Jumat, 28 November 2014

Ujian Nasional Guru dan Kepala Sekolah

                  Ujian Nasional Guru dan Kepala Sekolah

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  24 November 2014

                                                                                                                       


MAJALAH Time (3/11) menurunkan sebuah la poran menarik tentang betapa sulitnya memecat guru yang buruk. Di bawah judul `Its nearly impossible to fire a bad teacher', negara sebesar Amerika pun kesulitan untuk mengukur performansi guru yang tidak berkualitas dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap performansi siswa.

Karena itu di tengah, lagilagi, maraknya kritik terhadap penyelenggaraan ujian nasional (UN), saya malah ingin bertanya kapan kira-kira kementerian pendidikan dan kebudayaan juga melakukan UN yang sama terhadap guru dan kepala sekolah yang buruk? Meskipun data dari uji kompetensi guru (UKG) terus bergerak, kemampuan pedagogis dan profesional para guru kita secara rata-rata tak lebih dari 42,2 dari skala 1-100.Itu artinya baik penguasaan substansi mata ajar maupun penguasaan kelas sangatlah minim, dan ini tetap tak pernah dihitung sebagai penyebab buruknya performansi siswa.Dari sisi tersebut, semestinya pemerintah sejak lama sadar diri, jika kompetensi profesional dan pedagogis guru sedemikian buruknya, bagaimana mungkin kita tetap mempertahankan kebijakan UN yang standar kelulusannya 5,5, jauh di atas rata-rata nilai UKG secara nasional? Artinya, jika tingkat kelulusan siswa kita secara nasional mencapai angka di atas 90%, pasti ada sesuatu yang manipulatif.

Karena itu, diperlukan cara untuk menguji kompetensi profesional dan pedagogis guru dari jarak yang paling dekat dengan siswa dan lingkungan sekolah. Saya membayangkan jika kemendikbud melakukan proses pembelajaran secara real-time di tingkat sekolah seperti yang kami lakukan di Sekolah Sukma Bangsa (SSB), pasti hasilnya secara jangka panjang akan terlihat.

Sebagai sekolah yang mengusung kesadaran belajar secara kolektif melalui contoh yang baik, SSB memiliki kapasitas untuk menunjukkan perbedaan dengan sekolah lainnya. A school that learns, sekolah yang selalu ingin belajar melalui perilaku yang baik merupakan kesadaran seluruh warga sekolah. Di SSB kami selalu mencari cara bagaimana sebuah proses belajar tidak hanya dirasakan oleh siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah, orangtua, pengawas, dan bagian administrasi sekalipun.

Bagi manajemen SSB, monitoring yang paling utama justru harus dilakukan terhadap guru terlebih dahulu, sebelum mereka menguji dan mengevaluasi para siswa. Kami beruntung memiliki tools seperti sistem informasi sekolah terpadu online (sisto), yang digunakan tidak hanya melacak kemampuan siswa dalam belajar, tetapi juga mendeteksi kemampuan mengajar para guru dari waktu ke waktu. Model monitoring dan evaluasi guru jenis ini diyakini mampu meningkatkan kapasi tas dan kemampuan guru pada empat hal yang menjadi isu utama undang-undang guru, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadian (sikap).

Secara konseptual, empat kompetensi yang dirumuskan pemerintah untuk mengukur kemampuan guru terbilang ideal. Tetapi saya melihat tak ada contoh yang baik bagaimana cara mendeteksi empat kompetensi tersebut secara terukur dari waktu ke waktu. Sebagai sekolah yang memiliki kesadaran kritis secara kolektif-kolegial, SSB kemudian membuat desain sederhana yang terintegrasi ke dalam modul sisto.

Untuk mengukur kompetensi profesional seorang guru, sisto yang kami buat cukup mendata seberapa banyak buku, artikel, jurnal, tulisan, dan sebagainya yang digunakan para guru ketika mengajarkan materi tertentu. Guru tak hanya dibekali dengan buku teks mata ajar tertentu yang menjadi spesialisasinya, tetapi diwajibkan membaca bahan-bahan lain dalam rangka mendukung proses belajar-mengajar yang lebih kreatif dan menyenangkan. Setiap minggu guru SSB diwajibkan mengisi modul profesional guru yang ada dalam sisto secara rutin, untuk melihat berapa banyak bahan yang dibaca guru tersebut selain buku teks.

Kompetensi pedagogis juga diukur dan dievaluasi secara terencana dan berjenjang melalui modul supervisi dan observasi kelas yang secara terusmenerus dilakukan direktur sekolah, kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah. Melalui instrumen supervisi dan observasi kelas, menjadi tugas dan tanggung jawab direktur sekolah dan kepala sekolah untuk mengevaluasi apakah kemampuan implementatif guru pada aspek metodologis dan strategi pembelajaran berkembang atau tidak. Lagi-lagi, modul kompetensi pedagogis yang terintegrasi ke dalam sisto ini juga terbuka untuk stakeholder lain yang ingin melihat peta perkembangan pedagogis guru secara periodik.

Model pengelolaan sekolah dalam sebuah sistem pendidikan biasanya selalu mengacu pada dua hal, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Pilihan atas keduanya harusnya merupakan pilihan rasional berdasar kan riset dan kajian tiada henti tentang performansi sekolah sebagai unit analisisnya.

Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain't Learning (2013) menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial-budaya tempat sekolah itu berada. Pemerintahan Jokowi-JK harus memberikan kepercayaan terhadap sekolah untuk menentukan apa yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di sekolah mereka masing-masing.

Selama ini, meskipun kita sudah meyakini menjalankan dan mengadopsi proses desentralisasi pendidikan, kontrol atas banyak kebijakan seperti UN dan kurikulum nasional tetap dilakukan secara rigid oleh pusat. Akhirnya banyak sekolah menjadi tak sehat dan miskin kreativitas karena fundamen proses belajar-mengajar yang mencerahkan dan berkualitas menjadi terganggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar