Kamis, 25 Desember 2014

Akar Rekening Gendut Kepala Daerah

Akar Rekening Gendut Kepala Daerah

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


ISU mengenai dugaan adanya rekening gendut oknum kepala daerah ternyata tak hanya sebuah wacana semata ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai terdapat rekening gendut sejumlah kepala daerah yang diduga bersumber dari kasus tindak pidana korupsi dan atau pencucian uang. Soal rekening gendut itu awalnya merupakan temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan kemudian dilaporkan ke KPK.Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan pendalaman dari laporan PPATK itu merupakan salah satu upaya pencegahan korupsi.

Beberapa indikasi adanya rekening gendut sejumlah kepala daerah terlihat dari, salah satunya, hasil LHKPN dari FB, mantan Gubernur DKI Jakarta, yang menunjukkan peningkatan secara signifikan sebelum dan setelah menjabat kepala daerah. Pimpinan KPK sempat mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK yang berisi transaksi keuangan mencurigakan milik FB, yang disebut memiliki total harta pada 2012 sangat jauh berbeda dengan harta yang dimilikinya pada 2001. Pada 16 Juli 2001, FB pertama kali melaporkan harta kekayaannya dalam kapasitas sebagai Sekda Jakarta, sebesar Rp15,1 miliar dan US$167 ribu.

Saat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, pada 31 Juli 2006, harta yang dilaporkan sebesar Rp32,6 miliar dan US$130 ribu. Total harta dilaporkan yang dimiliki FB dalam LHKPN per 14 Maret 2012 senilai Rp59,3 miliar dan US$325 ribu (Detik News, 17/12 15.07 WIB). Selain FB, Kejaksaan Agung kini telah mengkaji adanya delapan kepala daerah baik yang aktif maupun sudah mantan, termasuk Gubernur Sulawesi Tenggara NA, terkait rekening gendut.

Akar penyebab maraknya korupsi politik yang dilakukan sejumlah oknum kepala daerah tak lain ialah tak seimbangnya internalisasi integritas dengan pergeseran wewenang penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Prinsip otonomi seluas-luasnya yang dicanangkan dalam UUD Negara RI 1945 tak kongruen dengan semangat tata kelola kepemerintahan yang baik. Di ranah politik lokal, sistem penyelenggaraan pilkada yang bersifat langsung juga masih minim transparansi dan akuntabilitas sehingga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sistem demokrasi kleptokratis dan menjerat sederet oknum elite politik lokal.

Namun, terapi yang dilakukan juga harus tepat. Jangan seperti pepatah `Membakar lumbung padi untuk menangkap sejumlah tikus'. Ranah praksis tata kelola pemilihan kepala daerah secara langsung harus dibenahi dengan menginternalisasikan prinsip integritas, transparansi, dan akuntabilitas ke dalam sistem pilkada tersebut, bukan dengan cara mengeliminasi sistem demokrasi langsung dalam pilkada. Makna demokrasi langsung dalam sistem pilkada tak boleh bergeser menjadi transaksi politik yang sejak dari proses pemilihan sampai saat menjabat pejabat publik di daerah, para elite politik lokal terjerat oleh berbagai `utang politik' yang mendorong terjadinya praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang bersifat kleptokratis.

Di sisi lain, perdebatan tak substansial di atas permukaan mengenai sistem pilkada langsung/tak langsung telah mencabut dari makna substantif untuk memperbaiki sistem tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang lebih berbasis pada akar kerakyatan. Berapa banyak waktu dan tenaga terbuang sia-sia di saat proses legislasi di Senayan hanya menyentuh aras permukaan di seputar diskursus hitamputih mengenai sistem pilkada langsung atau tak langsung?

Seharusnya, perdebatan yang dilakukan lebih bersifat paradigmatis untuk membahas penguatan kapasitas sistem pilkada dengan mengintegrasikan secara lebih memadai prinsipprinsip integritas, transparansi, partisipasi, dan akuntablitas dalam penyelenggaraan pilkada langsung tersebut.

Sistem desentralisasi luas melalui pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah (area division of power) dengan melalaikan sejumlah persyaratan substansial terkait dengan penyelenggaraan pilkada langsung yang bersih, hanya memindahkan praktik demokrasi kleptokratis dari pusat ke daerah. 
Sayangnya, kesadaran dari pemerintahan yang berkuasa sebelumnya terkait dengan hal tersebut terlambat dan baru disadari dengan hadirnya Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Padahal, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi yang mengharuskan dilakukannya sejumlah perbaikan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Jumlah itu terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang. 

Besarnya biaya yang dibutuhkan calon kepala daerah untuk pilkada dianggap sebagai penyebab meningkatnya perilaku korupsi pascapelaksanaan pilkada.
Biaya tinggi, bahkan acap kali didanai dari utang, tentunya harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah memperoleh jabatan. Namun, ketika jabatan itu menemui tembok berupa penghasilan terbatas, para elite politik itu kemudian bisa terjebak untuk menyalahgunakan wewenang demi pengembalian modal yang telah dikeluarkan. Uang telah menjadi kebutuhan mutlak dan komponen sangat strategis untuk meraih suara pemilih, suatu faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye, termasuk `uang perahu' dan pendukung jika menggunakan jalur parpol, bukan independen.

Kepala daerah terpilih lebih banyak berpikir untuk mengembalikan dana/uang yang telah digelontorkan untuk mencari dukungan dan bahkan membeli suara dalam pilkada. Risiko terjadinya korupsi di pemerintahan daerah semakin tinggi. Salah satu cara pemecahan pengembalian dana politik tersebut ialah melakukan korupsi pada PBJP (pengadaan barang/jasa pemerintah) di daerah, di samping sumber-sumber APBD dan APBN lain. Potensi korupsi semakin membesar apabila PBJP di daerah tidak dikawal dan dikontrol secara efektif dan baik, khususnya oleh masyarakat madani sebagai penerima manfaat dari PBJP itu sendiri.

Seharusnya, dengan temuan-temuan tersebut, perdebatan yang dilaksanakan terkait dengan sistem legislasi terhadap penyelenggaraan pilkada langsung dilakukan pada pembenahan mendasar pada sistem tata kelola pilkada yang dilakukan, bukan justru berbelok menjadi memperdebatkan sistem pilkada yang diterapkan. Upaya untuk memperbaiki sistem pilkada langsung dapat dilakukan setelah DPR RI menyetujui dan mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi undang-undang.

Keberadaan UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga merupakan modal dasar yang penting untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemerintahan.Maka, di ranah politik diperlukan perbaikan mendasar pada tata kelola pilkada langsung yang dilaksanakan dengan didukung penataan di ranah teknokratis melalui perbaikan sistem administrasi pemerintahan dan sistem pengendalian intern pemerintahan (SPIP). Tentunya, budaya korupsi politik dengan mengharapkan kucuran money politic yang sempat menggerus modal sosial di ranah masyarakat juga harus dikikis habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar