Selasa, 25 November 2014

Bahasa dan Kekerasan

                                             Bahasa dan Kekerasan

Flo K Sapto W  ;   Praktisi Pemasaran
KORAN TEMPO,  24 November 2014

                                                                                                                       


Baku tembak antara satuan TNI Yonif 134 Tuah Sakti dan Brimob Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Batam, salah satunya dipicu oleh percekcokan di kios bahan bakar minyak (Koran Tempo, 20 November 2014). Percekcokan lain yang diawali dengan sebuah cuitan di Twitter pada gilirannya juga memicu tawuran antara pelajar SMA 60 dan SMA 109 Jakarta.

Bahasa sebagai pemicu dalam kedua pertikaian di atas awalnya hanyalah ekspresi dari sebuah ketidakberterimaan. Sayangnya, bahasa dirasakan tidak cukup untuk mengekspresikan segala ketidakberterimaan itu. Akibatnya, ketidakcukupan itu kemudian dialihkan ke sebuah naluri dasar fisik melalui kekerasan. Sebuah situasi yang agaknya merupakan kemunduran dari peradaban kemanusiaan. Mirip dengan perilaku manusia purba sebelum muncul tradisi literer. Kekuatan otot yang termanifestasikan dalam dominasi kekerasan fisik dianggap lebih unggul. Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, manakala justru terjadi pada institusi terdidik (pelajar, prajurit). Secara lebih spesifik, apakah bahasa (Indonesia) dengan demikian gagal menjadi bahasa penjaga perdamaian dan pilar peradaban?

Terkait dengan hal itu, sebuah kajian awal tentang penggunaan ragam bahasa kasar, halus, dan lugas di dunia industri memberikan hasil menarik. Ketiga jenis ragam bahasa tersebut adalah yang digunakan untuk komunikasi imperatif, evaluatif, maupun sekadar teguran yang berkaitan dengan kinerja. Menariknya, tidak ada satu pun responden yang memilih ragam bahasa kasar (menyakitkan dan merendahkan) sebagai opsi. Sedangkan opsi ragam bahasa halus (menyarankan) dipilih oleh 48 persen responden. Selanjutnya, opsi ragam bahasa lugas (to the point) dipilih oleh 52 persen responden. Uniknya, sebagian besar responden (65 persen) berusia di atas 36 tahun dan bergaji di atas Rp 11 juta (40 persen). Secara umum, profil responden tersebut bisa diasumsikan sebagai pekerja yang sudah mapan dalam karier dan pendapatan. Posisi ini tentu didapatkan melalui sejumlah pengalaman panjang di dunia kerja atau usaha. Rentang pengalaman itu semestinya juga bersinggungan erat dengan berbagai jenis ragam bahasa perintah, kritik, teguran, dan evaluasi.

Dengan demikian, dari profil responden tersebut, setidaknya bisa ditarik dua buah kesimpulan. Pertama, jika pilihan responden yang sudah berpengalaman di dunia kerja tersebut memang dijadikan acuan--yaitu pada ragam bahasa halus dan lugas--tentunya pilihan ini sudah melalui sebuah proses pengendapan. Dengan demikian, jika pilihan jenis ragam bahasa tertentu berkorelasi positif terhadap kecenderungan berbahasa, golongan responden ini juga tidak akan menggunakan ragam bahasa di luar pilihannya.

Kedua, pilihan terhadap jenis ragam bahasa halus dan lugas tersebut sekadar merupakan manifestasi dari kebaikan universal. Dengan kata lain, disadari atau tidak, responden sangat dimungkinkan--pernah dan ada kecenderungan--menggunakan ragam bahasa kasar dalam situasi tidak normal. Apakah ini sebuah hipokritisme berbahasa?

Terkait dengan tindak kekerasan, satu hal sederhana namun pasti adalah bahwa ragam bahasa kasar sangat berpotensi menimbulkan respons serupa, entah dalam bentuk bahasa maupun lainnya. Persis dengan prinsip jual-beli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar