Jumat, 24 Oktober 2014

Anarkis Anak SD

Anarkis Anak SD

Badrul Munir  ;  Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar,
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
REPUBLIKA, 18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Masyarakat Indonesia "digegerkan" dengan adegan kekerasan anak sekolah dasar (SD) di Bukittinggi, Sumatra Barat. Kecanggihan teknologi dan fasilitas media sosial mempercepat penyebaran adegan kekerasan ini.

Kita terkesima dengan adegan ini berdasarkan beberapa hal. Pertama, pelaku adalah anak sekolah dasar, masa di mana seseorang masih polos dan belum layak melakukan kekerasan seperti itu. Kedua, kejadian tersebut di Bukittinggi, sebuah daerah yang selama ini terkenal dengan lahirnya para ulama besar dan mempunyai kearifan lokal yang tinggi.

Publik pun yakin kekerasan seperti ini bukan hanya terjadi di Sumatra Barat, tapi ini merupakan salah satu contoh yang kebetulan tersebar di dunia maya. Masih banyak kejadian serupa yang tidak diketahui dan ini yang disebut fenomena gunung es (iceberg phenomena).

Satu hal yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita selama ini? Mengapa anak seusia belia seperti itu menjadi beringas dan anarkistis?

Neurobehavior anak SD Usia 7-12 tahun menurut ilmu neurobehavior adalah periode emas di mana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk. Dan ternyata perilaku manusia sangat bergantung pada kerja sekelompok otak di bagian otak yang disebut lobus frontalis dan parietalis (otak bagian depan dan ubun-ubun). Dan perilaku di dasari oleh sistem memori yang terekam dalam otak manusia. Bilamana memori yang terekam baik, maka perilaku akan bersifat baik. 

Begitu juga sebaliknya, jika memori yang terekam jelek, perilaku cenderung jelek.

Memori yang terbentuk tergantung dari stimulus (paparan) yang masuk secara terus-menerus. Stimulus bisa dalam bentuk visual, auditorial, taktil dari lingkungan sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di suatu area yang disebut sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan emosi).

Di dalam kehidupan serbamodern ini paparan yang masuk kepada anak SD sangat variatif dan beraneka ragam. Selain dari televisi yang sering menayangkan adegan kekerasan (film kartun, sinetron, dan lainnya) juga anak gampang sekali terpapar kekerasan dari permainan (games) dan seolah sudah menjadi kebiasaan semua anak bisa mengakses atau bermain game sesuai keinginannya.

Permainan gametersebut sebagian besar mengandung adegan kekerasan (disamping adegan pornografi) dan mirisnya orang tua banyak yang tidak mampu mengontrol materi game yang sedang digandrungi anak-anaknya. Hal ini karena selain kesibukan orang tua, juga mudahnya anak mengakses permainan tersebut.

Permainan game yang mengandalkan kecepatan otak dan alat gerak untuk menghancurkan lawan tandingnya bila dimainkan terus-menerus dan tanpa bimbingan dari orang tua akan mem bentuk memori di otak yang bersifat "menghancurkan" lawan. Maka, perilaku yang muncul adalah potensi menghancurkan "lawan".

Parahnya lagi di dalam kehidupan sehari-hari anak-anak lebih sering "dididik" untuk mengalahkan orang lain. Lomba-lomba yang sering dipertandingkan lebih banyak mengedepankan mengalahkan lawan daripada membangun kebersamaan, termasuk memberi peringkat (ranking) dalam penilaian prestasi siswa.

Maka kewajiban kita sebagai orang tua harus berperan aktif untuk mengontrol dan memberi pemahaman tentang games yang mendidik dan memberi lingkungan positif untuk stimulus dalam rangka tumbuh kembang otak agar memberi manfaat bagi perilaku anak kita semua.

Selain itu, menurut ilmu psikoneuro-behavior, perilaku anak SD (7-12 tahun) aktif bergerak dan bermain, mengerjakan sesuatu secara langsung dan senang bekerja dalam suatu kelompok, tugas kita sebagai orang tua dan guru memberikan kegiatan positif dalam sebuah kelompok untuk menyalurkan energi di dalam tubuhnya, kelompok olahraga, kepanduan/pramuka, atau kelompok musik sangat baik untuk menyalurkan energi positif mereka.

Tetapi sayang permainan yang menggunakan gerak tubuh seperti berlari, meloncat, dan lainnya sudah tidak diminati lagi oleh sebagian besar anak. Hal ini di samping tidak ada lahan kosong untuk permainan, juga semakin padatnya pelajaran siswa SD, belum lagi seabrek les yang harus diikuti semakin memupus harapan anak untuk bermain aktif.

Belajar dari kasus ini, maka semua harus berintrospeksi, terutama orang tua, sekolah (guru dan pengajar) mendampingi pendidikan, memilihkan pergaulan yang baik bagi anak. Begitu juga pemerintah harus aktif memberi teguran kepada media (eletronik dan digital) yang terus menyiarkan kekerasan.

Pemerintah dan pemimpin juga memberikan contoh yang baik ke masyarakat karena perilaku mereka sering disorot media massa dan disiarkan berulang, seperti tindakan di ruang sidang DPR yang lebih mengandalkan otot (kekerasan verbal) daripada otak. Demikian juga ormas anarkistis yang sering ditayangkan media akan terekam kuat di memori anak. Di samping itu pemerintah harus proaktif mengontrol media yang menyiarkan kekerasan, baik media elektronik maupun media lain Kita berharap pelaksanaan kurikulum baru 2013 yang lebih banyak mengedepankan pembentukan karakter dan pengembangan diri bisa memberi dampak positif, yakni perilaku yang santun, pribadi yang luhur disamping pengembangan intelektual sehingga kasus kekerasan anak sekolah seperti ini tidak terjadi lagi. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar