Jumat, 24 Oktober 2014

Pemerintahan yang Tangkas

Pemerintahan yang Tangkas

Sapto Waluyo  ;  Pembantu Ketua IV STT Nurul Fikri
REPUBLIKA, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Indonesia memasuki era kepemimpinan baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di samping pelantikan yang khidmat di gedung DPR/MPR, ribuan rakyat terlibat dalam pesta di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin dan lapangan Monas.

Semoga ini pertanda baik bahwa pemerintahan baru mendapat dukungan penuh rakyat untuk membawa perubahan. Setelah pesta usai, kita perlu segera menyadari pekerjaan rumah yang banyak di hadapan mata. Ketimpangan yang masih lebar antara pusat-daerah, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan cenderung menurun disertai inflasi terus meningkat, sedangkan jalur distribusi barang masih terkendala trans portasi yang buruk.

Empat pemerintahan pasca-Reformasi 1998 belum membawa perubahan signifikan dalam kesejahteraan rakyat, meskipun kebebasan telak meruak. Presiden BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputeri (2001-2004), dan SB Yudhoyono (2004-2014) memiliki karakteristik kepemimpinan berbeda untuk menjawab persoalan bangsa yang relatif serupa. Hasilnya? Bisa menimbulkan perdebatan panjang.

Permasalahan bangsa saat ini bergulir cepat. Tanpa disadari, persoalan itu sering berkaitan dan berkelit-kelindan sehingga sulit dilacak akar masalah sebenarnya. Hanya orang-orang yang tekun dan bebas kepentingan pribadi dapat mengetahuinya, walau belum tentu mampu memecahkannya. Sedangkan mereka yang bersuara keras justru memperparah keadaan.

Data kependudukan, misalkan, merupakan persoalan kunci. Diperlukan lembaga statistik kredibel dan profesinal untuk menjalankan sensus berkala dengan tingkat kepercayaan tinggi. Itu pun belum cukup, harus didukung aparat pemerintah hingga tingkat camat dan lurah/kepala desa, serta organisasi sosial hingga RT/RW untuk memastikan identitas warga sebenarnya. Dari sanalah program perlindungan sosial bagi warga miskin dapat disalurkan tepat sasaran, tanpa menimbulkan kecemburuan.

Sayang sekali, program strategis e-KTP (komputerisasi data kependudukan) tidak berjalan mulus. Padahal, hasil sensus tentang karakteristik warga dapat diintegrasikan sehingga pemerintah pusat dan daerah mengetahui persis jumlah warga beserta kondisi nyatanya.

Gagalnya program e-KTP menunjukkan sekali lagi bahwa tantangan bangsa ini bukan karena minimnya anggaran dan sumber daya, melainkan karena lemahnya komitmen untuk menyelesaikan masalah dan melayani publik.
Kesemrawutan data kependudukan berdampak krusial saat terkait kepentingan politik, seperti daftar pemilih yang berhak memberikan suara dalam pilkada atau pemilihan umum. Tidak validnya daftar pemilih menimbulkan masalah legitimasi politik, di samping proses penyelenggaraan pemilu/pilkada yang banyak celah kelemahannya.

Kelemahan data nasional ini, jika tidak segera diperbaiki, akan memengaruhi daya saing Indonesia dalam kompetisi global. Misalnya, data tentang sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan berketerampilan khusus sangat diperlukan untuk membuka lapangan kerja dan sektor industri strategis.
Bila kita tak memiliki SDM yang terpetakan dengan cermat, serbuan tenaga kerja asing akan merampok kesempatan kerja yang terbatas. Angka pengangguran meningkat, persoalan sosial pun merebak.

Sosok Jokowi yang suka blusukan dan JK yang bersikap spontan merupakan modal berharga untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah bangsa. Namun, yang dibutuhkan Indonesia di era komunikasi dan ekonomi digital saat ini lebih dari sekadar gaya kepemimpinan. Kita membutuhkan kultur birokrasi baru yang bisa disebut sebagai "Agile Government", pemerintahan yang tangkas (Joseph Flahiff, 2014).

Konsep agility (ketangkasan, kesigapan) biasa digunakan dalam teknologi informasi dan komunikasi untuk menggambarkan respons cepat terhadap perubahan yang terjadi. Pemerintahan tangkas dapat dimaknai sebagai aparat yang mampu beradaptasi dengan perubahan secepat atau bahkan lebih cepat daripada perubahan itu sendiri.

Ada empat dimensi ketangkasan yang perlu diperhatikan instansi publik atau korporasi swasta: dari sisi sistem (business systems dan technical practices) dan dari sisi pelaku (budaya dan kepemimpinan).

Dimensi budaya (birokrasi atau korporasi) adalah sekumpulan prinsip dan perilaku organisasional yang menciptakan lingkungan kerja. Faktor ini terbangun sejak lama pada saat sebuah lem baga muncul. Perkembangan zaman menuntut suatu lembaga untuk menyesuaikan prinsip dan perilaku agar tetap mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Ada sejumlah tantangan dari dimensi budaya, yakni kepuasan-ketidakpuasan dalam bekerja, kemampuan kerjasama, kesadaran menentukan arahan mandiri (self-direction), dan kapasitas untuk bekerja lintas organisasi.

Dimensi kepemimpinan punya dua tujuan, yaitu menyediakan arah kebijakan yang jelas dan menghilangkan hambatan serta memperlancar jalan mencapai tujuan kolektif. Namun, tantangan yang dihadapi juga berat: kepercayaan terhadap proses yang berulangkali dijalani dan kehadiran/kewenangan/ pengetahuan sang pemimpin dalam merespons kondisi yang dinamis.

Dimensi sistem bersifat lebih objektif dan membuahkan dampak lebih strategis ketimbang faktor budaya atau gaya kepemimpinan. Sistem kerja (birokrasi/ korporasi) meliputi proses, peralatan, kepercayaan, dan kebijakan yang mendukung pencapaian tujuan. Tantangannya adalah laporan kinerja yang bersifat formal (ABS), alokasi pegawai yang terdistribusi habis, masa kerja yang terbatas, dan pelaporan tentang keadaan.

Dimensi teknis meliputi perlengkapan dan teknik yang digunakan untuk memenuhi kepentingan publik. Tantangannya, kesanggupan menyerap peralatan baru, merawat peninggalan lama, dan menumbuhkan kepercayaan atas praktik baru.

Apakah pemerintahan baru Jokowi-JK mampu menjawab tantangan itu? Rakyat akan melihatnya pada langkah pertama yang diambil dengan membentuk susunan kabinet yang siap bekerja sejak hari pertama. Rakyat juga akan bersabar memberi kesempatan lima tahun kepada Jokowi-JK untuk memenuhi semua janji politiknya. Warisan birokrasi lama bukan lagi alasan karena pemimpin baru punya otoritas untuk mengubahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar