Rabu, 26 November 2014

Matinya Rasa Malu

                                                  Matinya Rasa Malu

Achmad Fauzi  ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara;
Redaktur Majalah Peradian Agama
KOMPAS,  25 November 2014

                                                                                                                       


MALU itu bagian dari adab. Manusia yang punya rasa malu tentu lebih tinggi kualitas adab dan harga dirinya ketimbang tak punya malu. Begitu pentingnya malu hingga Islam menyebutnya bagian dari akhlak.

Malu memiliki titik singgung dengan dimensi kejiwaan manusia. Struktur mentalitas manusia secara naluriah merasa malu dan bersalah jika melanggar norma kepantasan, abai terhadap peran dan tanggung jawab, dan memakan hak orang lain.

Pada skala lebih luas, rasa malu bisa jadi tipologi kebudayaan masyarakat. Kajian antropologi Ruth Benedict (1989) menyebutkan, komunitas yang menjunjung tinggi moralitas sebagai inti dari kebudayaan cenderung lebih kental adab rasa malunya. Maka, ketika terjadi pelanggaran sosial yang menyimpangi kepantasan umum, rasa malu jadi sanksi menjerakan. Bagaimana dengan kita?

Defisit rasa malu

Bangsa kita tampaknya mulai meninggalkan budaya malu. Pelanggaran norma kepantasan berlangsung dalam keseharian. Perbuatan amoral, seperti pemerkosaan, pembunuhan, kekerasan terhadap anak, dan aksi anarkistis ormas tertentu, menjadi corak kebudayaan mutakhir.

Celakanya, defisit rasa malu juga menyergap kelompok elite. Di panggung kehormatan, di hadapan rakyat, dagelan politik dipertontonkan.

Demi menyalurkan syahwat kuasa, terjadi drama gontok-gontokan. Ironisnya, narasi politik pembagian kue kekuasaan di parlemen sangat kental sehingga mendelegitimasi daulat rakyat. Benar almarhum Nurcholish Madjid, bahwa rakyat yang penyabar selalu dibuai janji-janji palsu belaka.

Tak hanya di pusat kekuasaan, resonansi hilangnya rasa malu juga merambat ke daerah. Belum lekang dari ingatan soal anggota Dewan ramai-ramai gadaikan SK, fenomena makan gaji buta juga merebak.

Di beberapa daerah, banyak anggota DPRD seusai dilantik belum bekerja sudah terima gaji. Alasannya, belum ada tata tertib sebagai pedoman penyusunan alat-alat kelengkapan DPRD. Miliaran rupiah uang negara terkuras untuk membayar upah ”kerja tanpa keringat” itu.

Padahal, di negara-negara seperti Australia, budaya malu terus dijunjung tinggi. Seorang anggota Dewan di Australia, misalnya, pernah mengembalikan seluruh uang yang digunakan mengunjungi konstituen karena di sela-sela kunjungan ia juga menjenguk orangtuanya yang sedang sakit. Media menyorotnya karena dianggap menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi.
Belum lagi bicara soal kapabilitas dalam menjalankan fungsi legislasi.

Sepanjang tahun politik 2014, anggota Dewan yang mencalonkan kembali lebih banyak menghabiskan waktu untuk membangun massa pemilih ketimbang membahas RUU sebagai program legislasi nasional.

Jikapun menghasilkan aturan, produknya melenceng sehingga harus diuji ke Mahkamah Konstitusi. Perlu penataan struktur kelembagaan dan mekanisme kerja DPR agar produktivitas legislasi meningkat.

Kita perlu belajar kepada Jepang soal tanggung jawab, yang lebih mengutamakan peran dan tanggung jawab ketimbang status. Seseorang boleh tinggi status dan jabatannya, tapi jika tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, ia akan malu dan memilih mundur sebagai jalan terhormat.

Korupsi

Praktik korupsi juga menjadi faktor penegas matinya rasa malu. Para penjahat berdasi yang mendapat amanat justru menjarah uang rakyat. Tak tersirat wajah penyesalan meski tertangkap tangan dan yang lainnya juga tidak jera.

Padahal, data yang dihimpun Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta menunjukkan, selama semester pertama 2014 tercatat 86 pelaku korupsi dan 27 orang di antaranya pegawai daerah. ICW mengalkulasi kerugian negara selama semester pertama mencapai Rp 3,7 triliun.

Maka, negara harus segera memperbaiki sistem dan pola perekrutan pejabat agar koruptor tidak mengambil peran dalam pemerintahan. Sepak terjang, integritas, dan kapabilitas adalah syarat utama.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam penelusurannya menyebutkan bahwa dari 560 anggota DPR terdapat 242 anggota Dewan dengan rekam jejak buruk. Di antaranya pernah berurusan dengan penegak hukum dalam kasus korupsi (Kompas, 15/10). Karena itu, langkah pemerintah tidak melantik 48 anggota legislatif terpilih periode 2014-2019 karena tersangkut korupsi sungguh tepat.

Koruptor di Indonesia memang banyak akalnya, jadi jangan pernah kalah akal. Jika kaum elite sudah kehilangan malu, rakyat harus kompak membuatnya malu. Pejabat korupsi harus diberikan stimulus kejiwaan melalui kerja sosial, misalnya.
Baru-baru ini, mantan Ketua DPR Australia (House of Representatives) Peter Slipper, yang terbukti menyelewengkan tunjangan taksi bagi anggota parlemen untuk mengunjungi perkebunan anggur di luar Canberra, harus menjalani hukuman kerja sosial selama 300 jam dan denda 954 dollar Australia (Rp 9,5 juta). Hukuman semacam ini perlu juga dipertimbangkan di Indonesia.

Revitalisasi keluarga

Budaya malu bisa ditanamkan sejak dini. Eric Ericson dalam penelitiannya menyebutkan bahwa psikososial individu berkembang secara gradual dan 50 persen tahap perkembangannya terjadi pada usia 2-3 tahun. Pada masa itu budaya malu yang berkelindan dengan harkat, nama baik, dan reputasi bisa ditanamkan dalam keluarga.

Entitas keluarga penting direvitalisasi karena menjadi hulu diajarkannya perilaku baik. Ajaran rasa malu yang ditanamkan dalam keluarga nantinya akan menumbuhkan karakter individu yang berkomitmen pada tanggungjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar