Sabtu, 29 November 2014

Menatap 2015 Optimisme di Tengah Kegaduhan Politik

    Menatap 2015 Optimisme di Tengah Kegaduhan Politik

Rikard Bagun ;   Pemimpin Redaksi Kompas
KOMPAS,  28 November 2014

                                                                                                                       


KEGADUHAN yang terus berlangsung di panggung politik Indonesia dapat menjadi bola liar yang bisa saja bergerak tak terkendali jika tidak segera dibereskan. Bukan saja harga dan taruhannya mahal, melainkan juga menjadi kekonyolan. Berbagai kalangan menjadi gamang dan galau, lebih-lebih karena sejumlah isu penting bangsa terdesak ke belakang oleh sensasi dan efek demonstratif kegaduhan politik, yang minim makna dan praktis tidak menawarkan apa-apa bagi kepentingan publik. Absurditas politik!

Para pelaku kegaduhan cenderung menganggap enteng dan positif atas segala hiruk pikuk yang diciptakan dan sebagai dinamika politik, sementara rakyat umumnya dengan sinis dan kecewa memandangnya sebagai sesuatu yang mubazir dan menjemukan.

Harapan perbaikan kesejahteraan, yang melambung tinggi seiring tampilnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, terancam meredup cepat dan oleng jika proses pembangunan kedodoran sebagai komplikasi dari kegaduhan politik.

Semula muncul keyakinan, bangsa Indonesia akan mendapat momentum baru dalam memacu kemajuan. Di luar dugaan, jalan menuju kaki langit yang lebih baik dan lebih cerah tidak datar dan lurus, bahkan ada yang menilai penuh tanjakan dan tikungan tajam dan licin.

Saling mengunci

Sebelum mulai melangkah saja, pemerintah baru sudah direpotkan oleh kegaduhan politik. Tanpa bermaksud mengurangi kepercayaan kepada kepemimpinan JKW-JK, semakin banyak orang bergumam, mungkinkah upaya perbaikan nasib rakyat dapat dilaksanakan dengan mulus di tengah konsentrasi yang terusik dan terpecah oleh hiruk pikuk politik berlarut-larut.

Juga menjadi pertanyaan, apakah pemerintahan JKW-JK dapat melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi secara efektif di lingkungan kabinet maupun antara pusat dan daerah di era otonomi dan di tengah kegaduhan politik.

Jauh lebih serius lagi, perilaku kaum elite yang cenderung menjalankan politik saling mengunci dan menyandera dalam tarik-menarik kepentingan yang berorientasi kelompok dan perkubuan. Kecenderungan itu tidak hanya menguras perhatian dan energi, tetapi juga menelantarkan kepentingan rakyat banyak.

Kaum politisi terkesan saling membanting ke lantai, bertarung habis-habisan untuk menggapai kepentingan masing-masing, bukan mengejar tujuan bersama. Dari kejauhan terlihat kekacauan besar, ibarat perang oleh semua melawan semua, bellum omnium contra omnes. Seharusnya politisi bersatu dan kompak dalam menciptakan kebaikan bersama.

Begitu kerasnya pertarungan kepentingan di kalangan elite, perpolitikan Indonesia lebih banyak memproduksi kegaduhan, noise, ketimbang suara, voice, yang jauh diperlukan untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat.

Sudah lama diwacanakan tentang bahaya perilaku elite Indonesia yang lebih menekankan politik praktis ketimbang politik fundamental. Politik praktis bersifat pragmatis, oportunistis, penuh kebohongan, obral janji, dan konsensus transaksional.

Orientasi politik praktis serba jangka pendek, bahkan hidup dari oportunis harian, carpe diem, dengan menghalalkan segala cara. Tak peduli kepentingan hari besok, apalagi jangka panjang bagi bangsa dan negara.

Pesimisme semakin besar karena belum tampak di horizon sosok kuat dan tokoh yang bergulat dan memperjuangkan politik fundamental, yang menekankan kejujuran, kebaikan bersama, dan mendorong konsensus secara bermartabat, bukan sekadar akal-akalan.

Realitas sosial politik yang penuh centang-perenang dikhawatirkan memasung peluang Indonesia menjadi negara maju. Namun, di sisi lain semakin membesar pula optimisme tentang masa depan Indonesia yang lebih baik dan semakin cerah. Apalagi akhir tahun 2015 akan berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN yang membuka pasar bagi lebih dari 600 juta orang, 43 persen di antaranya ada di Indonesia.

Indonesia memiliki banyak tantangan, tetapi juga sangat terbuka peluang menjadi negara maju dan besar, yang dijadikan topik utama edisi khusus 100 halaman harian Kompas terbitan hari ini. Sangatlah diperlukan kemampuan mengubah tantangan menjadi peluang, sekaligus melipatgandakan peluang.

Kesempatan Indonesia menjadi besar sangat terbuka, yang harus bertumpu pada kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian dalam kebudayaan sebagaimana dicanangkan Presiden Jokowi. Namun, tekad yang bersumber pada gagasan Bung Karno itu akan kedodoran dalam level pelaksanaan jika tidak ditopang komitmen kuat oleh seluruh elemen bangsa.

Peluang itu menjadi sia-sia jika tidak dikelola orang-orang mampu dengan visi berjangkauan jauh ke depan. Problematik macam ini sering diangkat Bung Hatta dengan mengutip penyair Jerman, Friedrich Schiller, yang menyatakan, ”Zamannya zaman agung, tetapi masa agung hanya dihuni orang-orang kerdil.”

Peluang agung yang datang menghampiri bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya, bukan dikerdilkan dan dibiarkan terempas karena salah urus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar