Selasa, 30 September 2014

Spiral Ekonomi 2015

Spiral Ekonomi 2015

Firmanzah ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO,  29 September 2014

                                                                                                                       


Membaca dan memprediksi ekonomi Indonesia pada 2015 sangat diperlukan agar kita dapat merealisasi target pembangunan nasional.

Lantaran ekonomi Indonesia berada dalam pusaran ekonomi dunia dan kawasan, melihat perekonomian nasional juga perlu diletakkan dalam kerangka kawasan dan global. Dua aspek penting, baik dalam maupun luar negeri, perlu kita cermati secara paralel, termasuk pengaruh dan interaksi keduanya. Apa yang terjadi di lingkungan regional dan global akan berdampak, langsung maupun tidak langsung, terhadap perekonomian nasional.

Begitu juga sebaliknya. Ekonomi 2015 akan terasa spesial bagi bangsa dan negara Indonesia mengingat perekonomian 2015 dirancang oleh dua pemerintahan. Secara teknokratik, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersiapkan rencana kerja pemerintah (RKP) dan RAPBN 2015.

Sementara itu, pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo, yang secara resmi memerintah mulai 20 Oktober 2014, akan memberikan muatan politik dan bahkan melakukan penyesuaian-penyesuaian, baik program, aktivitas maupun kebijakan anggaran melalui APBN-P 2015. Bersama DPR periode 2014-2019, pemerintahan baru akan memulai menjalankan RPJMN III yang berawal pada 2015.

Tantangan perekonomian nasional sepanjang 2015 akan semakin dinamis, penuh ketidakpastian akibat tren ekonomi global, dan memerlukan penanganan kebijakan secara terpadu dari otoritas moneter, fiskal, dan sektor riil. Dari sisi eksternal, hal yang paling perlu kita cermati bersama adalah dampak pengakhiran (tapering-off) dari kebijakan pemberian stimulus moneter nonkonvensional (quantitative easing-QE III) di Amerika Serikat (AS).

Membaiknya sejumlah indikator seperti di bidang ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi di AS semakin menguatkan dihentikannya QE III dan kemudian digantikan dengan kebijakan moneter yang lebih konvensional, yaitu penyesuaian suku bunga acuan. Dinaikkannya suku bunga acuan (The Fed Rate) membuat bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar (capital outflow).

Yang menjadi tantangan pada 2015 adalah ketika Bank Indonesia (BI) menyesuaikan BI Rate untuk membendung pembalikan modal (sudden reversal) ke AS. Ketika langkah ini pada akhirnya ditempuh, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5,8%. Kenaikan suku bunga berdampak pada perekonomian, investasi, penciptaan lapangan kerja serta sektor riil secara keseluruhan.

Meningkatnya suku bunga acuan membuat masyarakat melakukan penundaan konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di sektor perbankan. Dari sisi perbankan, terdapat pilihan kebijakan, di antaranya mengurangi net interest margin (NIM) atau menyesuaikan suku bunga pinjaman. Ketika opsi terakhir yang diambil, risiko baru akan muncul, yaitu meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loan /NPL).

Dari sisi eksternal lainnya, perekonomian nasional akan dihadapkan pada sejumlah faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi besar dunia seperti yang terjadi di China dan Eropa. Sementara itu, tren pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.

Meskipun ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada aktivitas ekspor sebesar perekonomian sejumlah negara di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina maupun Vietnam, tetap saja sejumlah faktor di atas akan berdampak pada laju pertumbuhan volume dan nilai ekspor nasional.

Pendapatan dari pajak ekspor juga diprediksi tertahan lantaran masih diperlukan waktu penyelesaian pembangunan sejumlah smelter untuk memberikan nilai tambah ekspor hasil tambang dan mineral. Diperkirakan pembangunan sejumlah smelter yang saat ini berlangsung akan mulai beroperasi pada 2016-2018 dan memberikan dampak signifikan pada pendapatan di sektor perpajakan.

Hal menarik yang dapat kita cermati adalah rencana pemerintah baru untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Di satu sisi kebijakan ini akan dapat menyeimbangkan postur fiskal dan penghematan anggaran subsidi BBM bersubsidi yang dapat dialokasikan ke sektor-sektor prioritas pembangunan lainnya.

Namun dalam jangka pendek, paling tidak sepanjang 2015, dampak kebijakan ini akan berakibat pada inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan produk lainnya. Masyarakat akan fokus terlebih dahulu untuk mendahulukan kebutuhan yang lebih substansial dan cenderung mengurangi konsumsi barang-barang yang bersifat sekunder.

Bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin, pilihan kebijakan untuk meringankan beban dan memberikan waktu penyesuaian dapat dilakukan melalui dana bantuan sementara langsung. Namun bagi kelompok masyarakat menengah, pilihannya melakukan penghematan konsumsi. Apabila beberapa faktor di atas bertemu dan terjadi secara bersamaan, dunia usaha akan berhadapan dengan sejumlah tantangan seperti menurunnya daya beli masyarakat, biaya modal yang meningkat, dan tuntutan kenaikan upah buruh akibat meningkatnya harga dari komponen hidup layak.

Apabila hal ini terjadi, dunia usaha akan menghadapi dua tekanan sekaligus, yaitu dari sisi permintaan pasar (demand-side) dan meningkatnya biaya produksi. Sejauh ini tantangan dalam doing business di Indonesia terkompensasi dengan besarnya pasar domestik sehingga dunia usaha masih menikmati margin yang memadai untuk menutup biaya produksi.

Namun ketika pelemahan daya beli masyarakat terjadi, sementara komponen biaya produksi juga meningkat, hal ini membutuhkan langkahlangkah antisipasi dari para pengambil kebijakan untuk memberikan stimulus pada dunia usaha nasional. Kompleks dan dinamisnya tantangan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 membutuhkan perencanaan dan penghitungan yang cermat serta komprehensif untuk antisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Sektor-sektor strategis seperti UMKM, pangan, energi, sistem keuangan, transportasi, dan logistik membutuhkan perhatian khusus untuk menghadapi spiral perekonomian nasional 2015. Tidak kalah penting, bauran kebijakan, baik di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil, perlu segera dirumuskan bersama oleh BI, pemerintah, LPS, dan OJK.

Koordinasi yang baik seperti yang kita tunjukkan di masa lalu sangatlah diperlukan agar fundamental perekonomian nasional dapat terus dijaga dan semakin ditingkatkan. Tiap pilihan kebijakan yang akan ditempuh baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil pasti akan berpengaruh dan terkait satu dengan yang lain.

Inilah yang perlu untuk segera dikomunikasikan dan dikoordinasikan oleh otoritas pengambil kebijakan di dalam negeri agar kebijakan ekonomi menjadi lebih komprehensif, terukur, dan tepat sasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar