidak dipermalukan (diri sendiri), sebaiknya tidak usah menonjol. Siswa pemalu umumnya berlatar sosial lemah: miskin, bodoh, jelek, ndeso. Kemiskinan, kebodohan, kejelekan, dan ke-ndeso-an adalah realitas sehari-hari di negeri kita. Kita cenderung memandang remeh bahkan menjauhi mereka. Jika sudah demikian, siswa pemalu akan memilih sunyi di kelas: datang, duduk, diam, lalu pulang.

Biasanya siswa penakut tidak mau bertanya dan menanggapi meski sudah punya bahan bertanya atau menjawab. Mereka baru berbicara setelah bahan yang sama sudah ditanyakan atau sudah dijawab orang lain.

Kedua, siswa menjadi penakut karena tidak mau mengambil risiko jika pertanyaannya atau jawabannya salah. Siswa seperti ini sudah punya pengalaman buruk (baik dialaminya sendiri maupun dialami orang lain) bahwa kalau pertanyaan dan jawabannya salah atau jelek, ia harus terima risiko diolok-olok, dimarahi, dikata-katakan jelek, bahkan mendapat hukuman dari guru atau orang lebih tua dalam keluarga.

Realitas di sekolah dan dalam masyarakat: orang sering menghukum anak yang salah dalam berbicara, bertanya, atau menjawab. Bentuknya bisa berupa olokan, kemarahan, bahkan pemukulan. Anak-anak memilih diam. Lagi pula, masyarakat kita yang paternalistik tidak membiasakan anak-anak mengeluarkan pendapat, mengkritik orangtua, bahkan tidak memiliki hak mengambil keputusan penting. Yang dijunjung: diam dan patuh.

Ketiga, siswa tidak mengerti. Sampai saat ini kita bukan tipe pembaca buku atau media; juga bukan tipe pencipta dan pembaru. Inilah yang membuat siswa tak mau bergerak mencari sendiri (termasuk uji coba) di luar kegiatan belajar-mengajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman mereka. Maka, ketika masuk kelas, mereka dalam keadaan tidak tahu. Bahkan, siswa tidak tahu apakah dia belum atau sudah tahu suatu hal. Ini bisa dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan ”apakah sudah mengerti” yang direspons dengan diam belaka. Ditanya ”mana yang belum mengerti”, ya, diam juga. Jadi, siswa bingung sendiri mana yang sudah ia ketahui dan mana yang belum ia ketahui. Mereka memilih sunyi di kelas.

Keengganan siswa memburu wawasan dipengaruhi oleh nilai yang akan diberikan guru. Siswa tahu bahwa tinggi-rendah nilai yang ia peroleh bergantung pada bisa-tidak dia menjawab soal yang diberikan. Karena itu, betapa pun luas wawasannya, kalau tak ada dalam soal ujian, tetaplah ia sulit dapat nilai tinggi.

Keempat, siswa patuh. Sudah lama pelaksana pendidikan kita mengajarkan kepatuhan dan penghormatan antarindividu kepada anak-anak: harus patuh dan hormat kepada yang lebih tua, lebih tinggi sekolahnya, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Karena di kelas masih ada guru yang dipandang lebih tua usianya dan lebih tinggi tingkat pendidikannya, siswa akan kesulitan mengajukan pendapat yang sekiranya berbeda dari gurunya.

Jika Kurikulum 2013 menghendaki siswa bertanya dan menjawab, siswa khawatir kalau-kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Mereka risi sendiri dan memilih patuh saja pada pendapat guru.

Kelima, mentalitas meremehkan. Ada siswa yang meremehkan materi pelajaran di kelas lantaran mereka tahu bahwa di luar sana banyak orang bisa hidup tanpa harus menguasai materi pelajaran itu.

Sejumlah tindakan diperlukan untuk mendukung penerapan Kurikulum 2013.

Perubahan tatanan sosial

Untuk menciptakan siswa aktif bertanya, kita perlu mempersempit kesenjangan sosial. Jika masih gagal merapatkan kesenjangan sosial, kita perlu membangun mentalitas positif kaum bawah untuk tetap harus optimistis dan percaya diri. Hukuman bagi siswa di sekolah ataupun dalam masyarakat harus dihentikan guna menumbuhkan percaya diri dan keberanian anak. Anak-anak harus diikutkan bahkan bisa jadi penentu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di rumah, masyarakat, dan sekolah. Iklim ini membuat anak-anak kita pemberani dan terampil berpendapat.

Kesempitan wawasan bisa diatasi dengan sistem penilaian yang bukan lagi pada kemampuan siswa menjawab soal, melainkan pada keluasan wawasan siswa menyampaikan pendapat dan analisisnya. Juga harus dihentikan ajaran ”patuhi guru dan orangtua”, diganti dengan ”patuhi kebenaran”. Berani karena benar harus benar-benar diwujudkan meski akhirnya membongkar kesalahan atau kelemahan guru/orangtua sendiri. Selama beberapa hal ini belum bisa kita singkirkan pada masyarakat dan di sekolah, Kurikulum 2013 tak pernah bisa sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar