Sabtu, 27 September 2014

Waspadai Antraks

Waspadai Antraks

Soeharsono ;   Dokter Hewan; Mantan Penyidik Penyakit Hewan; Berdomisili di Bali
KOMPAS, 27 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KOMPAS (16/9) menurunkan berita ”Kekeringan, Bobot Ternak di Sumba dan Timor Turun Drastis”. Kejadian kekeringan terjadi hampir setiap musim kemarau di Nusa Tenggara Timur. Namun, musim kemarau saat ini tampaknya cukup parah sehingga berat badan sapi turun 50 kilogram-100 kilogram per ekor, kata Nggada Yabu, seorang peternak. Sebagai daerah sumber ternak dan salah satu penyedia daging bagi Jakarta dan sekitarnya, kejadian ini tentu berdampak negatif. Terlebih lagi saat ini menjelang hari raya Idul Adha, saat kebutuhan hewan kurban akan meningkat.

Dampak lain dari kekeringan ialah potensi terjadi wabah penyakit antraks. Antraks tidak hanya mematikan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan babi), tetapi bisa juga menular ke manusia (bersifat zoonotik). Wilayah Sumba dan bagian Nusa Tenggara Timur yang lain merupakan daerah tertular antraks sejak zaman penjajahan Belanda.

Penulis pernah melakukan penyidikan antraks di Kecamatan Ngadungala, Sumba Timur (1980). Pada saat itu ditemukan 280 kuda, 150 sapi, 50 kerbau, dan 13 babi mati dari dua peternakan besar. Di samping itu, ditemukan pula 14 orang tertular antraks.

Bagaimana kaitan antraks dengan kekeringan dan bagaimana mengantisipasi penularan ke ternak ataupun manusia?

Ekologi antraks

Tulisan Van Ness dalam jurnal Science (1971) tentang ekologi antraks patut disimak. Penyebab antraks, yakni Bacillus anthracis, akan menjadi spora apabila lingkungan di sekitarnya, seperti keasaman (pH) tanah dan suhu, tidak mendukung hidupnya. Di dalam tanah, spora antraks tahan sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, antraks sangat sulit diberantas. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia pun masih tertular antraks.

Apabila faktor lingkungan sekitar mendukung (tanah berkapur/pH basa, suhu tinggi, dan musim kemarau panjang), spora antraks di dalam tanah akan berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak bagaikan di media buatan dalam inkubator. Jika populasi ternak di tempat tersebut cukup tinggi dan belum divaksinasi antraks, dapat diprediksi akan terjadi wabah.

Ketika penulis berada di Sumba Timur (1980) dan mencoba menelusuri data curah hujan di wilayah tersebut, selama lima tahun terakhir, terungkap bahwa saat itu merupakan angka terendah. Faktor lingkungan yang ditemukan di Sumba Timur pada saat itu mendukung hipotesis Van Ness.

Dari jauh, penulis menyaksikan banyak sapi yang sangat kurus dengan tulang iga sangat menonjol. Ini menunjukkan bahwa sapi-sapi itu kekurangan makanan dalam tempo relatif lama. Karena rumput langka, kulit kayu pun dimakan sapi. Penulis juga pernah menemukan seekor sapi sangat kurus terduduk di tepi kubangan: tidak mampu berdiri.

Sumber air yang kurang (Kompas, 16/9) membuat ternak akan berebut air minum dan berkubang (biasanya kerbau) di tempat yang sangat terbatas sehingga penularan penyakit makin mudah.

Antisipasi

Cara paling mudah, murah, dan efektif mencegah antraks adalah dengan vaksinasi massal ternak di daerah tertular. Vaksinasi perlu dilakukan setiap tahun dan dimulai pada awal musim kemarau. Pemerintah telah mampu memproduksi vaksin antraks melalui Pusat Veteriner Farma di Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Karena kasus antraks tidak selalu ditemukan tiap tahun, dinas peternakan yang mengurusi kesehatan hewan sering lengah melakukan vaksinasi massal.

Untuk mencegah penularan ke manusia, ternak yang akan dipotong menjalani pemeriksaan antemortem (sebelum dipotong) dan postmortem (setelah dipotong). Pemeriksaan dilakukan di rumah pemotongan hewan oleh dokter hewan atau petugas terlatih. Daging yang telah diperiksa diberi tanda apabila ”lulus” dari pemeriksaan. Dengan cara ini, pemerintah menjaga kesehatan daging yang akan dibeli oleh konsumen.

Penularan antraks ke manusia umumnya terjadi karena hewan dipotong di luar rumah pemotongan hewan, tanpa pengawasan dokter hewan. Tindakan ini ilegal, tetapi masih sering ditemukan.

Patut disyukuri, belakangan ini dokter hewan dan mahasiswa kedokteran hewan dilibatkan dalam pemeriksaan antemortem hewan korban sehingga kemungkinan penularan penyakit dari hewan ke manusia dapat diperkecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar