Jumat, 28 November 2014

Timah Panas di Tubuh Demokrasi

                            Timah Panas di Tubuh Demokrasi

Umbu T Pariangu  ;   Dosen Fisipol, Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA,  25 November 2014

                                                                                                                       


KITA berbelasungkawa atas tewasnya anggota TNI Praka Joni K Marpaung dalam aksi saling baku tembak antara anggota satuan Yonif 134 dan Brimob Polda di Batam (19/11). Itu semakin memperpanjang jatuhnya korban akibat pertikaian dua institusi tersebut. Sebelumnya bentrok TNI-Polri pernah terjadi di awal-awal reformasi seperti di Madiun (2001), Binjai (2002), Pontianak (2003), Ambon, Cimanggis, Depok (2005), Binjai (2007), Maluku (2008), Ogan Komering Ulu (2013), dan beberapa konfl ik lainnya hingga kini.

Data Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad menunjukkan konfl ik TNI-Polri pada 2014 sudah terjadi sebanyak delapan kali dan jika dihitung dalam kurun 1999-2014, jumlahnya sudah mendekati 200 kasus dengan memakan korban tewas sebanyak 20 orang. Data lain sebagaimana dilansir Indonesia Police Watch menyebutkan, sejak 9 Oktober 2013 hingga 21 September 2014, sudah terjadi enam kali bentrokan antara TNI dan Polri yang mengakibatkan 8 anggota TNI terluka, 4 di antara mereka tertembak, dan 5 polisi mengalami luka-luka.

Berapa pun jumlah korban yang tewas dari konflik tersebut, ini harus menjadi alarm bahwa aliran darah dan kekerasan harus disetop. TNI-Polri merupakan institusi pengendali senjata, penjaga keamanan, dan pelindung masyarakat yang mestinya memperkuat dan melindungi negara dan rakyat dari berbagai ancaman, bukan justru mereproduksi intimidasi, keresahan, ketakutan, dan kekerasan. Bahkan fungsi keamanan yang diemban keduanya tidak hanya mencakup menegakkan keamanan negara (state security) yang bernuansa militeristis, tapi juga pada pemenuhan kebutuhan kemanusiaan (human security) yang menjamin eksistensi warga dalam kehidupan sosialnya.

Antonio Garmsci menegaskan rakyat merupakan fundamen dan soko guru utama eksistensi sebuah negara. Artinya keadaan dan konfi gurasi kekuatan negara akan mempersonifi kasikan pula keadaan rakyat sesungguhnya. Hubungan entitas inilah yang perlu terus dirawat dan diperkuat aliran social trust-nya agar nilai demokrasi terus terjaga dari infi ltrasi dan hegemoni kekerasan.

Rentannya konflik yang meletup dari dua kesatuan yang pernah bersatu secara institusi di zaman Orde Baru tersebut menunjukkan disorientasi kelembagaan dalam mendefi nisikan peran dan wewenang mereka di hadapan rakyat. Padahal, saat ini TNI-Polri sedang giat-giatnya meniti ujian konsolidasi sebagai lembaga yang baru saja mengenakan jubah keprofesionalan pascareformasi untuk menjalankan tugas dan pengabdian sebagai pelaku agenda reformasi sektor keamanan seturut UUD 1945. Artinya dua institusi tersebut menjadi tulang punggung negara sekaligus agen terdepan dalam menjalankan dan menciptakan fungsi ketertiban negara dan saluran vital bagi persemaian dan pelembagaan nilai-nilai demokrasi (penegakan hukum, kesetaraan, solidaritas, dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana tertuang dalam Pasal 100 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Deretan konflik TNI-Polri harus dicarikan formula penyelesaian secara komprehensif. Selama ini eskalasi konflik TNI-Polri selalu disikapi dengan reaksi `eksak' pemberian sanksi (berupa rotasi, mutasi, dan pemecatan) atau justru sebaliknya pemberian impunitas karena mutualisme kepentingan antara atasan dan bawahan. Rangkaian investigasi untuk mengungkap motif penyebab pertikaian pun kerap masih dibalut justifikasi dan solidaritas sempit kesatuan sehingga rekomendasi yang dihasilkan pascakonflik selalu gagal mencegah perulangan konflik yang sama.

Akibatnya sistem evaluasi dan kontrol untuk menghindari penyimpangan perilaku dan fungsi prajurit di lapangan juga tidak bisa berjalan efektif karena pemberian sanksi tanpa mengobati luka kultur dan spirit reformis dalam tradisi organisasi justru hanya menyimpan luka lama (dendam) yang sesekali akan kambuh ketika dipicu pemantik sekecil apa pun.

Gengsi kelembagaan

Pertikaian Polri dengan `saudara tuanya' di Batam menjadi refleksi bahwa persoalan gengsi dan hegemoni dalam menguasai lahan ekonomi untuk menutupi minimnya kesejahteraan masih menjadi problem utama. Jika tak ada ketentuan sekaligus penerapan sanksi tegas yang melapangkan kebesaran jiwa TNI untuk mundur dari ranah pengamanan bisnis tersebut, konflik di antara keduanya sulit diredam.

Sebagai institusi yang diberi tugas khusus untuk ‘berperang’ dengan militer bangsa lain, TNI seakan memiliki energi berlebihan, yang jika tidak tersalur dengan baik justru menjadi destruktif. Karena itu, perlu ada saluran positif dan konstruktif bagi TNI untuk mengeksploitasi energi positif mereka lewat berbagai kegiatan-kegiatan konstruktif, seperti sosialkemanusiaan (TNI masuk desa serta hadir dan terlibat aktif di lokasi-lokasi bencana).

Selain itu, gengsi institusi menjadi trigger lahirnya seteru. Dengan keputusan politik memisahkan Polri dari institusi dan garis komando TNI pada 1 April 1999 yang ditetapkan dalam Tap MPR/VI/2000 dan Tap MPR/VII/2000 dengan menempatkan TNI di bawah departemen pertahanan sedangkan Polri berada langsung di bawah presiden, membuat polisi seakan mendapat durian runtuh ‘diskresi’ atau overconfidence untuk menegasi anasir-anasir yang dianggap mengganggu kepentingannya.

Ditambah pula dengan tugas dan perannya yang semakin banyak, Polri seakan memiliki privilese yang lebih. Sebaliknya, TNI yang selama puluhan tahun di bawah rezim Orde Baru selalu mengendalikan Polri secara psikologis merasa terganggu oleh reposisi tersebut. Ada semacam kecemburuan psikologis kelembagaan yang kemudian dikapitalisasi ke dalam motif pencarian ekonomi, pengakuan sosial-politis, dan sebagainya demi menjaga ‘citra kesatuan’ lembaga.

Kita berharap pemerintah bereaksi cepat untuk menghadirkan kembali rasa aman publik, dengan menuntaskan akar konfl ik TNI-Polri di Batam, serta mulai berani merancang formula penyelesaian konfl ik jangka panjang lewat penataan dan reformasi struktur dan nilai-nilai lembaga yang reformis dan profesional melalui revisi UU Keamanan Nasional.

Dibutuhkan pula ketajaman komando para petinggi baik TNI maupun Polri dalam mengendalikan perilaku destruktif prajurit bawahan mereka lewat penguatan UU Peradilan Militer agar tidak terus terjerumus dalam benturan kepentingan yang melemahkan solidaritas antarkesatuan.

Selain itu, TNI-Perlu diberi atmosfer aktualisasi spirit persaudaraan lewat aktivitas panggung budaya, seni bersama untuk mempererat komunikasi dan kesatuan di antara kedua institusi.

Kita berharap prinsip dan kultur demokrasi yang mensyaratkan antikekerasan di bangsa ini dapat tumbuh dan dipertahankan tidak saja oleh institusi militer tetapi juga lembaga sipil.

Rasa aman publik dan profesionalisme militer akan menentukan ke mana arah demokrasi kita bergerak. Kita tak ingin lingkaran setan kekerasan merusak energi dan mimpi besar republik ini untuk tumbuh sebagai bangsa besar dan bermartabat. Mari kita selamatkan demokrasi ini dari timah panas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar