Sabtu, 25 Oktober 2014

Sarjana Kertas

Sarjana Kertas

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SUATU pagi saya iseng menyimak iklan lowongan kerja di berbagai media cetak. Jangan salah paham, saya tidak sedang mencari-cari pekerjaan. Iseng saja. Ketika membaca iklan-iklan tersebut, ternyata di sana saya masih menemukan lowongan yang mencari tenaga kerja untuk kategori official development program (ODP) dan management trainee (MT).

Bagi mereka yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), istilah ODP atau MT menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan harus menempa dulu para fresh graduate yang direkrutnya sebelum menerjunkannya ke dunia kerja. Itu tentu membutuhkan investasi tersendiri yang tidak murah.

Beberapa perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat-pusat pendidikan dan pelatihan untuk menempa para fresh graduate tersebut. Di sana, mereka diajari mulai sejarah perusahaan, tata nilai dan budaya kerjanya, sampai hal-hal praktis yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari. Ada pula yang sampai memberikan soft skill-nya.

Semua itu –pakai bahasa langsung saja– cermin betapa kebanyakan fresh graduate kita belum siap kerja, mentalitas passenger. Mereka baru siap tempa. Sebagai seorang pendidik, itu tentu menjadi semacam otokritik untuk saya. Rupanya banyak materi pelajaran di perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri.

Moral Hazard

Sekarang mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut kajian McKinsey Global Institute, Indonesia (2012) menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan memiliki 55 juta tenaga terampil (skilled worker). McKinsey memperkirakan, pada 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ketujuh di dunia. Untuk sampai ke sana, kita membutuhkan 113 juta skilled worker.

Apa artinya? Di sini kita bicara mengenai skilled worker, tenaga terdidik yang betul-betul terampil. Betul-betul kompeten. Atau, kalau kita sederhanakan, siap kerja, bukan hanya bergelar S-1, S-2, atau S-3.

Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.

Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.

Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.

Pada banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard: memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-1, S-2, atau S-3, meski perguruan tingginya entah berada di ruko sebelah mana atau numpang di salah satu sekolah, bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula dosen-dosennya datang dari mana. Pokoknya asal bisa lulus dan bisa memperoleh gelar.

Kita juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi. Jasa-jasa itu tersedia karena para mahasiswa ingin cepat lulus dan memperoleh gelar sesuai dengan keinginan mereka.

Bahkan, ada yang caranya lebih kasar, jual beli ijazah. Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci ”jual ijazah”. Di sana, kita akan menemukan iklan yang menawarkan gelar S-2 berbiaya Rp 2 juta–Rp3,5 juta, bergantung pilihan universitasnya. Untuk gelar S-3, tarifnya Rp2,5 juta–Rp 4 juta. Syaratnya, cukup kirim biodata dan transfer uang. Miris, bukan?

Skilled Worker

Fakta-fakta itu jelas berkaitan langsung dengan kompetensi skilled worker. Mereka memang menyandang gelar sarjana, baik S-1 atau bahkan S-2, tetapi semuanya hanya ”sarjana kertas”. Bukan atas dasar kompetensi yang dimilikinya.

Itu sebabnya 17 persen dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur. Kisah tentang Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 yang minta agar bisa membunuh dirinya secara legal, seakan-akan mengukuhkan potret tersebut. Dia frustrasi karena sudah bertahun-tahun lulus, tapi masih menganggur.

Kita tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Akhir 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC). Supaya bisa bersaing, kita membutuhkan SDM-SDM yang kompeten. Bukan sarjana kertas.
Masalah yang terjadi di dunia pendidikan kita ini akan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya bagi pemerintahan Jokowi-JK, tetapi bagi kita semua. Di sinilah, saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang pendidikan, akan menemukan relevansinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar