Minggu, 30 November 2014

Serigala

                                                                   Serigala

Trias Kuncahyono  ;   Penulis kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
KOMPAS,  23 November 2014

                                                                                                                       


Marilah—dengan jujur dan rendah hati—kita melihat sifat-sifat buruk manusia. Inilah sifat-sifat destruktif manusia terhadap sesamanya: menghancurkan, merampas, menganiaya, menikam, membakar, memecah belah, menyiksa, menistakan, mengolok-olok, melecehkan, membasmi, mencemarkan, merobek-robek, mencabik-cabik, memukuli, menggebuki, menusuk, menghujat, menghina, dan masih banyak lagi yang pada intinya bertujuan menghancurkan sesama.

Itulah sebabnya filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), menyebut ”manusia serigala bagi sesamanya”, homo homini lupus est. Frasa populer tersebut mula pertama diungkapkan oleh Plautus Asinaria, seorang komedian zaman Romawi. Secara lengkap ia mengatakan, lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah manusia serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.

Kita melihat, sekarang ini, serigala muncul di mana-mana; entah itu serigala berbulu serigala maupun serigala berbulu domba. Bahkan, menurut istilah Daoed Joesoef, musang berbulu ayam. Padahal, masih jauh larut malam.

Kekerasan telah menjadi mantra utama. Kita menyaksikan, di mana-mana, di Palestina, Israel, Afganistan, Pakistan, Irak, Suriah, Mesir, Libya, Ukraina, dan berbagai sudut dunia ini. Bahkan di Indonesia, kekerasan selalu mengiringi setiap peristiwa sosial ataupun politik. Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Tetapi, ada kecenderungan beberapa kelompok mengatasnamakan tatanan moral dengan menghalalkan kekerasan.

Menurut data yang dikeluarkan Institute for Economics and Peace (IEP) yang berpusat di New York, Amerika Serikat, hampir 18.000 orang tewas karena serangan teroris sepanjang tahun 2013. Itu berarti naik 61 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

Lima negara—Irak, Afganistan, Pakistan, Nigeria, dan Suriah—menyumbang 80 persen jumlah korban. Di Irak saja, lebih dari 6.000 orang tewas tahun lalu. Negara lain yang menjadi penyumbang korban tewas karena aksi terorisme adalah India, Somalia, Filipina, Thailand, dan Yaman. Masih menurut IEP, 66 persen korban tewas karena aksi yang dilakukan oleh Al Qaeda, Taliban, Boko Haram, serta Negara Islam di Irak dan Suriah. Di Suriah dan Irak, begitu banyak korban NIIS, banyak di antara mereka dipenggal kepalanya.

Kekerasan fisik—termasuk juga intimidasi, ancaman, dan pengerahan massa seperti yang kerap kali terjadi di negeri kita—telah menjadi sarana untuk mencapai tujuan; apa pun tujuannya, termasuk tujuan politik. Hal itu selaras dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, yang lebih dikenal dengan nama Niccolo Machiavelli (1469-1527), dengan istilah ”menghalalkan segala cara”.

Kekerasan sudah menjadi biasa. Manusia sudah benar-benar menjadi homo homini lupus, padahal seharusnya homo homini socius, manusia adalah teman bagi sesamanya. Kini, telah terjadi, menurut istilah filsuf politik Hannah Arendt, banalisasi kejahatan. Padahal, sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan berarti sudah kehilangan keberadabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar