Sabtu, 29 November 2014

Alih Fungsi Jadi Lahan Korupsi

                               Alih Fungsi Jadi Lahan Korupsi

Budiman Rusli  ;   Guru Besar Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung
KOMPAS,  27 November 2014

                                                                                                                       


GUBERNUR Kepulauan Riau Anas Maamun tertangkap tangan operasi Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penyalahgunaan wewenang alih fungsi lahan di Kepulauan Riau. Alih fungsi lahan memang menjadi lahan empuk para kepala daerah untuk mengeruk keuntungan melalui penerbitan izin-izin. Sebelumnya, Bupati Bogor Rachmat Yasin juga ditangkap KPK. Kasus ini menyeret nama mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan karena KPK berpegang pada ketentuan bahwa kewenangan pengalihfungsian hutan lindung berada di Kementerian Kehutanan.

Keterangan orang pertama di Kementerian Kehutanan ini diharapkan dapat menguak tabir terjadinya proses penyimpangan dalam pemberian izin alih fungsi lahan.

Masalah serupa sebenarnya sudah banyak terjadi dan selalu melibatkan orang nomor satu di jajaran pemerintahan daerah, seperti di Kabupaten Buol yang menyeret sang bupati dan pengusaha nasional papan atas beberapa tahun lalu.
Kasus-kasus penyimpangan dalam pemberian izin alih fungsi lahan menurut para pengamat berawal dari belum tertatanya payung hukum di daerah-daerah untuk mengatur rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) yang menjadi rujukan pemberian izin penggunaan lahan.
Banyak daerah di Indonesia saat ini tidak memiliki peraturan daerah yang mengatur RTRW dan RDTR sehingga memicu terjadinya penerbitan izin penggunaan lahan yang serampangan.

Sering kali pemberian izin berdasarkan pada permintaan pemohon, biasanya para pengusaha bermodal besar dan memiliki hubungan kedekatan dengan penguasa. Pada umumnya, para pengusaha mencari lahan strategis yang menjanjikan keuntungan besar, yang umumnya melanggar peruntukan penggunaan lahan.

Di lain pihak pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas pemerintahan dan penguasa wilayah menjadikan perizinan sebagai aset untuk mendulang keuntungan besar. Hanya dengan membubuhkan tanda tangan, miliaran rupiah akan mengalir ke kantong pribadinya.

Praktik alih fungsi lahan ini sudah berlangsung lama dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara. Tidak hanya kerugian materi, tetapi lebih dari itu kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang berupa kesemrawutan dalam tatanan hidup masyarakat yang selanjutnya menyebabkan buruknya kualitas lingkungan hidup masyarakat.

Bahaya banjir senantiasa menghantui dan sebaliknya timbul bahaya kebakaran pada musim kemarau karena pembakaran lahan.

Selain itu, bahaya tanah longsor juga senantiasa mengancam warga karena penggundulan hutan untuk membuka area permukiman baru.

Belakangan para pengamat menyadari bahwa kemacetan lalu lintas jalan raya pun secara langsung ataupun tidak langsung merupakan imbas dari alih fungsi lahan yang tidak tepat karena area-area baru menjadi kawasan permukiman yang berkontribusi terhadap arus kendaraan dengan volume terus meningkat.
Oleh karena itu, pemberian izin alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan peruntukannya dan menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas hidup masyarakat merupakan tindak pidana korupsi.

Walaupun beberapa pemerintah daerah telah berhasil mengatur RTRW dan RDTW dengan perda, dalam praktiknya pengaturan tata ruang sering kali dilanggar dan terkesan ada proses pembiaran. Akibatnya, upaya menata proses pemberian izin alih fungsi lahan sering menghadapi kendala.
Menurut data dari KPK, di seluruh wilayah Indonesia terdapat sekitar 150 juta hektar lahan.

Dari jumlah itu hanya 11 persen yang memiliki kejelasan peruntukan karena telah diatur dalam sebuah perda, selebihnya masih merupakan lahan yang potensial untuk menjadi obyek perkeliruan. Kerugian negara akibat pajak yang tidak tertagihkan dari pembebasan lahan dan pembalakan secara liar selama ini mencapai Rp 22 triliun.

Di era otonomi daerah, pemberian izin alih fungsi lahan berlangsung melalui dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu dari tingkat pusat di Kementerian Kehutanan dan dilanjutkan secara operasional di daerah.

Izin yang diperoleh departemen belum berlaku jika pemerintah daerah belum memberikan perizinan teknis. Jadi, pada dasarnya izin alih fungsi lahan dari pemerintah daerah memiliki peran yang menentukan untuk eksekusi alih fungsi lahan.

Sebagai konsekuensinya, setiap kepala daerah memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan transaksi pemberian izin demi meraup dana segar dari para pengusaha.

Dari seluruh wilayah Indonesia, kawasan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam hal izin alih fungsi lahan adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Namun, kasus-kasus yang terjadi masih sulit diungkap karena rapinya permainan di antara pihak-pihak terkait, baik aparatur pemerintah maupun pengusaha, dan tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan parpol.
Sebagai imbas dari sulitnya pembuktian kasus alih fungsi lahan, tindakan tangkap tangan menjadi operasi andalan KPK dan sekaligus membuktikan bahwa proses perizinan alih fungsi selama ini memang menjadi lahan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar