Minggu, 30 November 2014

Parodi Buka Mata

                                                    Parodi Buka Mata

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


Di sebuah rapat pagi dengan sebuah perusahaan, saya menyarankan bahwa produk yang ditawarkan sudah waktunya untuk diberikan sentuhan kekinian. Saya katakan bahwa tindakan itu diperlukan karena melihat perubahan yang terjadi, baik perubahan tren sampai pada perubahan perilaku manusia di abad sekarang ini.

Dulu dan kini

Kemudian saya memberi contoh-contoh yang ada yang saya lihat dengan mata dan kepala sendiri. Kalau dulu tak ada istilah blogger, sekarang keberadaan blogger seperti pasir di lautan dan di gurun. Sejuta banyaknya bahkan tak terhitung.

Kalau dahulu tak ada media sosial, sekarang siapa yang tak menggunakan itu untuk segala rupa kebutuhan. Satu teman yang senangnya ”bernyanyi”, membutuhkan lima jenis media sosial untuk mendendangkan suara hatinya agar didengar orang lain.

Media sosial dimanfaatkan untuk menunjukkan eksistensi diri sampai kepada mempromosikan produk. Keberadaan media sosial, internet, menjadikan dunia itu begitu kecil dan mudahnya dijangkau. Mengelilingi dunia dan mengetahui isinya sekarang ini, bisa dilakukan dengan duduk-duduk tenang di rumah sambil menyantap keripik.

Contoh-contoh di atas yang saya berikan, juga termasuk cara manusia sekarang ini berpakaian, busana-busana yang mereka pilih untuk dikenakan, cara mereka menampilkan diri sampai kepada bagaimana mereka memamerkan kekayaan tanpa tedeng aling-aling. Sehingga saya sendiri sampai bingung, apakah memamerkan kekayaan itu bukan sebuah kekeliruan tetapi adalah hak seseorang tanpa harus dihakimi tinggi hati.

Semuanya berbeda tak seperti di masa saya dan klien saya muda dahulu. Bukan hanya masanya yang berbeda, tetapi cara berpikir mereka yang berbeda, kebutuhan mereka berbeda.

Setelah rapat itu berakhir, saya kembali ke rumah.

Dalam perjalanan pulang, salah satu anak buahnya menghubungi saya dan mulai menumpahkan curahan hatinya. Singkat ceritanya, klien saya itu tahu kalau perubahan sudah terjadi, tetapi susahnya untuk berubah sehingga produk yang dihasilkan dan eksekusi di lapangan juga selalu berakhir dengan yang itu-itu saja.

”Produk kami itu enggak modern gitu, Mas. Masak kemarin itu milih pembicara yang sudah enggak zamannya lagi, saya sebagai anak sekarang ini aja enggak kenal siapa dia,” kata salah satu anak buahnya itu. Kemudian ia melanjutkan lagi. ”Yang bisikin dia tu juga banyak, Mas, dan yang bisikin itu juga sama kunonya. Susah deh, Mas.”

Melepas jangkar

Setelah sesi curhat itu selesai, saya senyum-senyum sendiri. Sebagai seorang pemberi saran, saya memang dengan mudah dapat menyodorkan fakta dan data. Tetapi semua itu hanya benda mati. Fakta dan data itu berguna hanya kalau dijalankan oleh manusia yang mau menerima, membaca, dan kemudian dengan bijaksana mengeksekusinya.

Dengan pengalaman hidup yang sudah saya jalani ini, mengeksekusi itu memiliki bobot yang besar di dalam diri eksekutornya, bukan dalam fakta dan datanya. Saya termasuk orang zaman dahulu, memiliki nilai-nilai dahulu. Ketika saya memasuki abad yang serba modern dan cepat ini, saya membutuhkan waktu yang lama bahkan sampai sekarang saya masih terengah- engah dibuatnya.

Saya bisa membuka mata. Artinya, saya melihat dan membaca akan keadaan yang terjadi di kehidupan saya dan dunia. Tetapi mulut saya itu saya tutup dari bersuara dan menyuarakan akan apa yang dilihat mata saya sekarang ini. Sehingga di ruang rapat, yang saya suarakan adalah apa yang dilihat mata saya puluhan tahun lalu.

Nah, yang puluhan tahun itu ada yang masih cocok, ada yang juga sudah ketinggalan zaman. Masalah terbesarnya adalah, saya menyadari kalau itu sudah tidak cocok lagi, saya harus mencocokkannya dengan yang cocok sekarang ini.

Maka saya teringat akan ungkapan ini. Birds with same feather flock together dan teringat akan anak buah klien saya yang mengatakan bahwa orang-orang yang dekat dengan bosnya itu sama kunonya.

Sejujurnya penjelasannya itu yang membuat saya tersenyum sendiri setelah mendengar sesi curhatnya. Saya ini orang kuno, senangnya yaa... kumpul sama manusia yang sama seperti saya. Kalau dipindahkan ke anak-anak zaman sekarang, saya hanya bertahan beberapa jam, setelah itu pembicaraan akan berhenti dan berakhir dengan menjadi garing.

Nah, susahnya kalau pembisik di kantor dalam urusan memajukan perusahaan, juga sama kunonya, sama cara pandangnya. Bisa jadi, pembisik-pembisik ini seperti batu yang menjadi beban yang saya ikatkan di kaki sehingga saya menjadi susah untuk maju.

Saya membutuhkan kenyamanan dengan mereka yang bulunya sama, saya mendapatkan bisikan yang tak hanya nyaman tetapi yang bisa saya terima karena saya bisa mengerti. Tetapi saya juga harus mengakui, situasi nyaman itu juga seperti batu yang diikatkan ke kaki kemudian saya diterjunkan ke dalam laut. Jadi seperti jangkar yang membuat kapal tak bisa pergi ke mana-mana.

Sebagai manusia lama, sekarang ini, saya sedang berusaha melepaskan jangkar dan membiarkan kapal saya mengarungi samudra kekinian dengan nakhoda yang bijak. Bijak itu menginikan kekunoan saya ketimbang saya mengunokan kekinian mereka.

Takut Mati

                                                              Takut Mati

Agustine Dwiputri  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


Sepeninggal ayah beberapa bulan yang lalu, ibu kami (50) mengalami perubahan yang sangat drastis. Beliau sangat sering takut akan segera meninggal juga. Sampai-sampai tidak berani pergi ke pasar sendiri, kegiatan yang tadinya sangat disenanginya. Apakah ini sesuatu yang wajar? Saya pikir kebanyakan orang juga takut mati, bukan? Tapi rasanya ibu saya, kok, agak berlebihan, bahkan belakangan terlihat sulit diajak berziarah ke makam almarhum, apakah ini yang namanya fobia? Mohon penjelasan lebih detail dari ibu. Terima kasih sebelumnya.

   Titi di Jakarta

------------------------

Saudari Titi yang baik.

Pandangan yang mengatakan bahwa rata-rata orang takut mati tidaklah salah. Sejauh rasa takut itu tidak menjadi pemikiran terus-menerus hingga mengganggu kehidupannya sehari-hari masih merupakan sesuatu yang wajar. Apalagi jika seseorang masih bisa memahami bahwa kematian adalah suatu keniscayaan, tak ada seorang pun yang mampu menghindarinya. Memang demikian adanya, bukan?

Fobia kematian

Dari penjelasan singkat di atas, tampaknya ibu Anda memang mengalami fobia kematian. Menurut Edmund J Bourne PhD dalam The Anxiety and Phobia Workbook (2010), fobia kematian merupakan bagian dari fobia spesifik. Salah satu fobia spesifik melibatkan rasa takut terhadap suatu obyek atau situasi tertentu. Anda cenderung menghindari situasi tersebut sama sekali atau cara lainnya adalah tetap bertahan menghadapinya dengan ketakutan.

Untuk didiagnosis sebagai penderita fobia, Anda tidak hanya memiliki ketakutan yang kuat dan menghindari situasi tertentu, tetapi fobia Anda juga secara signifikan mengganggu fungsi kerja dan/atau hubungan sosial Anda.

Ketakutan akan kematian, kadang-kadang disebut sebagai thanatophobia, dapat melibatkan satu atau beberapa dari variasi rasa takut yang berbeda-beda. Berikut adalah beberapa jenis yang paling umum dari rasa takut akan kematian.

- Takut akan ketiadaan (tidak eksis), suatu akhir yang menetap untuk hidup.

- Takut akan sesuatu yang tidak diketahui—tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kematian.

- Takut akan akhirat yang negatif berdasarkan keyakinan agama, seperti gagasan tentang neraka atau api penyucian.

- Takut akan kesakitan, nyeri, dan penderitaan yang terkait dengan kematian.

- Takut akan kematian orang yang dicintai, yang sangat dekat hubungannya dengan Anda.

- Takut tentang hal-hal yang akan terjadi pada orang yang dicintai dalam keluarga Anda setelah kematian Anda.

- Takut akan segala sesuatu yang mati, seperti jenazah atau sesuatu yang berhubungan dengan kematian, seperti peti mati, rumah duka, dan pemakaman.

Kadangkala dasar dari ketakutan hanyalah sekadar suatu kehilangan kontrol. Meninggal adalah kondisi yang terjadi di luar kendali seseorang dan dia mungkin mencoba untuk ”menahan” kematian melalui sering berkunjung ke dokter dan mendatangi berbagai praktik kesehatan alternatif lainnya.

Penyebab

Penyebab ketakutan akan kematian bervariasi bergantung pada jenis ketakutan mana yang dominan. Filsafat eksistensialis menyatakan bahwa rasa takut akan ketiadaan merupakan sesuatu yang bersifat terberi (bawaan) untuk kondisi manusia dan dibagi bersama oleh semua manusia pada suatu tingkat yang mendalam.

Beberapa pandangan bahkan menyatakan bahwa rasa takut akan kematian (dalam arti ketiadaan yang permanen) adalah ”inti” atau ketakutan yang mendasari seluruh ketakutan yang ada. Tampaknya pandangan para eksistensialis tersebut ada benarnya. Kita semua, pada satu titik tertentu, memiliki kecemasan tentang akhir kematian kita.

Ketakutan lain mengenai kematian berpusat di sekitar keyakinan agama, yaitu mengenai hukuman dan neraka di akhirat. Seseorang yang cukup serius dengan keyakinan ini perlu diperlakukan hati-hati oleh konselornya, acap kali konselor kurang sensitif dan menganggap keyakinan tersebut seperti dibuat-buat saja.

Takut akan rasa sakit dan penderitaan yang terkait dengan kematian mungkin timbul dari pengalaman traumatis menyaksikan orang yang dicintai pergi melalui proses kematian yang berlarut-larut. Sering kali kematian orang yang dicintai dapat mengakibatkan peningkatan rasa takut terhadap kematiannya sendiri ataupun pada hal dan benda-benda yang berhubungan dengan kematian.

Penanganan

Penanganan terhadap thanatophobia tentu saja bergantung pada sifat spesifik dari ketakutan tertentu seseorang. Mengatasi rasa takut akan ketiadaan mungkin memerlukan beberapa refleksi filosofis yang mendalam mengenai makna hidup dan pengakuan bahwa mungkin cara terbaik untuk berurusan dengan kematian adalah dengan menjalani kehidupan sedapat mungkin. Adalah penting juga untuk menyadari bahwa tidak satu pun dari kita adalah unik dalam hal ini: setiap orang pasti berurusan dengan kematian. Hanya waktunya sulit untuk diketahui.

Beberapa orang merespons secara positif untuk membaca literatur yang menyediakan bukti tentang keberlangsungan kesadaran setelah kematian. Beberapa literatur mengenai pengalaman menjelang kematian dan berbagai informasi individual mengenai apa yang orang ”lihat” selama pengalaman tersebut memberikan bukti kuat bahwa kematian bukanlah akhir eksistensi yang permanen.

Takut akan kematian dari orang yang dicintai bisa merupakan sesuatu yang sulit, tetapi dapat dilihat sebagai ”panggilan spiritual” untuk mengembangkan kekuatan batin dan kemampuan untuk berdiri sendiri bahkan tanpa adanya orang-orang tersayang. Beberapa orang berbesar hati dengan keyakinan bahwa setelah kematian, mereka akan bersatu kembali dengan orang yang dicintai yang telah ”mendahului”, suatu kemungkinan yang jelas ditunjukkan oleh literatur tentang pengalaman menjelang kematian.

Akhirnya, jika ibu Anda takut kematian karena dimulai oleh pengalaman traumatis menyaksikan kematian seorang teman atau anggota keluarga, Anda dapat mengajaknya berkonsultasi pada terapis psikologis yang akan membantu dengan menggunakan teknik hipnoterapi atau EMDR (Eye-Movement Desensitization and Reprocessing) untuk mengatasi dan mengonfigurasi ulang berbagai ingatan traumatis dari ibu.

Semoga membantu. Salam hangat.  

Hegemoni Satu Jalan Satu Sabuk

                              Hegemoni Satu Jalan Satu Sabuk

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


Diam-diam Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menandatangani Memorandum of Understanding on Establishing the Asian Infrastructure Investment Bank Among Prospective Founding Members, Selasa (25/11), di Jakarta, dan disaksikan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng. Tidak ada media massa lokal memberitakan ini, hanya media massa Tiongkok, termasuk Renmin Ribao (harian Rakyat), yang memberitakannya pada Rabu (26/11) dengan judul ”Yinni Qianshu Choujian Ya Touxing Beiwanglu” (Indonesia Menandatangani Nota Kesepahaman Membangun Bank Investasi Asia).

Ada yang janggal dalam keputusan pemerintahan Presiden Joko Widodo menandatangani MOU pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Bahkan, Kementerian Luar Negeri tidak dilibatkan dalam penandatanganan MOU AIIB ini yang dilanjutkan dengan pertemuan negosiasi pertama AIIB di Kunming, Provinsi Yunnan, Jumat (28/11).

Pemerintahan Indonesia terkesan menghindari publikasi penandatanganan MOU AIIB yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri di antara 22 negara Asia lainnya. Ada dua perspektif muncul dari upaya diam-diam Pemerintah RI. Pertama, menghindari pertanyaan DPR yang berada dalam kemelut politik antara partai-partai pro dan anti pemerintah.

Kedua, Indonesia seperti tak mau ketinggalan kereta dalam upaya Tiongkok membangun strategi infrastruktur Asia baru yang disebutnya yi lu yi dai (satu jalan satu sabuk) yang mengacu pada pembangunan infrastuktur di jalur yang disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalan Sutra dan Jalan Sutra Maritim, dan terkesan sangat mengandalkan dana keuangan Tiongkok untuk membangun visi poros maritim Presiden Jokowi.

Transformasi kawasan

Awalnya, kita melihat upaya Tiongkok membentuk AIIB sebagai bagian dari strategi jalur sutra daratan dan lautan sebagai kesempatan bagi Indonesia menghadirkan kebijakan luar negeri Indonesia mentransformasikan kondisi kondusif bagi pembangunan dan pertumbuhan kawasan Asia Tenggara.

Itu sebabnya ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing, Jokowi mengajukan usul, kalau keterlibatan Indonesia dalam AIIB dengan kondisi lokasi AIIB berada di Jakarta dan Tiongkok perlu mempercepat realisasi perundingan tata berperilaku (code of conduct) di laut Asia Tenggara yang berlangsung terlalu lambat mengelola klaim tumpang tindih kedaulatan di kawasan laut ini.

Kita memahami itikad Tiongkok dalam strategi jalur sutra daratan dan lautan melalui pembentukan AIIB dari sisi pengejawantahan lingkup pengaruh soft power (kekuatan lunak) Tiongkok di kawasan, tetapi sekaligus juga memberikan indikasi keinginan mentransformasikan kawasan konflik Laut Asia Tenggara menjadi kawasan damai dan stabil bagi pembangunan kesejahteraan bersama.

Namun, ketika membaca MOU AIIB secara saksama, pentingnya upaya kerja sama regional bagi pertumbuhan berkelanjutan, memiliki tujuan yang lebih banyak menguntungkan RRT seperti menentukan hak suara berdasarkan saham yang dimiliki. Tiongkok sudah menyatakan, setengah dari dana yang dibutuhkan AIIB sebesar 100 miliar dollar AS disediakan Tiongkok karena kapasitas keuangannya yang memang masif.

Dalam MOU ini juga disebutkan, jika Tiongkok akan mengendalikan apa yang disebut sebagai Sekretariat Interim Multilateral yang akan menghasilkan rancangan pembentukan Articles of Agreement (AOA) tentang tata cara bank ini beroperasi. Keseluruhan isi MOU AIIB ini memang memiliki semangat kebersamaan yang kuat, termasuk penekanan perlunya ketahanan regional menghadapi krisis keuangan dan gangguan dalam konteks globalisasi.

Menghadapi strategi baru Tiongkok menjadi negara adidaya setara AS, ada dua kondisi yang harus dipahami tentang keberhasilan model investasi infrastruktur yang dijalankan Tiongkok selama ini. Pertama, RRT memiliki aset sangat besar, khususnya lahan tanah, sehingga investasi infrastruktur ini menghadirkan sebagian besar pendapatan pemerintah melalui transformasi sosial. Kedua, Pemerintah RRT memiliki manajemen yang efektif, walaupun ada kebocoran seperti korupsi, sehingga manfaat sosial utama bagi pemerintah bisa tercapai.

Keikutsertaan Indonesia dalam AIIB harus menyadari kondisi ini. Transformasi regional dalam mekanisme kerja sama ini harus dipastikan jika kemauan politik dalam rangka luas kerja sama investasi keuangan harus didukung seluruh komponen dalam negeri.

Kita tidak ingin satu dekade ke depan berhadapan di mana strategi ”satu jalan satu sabuk” menjadi platform hegemoni Tiongkok dan investasi infrastruktur harus tetap kembali ke RRT karena keseluruhan strategi Jalur Sutra Tiongkok ini bisa mencapai 21 triliun dollar AS.  

Kayak Pernah Hidup di Zaman Belanda Saja

             Kayak Pernah Hidup di Zaman Belanda Saja

Khaerudin  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun mungkin terinspirasi apa yang dilakukan tokoh Andy Dufresne di film The Shawshank Redemption ketika dia menyimpan ”buku” tebal berjudul A Journey to the memory of Old Greece. Sebenarnya ini bukan buku. Hanya tampilan luarnya yang mirip buku. Di dalamnya ternyata sebuah brankas kecil, lengkap dengan kuncinya.

Namun, jelas Annas tak sekreatif tokoh Andy di The Shawshank Redemption yang melubangi bagian dalam Alkitab untuk menyimpan martil kecil. Martil ini yang digunakan Andy untuk mengorek tembok tebal penjara Shawshank.

”Buku” A Journey to the memory of Old Greece ini hanya brankas kecil yang dibungkus benda mirip buku. Dari luar, tepian halamannya juga terlihat seperti buku biasa. Tebalnya sekitar 10 sentimeter. Jika sampul halamannya tak dibuka, tak akan tampak brankas kecil di dalamnya.

 ”Buku” semacam ini bisa dibeli dengan mudah. Entah dengan maksud apa Annas membelinya dan membawa ke dalam selnya di Rumah Tahanan KPK yang terletak di Kompleks Pomdam Jaya Guntur, Jakarta Selatan. Tak diketahui pula apa yang hendak disimpan Annas di dalam brankas kecil berbentuk buku itu. Namun, jelas dia ingin mengecoh petugas Rutan KPK.

Teman sekamar Annas di sel nomor 6 Rutan KPK, yakni Bupati Karawang nonaktif Ade Swara, punya cara lain untuk mengecoh petugas Rutan KPK. Tahu bahwa membawa uang ke dalam sel dilarang, Ade mengakalinya dengan menyimpan uang tersebut di dalam rongga tiang penyangga rak plastik. Ini rak plastik yang biasa digunakan untuk menyimpan barang seperti buku atau benda kecil lain.

Setiap tingkatan rak biasa disangga dengan tiang di empat sudutnya. Biasanya tiang penyangga ini berlubang untuk memudahkan pemiliknya memasang atau mencopot rak. Di dalam rongga tiang penyangga rak ini Ade kedapatan menyimpan uang Rp 2,4 juta.

Ponsel dibungkus plastic

Masih di Guntur, KPK juga mendapati ponsel pintar milik Ade yang dibungkus plastik dikubur di taman dekat area olahraga. Sementara penghuni Rutan Guntur lainnya, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara Budi Susanto, buru-buru membuang ponsel miliknya di saluran pembuangan air karena takut kedapatan menyimpan barang terlarang di dalam sel.

Bukan cuma Ade yang kedapatan menyimpan ponsel saat ditahan di Guntur. Tercatat ada tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten Chaeri Wardana dan tersangka kasus korupsi dermaga Sabang Heru Sulaksono. Heru bahkan tidak hanya menyimpan satu jenis ponsel. Selain Blackberry, ia juga menyimpan ponsel merek Samsung. Ada juga power bank yang dikubur di taman. Entah milik siapa.

Para tahanan ini kedapatan menyimpan barang-barang yang masuk kategori terlarang disimpan di sel setelah KPK menggelar inspeksi mendadak pada 8, 9, 10, dan 15 Oktober.

Tidak hanya di Rutan Guntur, pelanggaran juga dilakukan para tahanan di rutan yang berada di gedung KPK. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kedapatan menyembunyikan Blackberry dan dua baterainya di plafon kamar mandi. Di rutan ini pula KPK mendapati mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menyimpan modem Wi-Fi. Sementara tersangka kasus korupsi pembangunan proyek tanggul laut di Biak Teddy Renyut yang ketahuan menyembunyikan ponsel saat sidak tanggal 8 Oktober, dua hari berikutnya juga ketahuan menyimpan ponsel merek Nokia.

Dengan semua pelanggaran tersebut, menurut Juru Bicara KPK Johan Budi SP, tahanan yang kedapatan melanggar aturan rutan, sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dihukum larangan dijenguk oleh kerabatnya selama satu bulan. Namun, mereka masih boleh dijenguk oleh pengacaranya.

Belum lagi hukuman tersebut kelar, enam tahanan di rutan yang berada di gedung KPK, Anas, Akil, Teddy, Mamak, Kwee Cahyadi Kumala, dan Gulat ME Manurung, menandatangani surat berisi keberatan kepada Kepala Rutan KPK dengan tembusan antara lain ke pimpinan KPK, Komisi III, serta Menteri Hukum dan HAM.

Dalam surat keberatan itu dinyatakan, sejumlah larangan KPK terhadap tahanan ini lebih buruk daripada pengelolaan tahanan di zaman penjajahan Belanda.

Bahkan, pengacara Anas, Adnan Buyung Nasution, menyatakan, perlakuan KPK terhadap tahanan melanggar hak asasi manusia. Buyung mengatakan, larangan-larangan yang diberlakukan KPK terhadap tahanannya, seperti tak boleh membaca koran dan buku, lebih kejam daripada tindakan pemerintah Orde Baru terhadap tahanan politik sekalipun. Dia kembali mengatakan, KPK sebaiknya dibubarkan.

Namun, Johan membantah bahwa KPK melarang tahanan membaca buku dan koran. Dia menunjukkan foto bahwa di dalam sel tahanan ada koran yang bisa dibaca. Soal buku, memang tahanan hanya diberi kesempatan membawa lima buku ke dalam sel. Ini karena ada tindakan manipulatif, seperti membawa buku, tetapi sebenarnya brankas kecil.

Dengan semua pelanggaran yang ditemukan ini, Johan yang disinggung isi surat keberatan tahanan hanya mengatakan, ”Kayak pernah hidup di zaman Belanda saja mengatakan perlakuan KPK lebih buruk daripada Belanda terhadap tahanannya.”

Berbahan Murah, tetapi Tidak Murahan…

                Berbahan Murah, tetapi Tidak Murahan…

Aryo Wisanggeni G  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


PASAR Seni ITB sudah ”membajak” Minggu untuk kesebelas kalinya di Bandung. Ratusan warga, mahasiswa, dan wisatawan tumpah ruah ke tiap sudut kampus. Selama 42 tahun, pasar seni itu masih tetap ramah dan terus membumikan seni rupa. Minggu (23/11) pukul 08.35, Pasar Seni ITB belum resmi dibuka. Namun, para ”penyusup” berhasil masuk ke ”galeri” dadakan yang digelar di lapangan basket kampus Institut Teknologi Bandung.

Di salah satu ”lapak” pameran, enam patung serial ”Anjing Geladak” karya pematung kenamaan Nyoman Nuarta mencuri mata. Sang penjaga, Resi Sofanti (38), semringah melihat antusiasme para ”penyusup” memadati lorong-lorong lapak yang menjual karya para perupa kondang Bandung. ”Sudah ada empat orang yang membeli karya Pak Nyoman Nuarta,” ujar Resi tersenyum.

Enam patung anjing berbahan resin itu diolah sedemikian rupa sehingga terkesan berbahan tembaga dan tiap- tiapnya dicetak hanya 15 kali. Garapannya memang khas, segera mengingatkan publik kepada karya-karya monumental Nyoman Nuarta. Harganya sungguh menggoda. Dengan merogoh uang Rp 10 juta, publik sudah bisa membawa pulang patung anjing tersebut lengkap dengan sertifikat yang menerangkan keaslian karya Nyoman Nuarta itu.

Para ”penyusup” rela menerobos puluhan ribu peserta car free day di Jalan Juanda, Bandung, tergopoh-gopoh mencari lapak para perupa. ”Pasar Seni ITB selalu spesial, baik bagi Pak Nyoman yang menyiapkan karya khusus bagi pasar seni ini maupun bagi pengunjungnya,” ujar Resi.

Di pasar seni empat tahunan itu, ”serangan fajar” memang menentukan hasil akhir perburuan. Reinaldi Tamin (36) merasakan sendiri risiko ”kalah pagi”. Arsitek alumnus ITB yang bermukim di Bandung itu sudah memulai perburuannya ketika lapak Serambi Pirous pelukis AD Pirous dan Erna Pirous yang masih ditutupi bentangan kain putih, tetapi lukisan yang paling ia sukai justru dilabeli tanda booked.

”Ini yang booked jadi membeli tidak ya?” Reinaldi bertanya kepada penjaga sambil menunjuk sebuah lukisan kecil berjudul ”Pemandangan”. Sebagai karya AD Pirous, lukisan itu sangat khas, menghadirkan komposisi warna-warna cerah yang abstrak, lalu diimbuhi secarik garis keperakan yang serupa huruf pertama aksara Arab, ”Alif”. ”Kalau yang booked batal, saya yang ambil lukisan ini ya?” rayu Reinaldi.

Sejak lama Reinaldi mengoleksi repro karya AD Pirous dan mengoleksi sejumlah grafis karya sang perupa. ”Sejak lama saya mengagumi lukisan kaligrafi karya AD Pirous, tetapi belum pernah memiliki lukisannya,” kata Reinaldi tertawa.

Membumi

Sejak digelar pertama kali tahun 1972, Pasar Seni ITB memang istimewa, baik bagi para perupa, kolektor, maupun ”orang biasa” seperti Reinaldi. Riwayat Pasar Seni ITB berawal dari Rochester, singgah di Paris, lalu mendarat di Bandung. AD Pirous, sang perintis, masih mengingat musim gugur tahun 1970 ketika ia berkuliah di Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat.

Ketika itu, ia bahkan tidak tahu apa itu ”pasar seni”. ”Saya diajak kawan, datang dengan membawa karya yang saya lukis di studio, empat buah tongkat dan beberapa utas tali. Saya terkejut, karya saya dibeli orang. Saya segera tahu, saya harus bikin pasar seni serupa di Indonesia,” kata Pirous.

Tahun 1971, ia merampungkan studinya, lalu singgah ke Paris untuk menjemput istrinya, Erna Pirous, yang bersekolah di sana. Di ibu kota Perancis itu, ia keluar masuk galeri para maestro seni rupa, termasuk mengunjungi galeri perupa Sonia Delaunay.

”Di jalanan saya terpana melihat gadis Paris memakai syal bermotif lukisan karya Sonia Delaunay. Saya tersadar, di Paris karya seni berkualitas abadi dalam museum diterjemahkan dalam desain produk menjadi komoditas ekonomi. Tahun 1971 saya kembali ke ITB dan tahun 1972 saya menggelar Pasar Seni ITB di pinggir Jalan Ganeca, Bandung. Seperti di Rochester, pasar seni ini bukan tempat menjual karya seni dengan harga mahal, melainkan membumikan seni rupa ke kehidupan rakyatnya,” katanya.

Biarpun menawarkan ”harga kelas dua”, Pasar Seni ITB tidak lantas menawarkan ”karya kelas dua”. Karya-karya para perupa memiliki mutu estetika tinggi, tetapi ”dibangun” dengan beragam materi ”murah” tanpa menjadi murahan.

Tisna Sanjaya yang biasanya menghadirkan karya instalatif yang dibangun lewat performance art kini menghadirkan 42 drawing dalam lapaknya. Bagi Tisna, Pasar Seni ITB adalah interupsi terhadap art fair lain yang selalu dipenuhi para galeri dan kolektor.

”Pasar Seni ITB itu tak ubahnya pasar tradisional kita, pasar yang mempertemukan manusia dengan manusia. Ada mahasiswi datang, mengapresiasi karya, tetapi tanpa cukup uang. Saya persilakan ia membeli semampunya karena saya tahu ia mengapresiasi karya saya,” kata Tisna.

Evy Syaifullah, dosen grafis Universitas Padjadjaran, Bandung, menjadikan Pasar Seni ITB interupsi bagi diri sendiri. ”Saya hanya menjual satu karya, poster suasana Pasar Seni ITB yang hanya dicetak 100 buah dengan teknik digital printing. Antara mencari uang dan bereuni dengan banyak kawan sama-sama jadi motif ke pasar seni,” ujar alumnus jurusan grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB angkatan 1987 itu.

Reuni bahkan menjadi tujuan utama para seniman Kandura. Studio keramik itu didirikan Fauzy, Nuri, Ghia, dan Tisa di Bandung pada 2005. ”Kami alumni ITB dan sejak 2006 ikut setiap Pasar Seni ITB. Di situ kami menghadirkan beragam produk keramik dengan potongan harga 20 persen dan melihat respons pengunjung,” kata Fauzy tertawa.

Selama 42 tahun, lewat sebelas kali penyelenggaraan, Pasar Seni ITB telah berkembang menyerupai sebuah festival seni. Tak hanya mempertemukan para perupa dengan warga, pasar ini sudah menjadi perhelatan yang lengkap dengan beragam seni pertunjukan, diramaikan puluhan anjungan kuliner lezat, juga puluhan stan kerajinan.

Tak kurang dari AD Pirous sendiri berkelakar. ”Pasar Seni ITB kali ini gagal karena terlalu sukses. Terlalu banyak orang datang,” kata Pirous bangga.

Mufakat Budaya

                                                      Mufakat Budaya

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KOMPAS,  29 November 2014

                                                                                                                       


Mari lupakan masalah politik. Lupakan koalisi merah dan koalisi hebat. Tak semua merah itu pertanda hebat. Buktinya tim nasional sepak bola kita, yang sering mengenakan baju merah, jarang menang.

Sejenak kita pergi ke Taman Impian Ancol. Di sana ada seratusan lebih budayawan dan agamawan yang berkumpul untuk sebuah acara yang disebut Temu Akbar II Mufakat Budaya. Mereka bermufakat untuk merumuskan masalah kebudayaan yang sesungguhnya menjadi inti persoalan kenapa negeri ini karut-marut.

Dengan penanggung jawab Radhar Panca Dahana, para budayawan itu datang dari berbagai daerah. Ada penyair, pelukis, sejarawan, tokoh agama, juga pemikir berbagai ilmu sosial. Ada Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, Azyumardi Azra, Thamril Amal Tomagola-untuk sekedar menyebut keanekaragaman mereka. Dibuka oleh Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, temu akbar ini menampilkan tiga pembicara kunci (keynote speaker) : Ishak Ngeljaratan, Daud Yusuf, dan Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Ada guru besar, ada mantan menteri, dan nama terakhir itu pendeta Hindu yang di media sosial namanya lebih pendek: Mpu Jaya Prema. Mungkin tak asing bagi pembaca Cari Angin.

Apa yang mau dirumuskan? Ide dasar bagi sebuah strategi kebudayaan dalam kaitan dengan pengembangan sains dan teknologi. Merumuskan strategi integrasi kebudayaan, sains, dan teknologi sebagai landasan atau basis pembangunan peradaban Indonesia.

Ini temu akbar yang kedua. Yang pertama lima tahun lalu, yang dikenal dengan Deklarasi Cikini. Saya mau kutip kalimat awal dari Mukadimah Deklarasi Cikini. Bunyinya: "Apa yang terjadi di Indonesia masa kini adalah kebingungan dan kekeliruan yang akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Hal itu diakibatkan oleh peran negara, dalam hal ini pemerintah, yang terlampau dominan dan menafikan publik dalam semua proses pengambilan keputusan."

Setelah lima tahun, apa yang terjadi? Kata Mpu Jaya Prema, bukannya tambah baik, malah kebingungan dan kekeliruan itu semakin akut dalam semua kehidupan kita. Kekerasan atas nama agama terjadi, ormas-ormas garis keras dibiarkan dan seolah dipelihara pemerintah. "Ini menular ke daerah-daerah, karena keteladanan yang buruk lebih mudah ditiru, televisi kita sangat berjasa dalam hal ini," kata saya, eh, kata Mpu. Di Bali, yang selalu dikesankan adem tentram, pun muncul ormas-ormas yang tak jelas untuk apa, dan balihonya bertebaran di setiap tikungan jalan. Foto pengurus ormas itu dipampangkan dengan gaya pesilat, dan banner-nya: "Menjaga Keamanan Bali". Sejak itu, orang Bali merasa tidak aman, sudah beberapa kali antar-ormas itu bentrok.

Misalkan para budayawan yang berkumpul di Ancol (sejak Jumat lalu dan berakhir hari ini) malas membuat rumusan baru, Deklarasi Cikini tinggal didaur ulang. Cukup menambahkan kata-kata yang lebih pedas. Tapi budayawan tak mau, mereka tetap asyik berdiskusi membuat rumusan baru. Mereka tetap berdebat meski pun tak ada gelas yang pecah, apalagi meja yang sampai dirobohkan.

Deklarasi Ancol yang sampai hari ini masih dirumuskan, sepertinya masih tetap dalam napas Deklarasi Cikini. Tentu dengan kalimat yang lain, budayawan bukanlah tukang contek. Meski suara para budayawan seperti gonggongan anjing yang tak membuat kafilah berhenti berlalu, mereka tetap bersemangat menyumbangkan pikiran untuk Indonesia yang lebih baik. Mereka mengajak mencontoh kearifan para leluhur dari berbagai pulau yang kian tak dipedulikan dalam mengatur negeri. Indonesia harus tetap merah putih dan makin hebat.

Interpelasi

                                                               Interpelasi

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO,  22 November 2014

                                                                                                                       


Sedang asyiknya saya berbincang dengan Romo Imam, tiba-tiba datang cucunya yang baru kelas V sekolah dasar. "Kakek, saya mau interpelasi, boleh berenang-enggak?" Romo cuma mengangguk, dan anak itu sudah berlari masuk ke kamar mengambil perlengkapan renang.

Tinggal saya yang terheran-heran. "Kok, bahasanya tinggi, Romo, interpelasi segala," tanya saya. "Dia lagi suka meniru kata-kata yang sering didengarnya di televisi," jawab Romo. "Kalau saya lagi ngobrol sama ibu dan anak-anak, cucu itu suka nyeletuk: interupsi, interupsi, boleh ngomong enggak? Setelah diizinkan, baru dia ngomong."

"Korban televisi," kata saya. "Ya, korban," jawab Romo. "Sejak kemarin, ibunya sudah melarang anak itu menonton siaran berita, karena isinya kekerasan melulu. Demo yang bakar-bakaran dan lempar bom molotov, tentara dan polisi saling tembak. Pernah dulu anak itu melempar piring ketika bertengkar sama adiknya. Ibunya menegur. Eh, anak itu melawan: ibu jangan marah, dong, ini piring kan tak bisa pecah. DPR saja kalau bersidang meja dirobohkan."

Saya tertawa: "Anak yang cerdas." Romo ikut tertawa: "Itu yang saya suka, dia cerdas. Tetapi anak-anak harus tetap diberi filter saat ini ketika para politikus dan pejabat publik tidak memberi teladan bagaimana bersikap santun. Apalagi ketidaksantunan itu dipamerkan di televisi, dan televisi sekarang memang lebih suka menyiarkan hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal yang baik."

Saya membenarkan dalam batin, dan Romo melanjutkan: "Banyak predikat yang sudah perlu dievaluasi karena manusia pemegang predikat itu telah mencampakkannya. Wakil rakyat mendapat predikat 'yang terhormat' karena mereka dipilih oleh rakyat untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi, ketika mereka membuat undang-undang untuk kepentingan kelompoknya dan bukan untuk kepentingan rakyat, dan mereka menyusun anggaran untuk kepentingan pribadinya, apa masih 'yang terhormat' itu boleh disandang? Apalagi bicaranya main tuding, menyeruduk meja pimpinan, jauh dari sopan-santun para leluhur bangsa. Dan, astaga, merobohkan meja, bukankah 'yang terhormat' itu harus dicabut? Hakim dipanggil 'yang mulia' dalam persidangan karena diharapkan memberi keadilan atas nama Tuhan. Tetapi, ketika hukum diperjualbelikan, masihkah sebutan 'yang mulia' layak diberikan? Negeri ini terpuruk karena para elite bangsa yang mestinya jadi panutan melecehkan kehormatannya sendiri."

Saya mendadak ingat pada cucu Romo tadi. "Pantas cucu Romo sampai hafal interpelasi. Kata itu sering muncul di televisi," kata saya. "Ya, memang. Sejak Presiden Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak, tiap saat ada berita pernyataan interpelasi dari koalisi yang beroposisi. Dari elite partai seperti Aburizal Bakrie, Fadli Zon, Ibas anaknya SBY, Desmon, ya, entah siapa lagi. Mereka akan mengajukan interpelasi kepada pemerintah."

"Itu kan hak melekat pada anggota DPR, biarkan saja Romo, interpelasi artinya bertanya," saya menyela. Romo bersemangat: "Tapi kenaikan harga minyak sudah dijelaskan gamblang oleh presiden. Subsidi yang lebih banyak dinikmati oleh orang-orang bermobil itu dan hanya untuk kepentingan konsumtif, kini dialihkan untuk kepentingan produktif. Untuk membangun sarana transportasi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya agar rakyat kecil yang menikmati. Dan rakyat sudah paham. Ternyata elite partai oposisi tak paham, karena itu mau interpelasi."

Saya diam, dan Romo meneruskan: "Kalau saja urusannya bukan politik, orang yang terus-menerus bertanya termasuk golongan mana? Pastilah orang bodoh."