Minggu, 30 November 2014

Mufakat Budaya

                                                      Mufakat Budaya

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KOMPAS,  29 November 2014

                                                                                                                       


Mari lupakan masalah politik. Lupakan koalisi merah dan koalisi hebat. Tak semua merah itu pertanda hebat. Buktinya tim nasional sepak bola kita, yang sering mengenakan baju merah, jarang menang.

Sejenak kita pergi ke Taman Impian Ancol. Di sana ada seratusan lebih budayawan dan agamawan yang berkumpul untuk sebuah acara yang disebut Temu Akbar II Mufakat Budaya. Mereka bermufakat untuk merumuskan masalah kebudayaan yang sesungguhnya menjadi inti persoalan kenapa negeri ini karut-marut.

Dengan penanggung jawab Radhar Panca Dahana, para budayawan itu datang dari berbagai daerah. Ada penyair, pelukis, sejarawan, tokoh agama, juga pemikir berbagai ilmu sosial. Ada Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, Azyumardi Azra, Thamril Amal Tomagola-untuk sekedar menyebut keanekaragaman mereka. Dibuka oleh Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, temu akbar ini menampilkan tiga pembicara kunci (keynote speaker) : Ishak Ngeljaratan, Daud Yusuf, dan Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Ada guru besar, ada mantan menteri, dan nama terakhir itu pendeta Hindu yang di media sosial namanya lebih pendek: Mpu Jaya Prema. Mungkin tak asing bagi pembaca Cari Angin.

Apa yang mau dirumuskan? Ide dasar bagi sebuah strategi kebudayaan dalam kaitan dengan pengembangan sains dan teknologi. Merumuskan strategi integrasi kebudayaan, sains, dan teknologi sebagai landasan atau basis pembangunan peradaban Indonesia.

Ini temu akbar yang kedua. Yang pertama lima tahun lalu, yang dikenal dengan Deklarasi Cikini. Saya mau kutip kalimat awal dari Mukadimah Deklarasi Cikini. Bunyinya: "Apa yang terjadi di Indonesia masa kini adalah kebingungan dan kekeliruan yang akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Hal itu diakibatkan oleh peran negara, dalam hal ini pemerintah, yang terlampau dominan dan menafikan publik dalam semua proses pengambilan keputusan."

Setelah lima tahun, apa yang terjadi? Kata Mpu Jaya Prema, bukannya tambah baik, malah kebingungan dan kekeliruan itu semakin akut dalam semua kehidupan kita. Kekerasan atas nama agama terjadi, ormas-ormas garis keras dibiarkan dan seolah dipelihara pemerintah. "Ini menular ke daerah-daerah, karena keteladanan yang buruk lebih mudah ditiru, televisi kita sangat berjasa dalam hal ini," kata saya, eh, kata Mpu. Di Bali, yang selalu dikesankan adem tentram, pun muncul ormas-ormas yang tak jelas untuk apa, dan balihonya bertebaran di setiap tikungan jalan. Foto pengurus ormas itu dipampangkan dengan gaya pesilat, dan banner-nya: "Menjaga Keamanan Bali". Sejak itu, orang Bali merasa tidak aman, sudah beberapa kali antar-ormas itu bentrok.

Misalkan para budayawan yang berkumpul di Ancol (sejak Jumat lalu dan berakhir hari ini) malas membuat rumusan baru, Deklarasi Cikini tinggal didaur ulang. Cukup menambahkan kata-kata yang lebih pedas. Tapi budayawan tak mau, mereka tetap asyik berdiskusi membuat rumusan baru. Mereka tetap berdebat meski pun tak ada gelas yang pecah, apalagi meja yang sampai dirobohkan.

Deklarasi Ancol yang sampai hari ini masih dirumuskan, sepertinya masih tetap dalam napas Deklarasi Cikini. Tentu dengan kalimat yang lain, budayawan bukanlah tukang contek. Meski suara para budayawan seperti gonggongan anjing yang tak membuat kafilah berhenti berlalu, mereka tetap bersemangat menyumbangkan pikiran untuk Indonesia yang lebih baik. Mereka mengajak mencontoh kearifan para leluhur dari berbagai pulau yang kian tak dipedulikan dalam mengatur negeri. Indonesia harus tetap merah putih dan makin hebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar