Senin, 29 Desember 2014

Bersama Jalani Mil Terakhir untuk Sistem Peringatan Dini

Sedekade Tsunami Samudra Hindia

Bersama Jalani Mil Terakhir

untuk Sistem Peringatan Dini

Shamshad Akhtar  ;   Wakil Sekjen PBB; Sekretaris Eksekutif UN ESCAP
MEDIA INDONESIA,  26 Desember 2014

                                                                                                                       


HARI ini 10 tahun lalu, dunia mengalami salah satu bencana alam paling mematikan yang pernah tercatat. Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia, memicu tsunami besar yang secara langsung memberikan dampak di 14 negara di Asia dan Afrika. Dampak dari pergeseran tektonik dan lempengan menimbulkan dampak berupa ombak yang mengakibatkan sekitar 230 ribu orang tewas dan penderitaan yang besar bagi umat manusia.

Sepuluh tahun kemudian, kita bersama-sama sebagai masyarakat mengenang para korban yang hilang akibat amukan alam dan memahami penderitaan mereka akibat bencana alam yang telah melanda wilayah kita. Bulan ini, beberapa negara yang terkena dampak di wilayah ini akan menjadi tuan rumah upacara peringatan tsunami Samudra Hindia. Peringatan ini ialah sebuah kesempatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di wilayah Asia-Pasifik dan sekitarnya mengenai pentingnya membangun ketahanan yang lebih besar atas bencana alam, serta bagaimana kita secara kolektif dapat bekerja sama untuk mempertahankan momentum demi meningkatkan kapasitas kita guna menghadapi peristiwa bencana seperti itu.

Dukungan global

Tsunami 2004 telah menghasilkan dukungan global yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta menjadi pelajaran utama dari tragedi manusia, yaitu pentingnya peringatan dini. Ketika ombak menerjang, sistem peringatan dini belum memadai. Akibatnya, banyak orang tidak mendapatkan peringatan kecuali melihat dinding air yang melaju menuju arah mereka. Wilayah kita semestinya tidak mengalami hal itu lagi tanpa persiapan sama sekali.

Setelah kejadian tersebut, kawasan Asia-Pasifik memulai upaya kolektif untuk mengembangkan berbagai pendekatan dan mekanisme sistem peringatan dini yang lebih baik untuk mengurangi dampak bencana alam di masa mendatang. 

Berbagai upaya telah meningkat selama beberapa tahun di Asia dan Pasifik, wilayah yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia.Membangun ketahanan di daerah ini bukanlah pilihan, melainkan merupakan suatu keharusan untuk melindungi dan memajukan pembangunan berkelanjutan, kehidupan, dan mata pencaharian.

Tsunami Samudra Hindia secara fundamental telah mengubah bagaimana cara kita menangani bencana alam, menghasilkan dampak yang besar pada kebijakan dan anggaran, serta pekerjaan operasional dan teknis. Hal terpenting, yaitu pengalaman tsunami telah membentuk Kerangka Kerja Aksi Hyogo/Hyogo Framework for Action (HFA) yang diadopsi di Kobe, Jepang, beberapa minggu setelah terjadinya bencana tersebut. Kemajuan yang nyata telah tercapai dalam melaksanakan HFA dan membangun ketahanan Asia-Pasifik. Tata kelola telah diperkuat, bersama-sama dengan lebih dari setengah jumlah negara-negara Asia-Pasifik telah memiliki undang-undang yang telah diberlakukan, serta berbagai lembaga dibentuk secara khusus untuk menangani manajemen risiko bencana. Alokasi anggaran untuk risiko bencana dan mitigasi kini telah lebih baik meskipun berbeda di tiap-tiap negara. Kapasitas kelembagaan untuk peringatan dini, kesiap-siagaan, dan respons juga telah diperkuat, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Negara-negara di Asia dan Pasifik telah melipat gandakan upaya untuk memperkuat kapasitas pelaksanaan, mendidik masyarakat yang rentan, serta mengatasi risiko yang paling mendasar.

Kemajuan nyata

Komitmen regional untuk peringatan dini tecermin dalam Peringatan Tsunami Samudra Hindia dan Sistem Mitigasi (IOTWS) dan mulai beroperasi pada 2011, bersama Australia, Indonesia, dan India berperan menyebarkan berita resmi tsunami untuk wilayah regional. Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB (ESCAP) memprediksi bahwa sistem baru itu dapat menyelamatkan rata-rata 1.000 jiwa setiap tahunnya untuk 100 tahun ke depan.

Pada 11 April 2012, gempa bumi berkekuatan 8,6 skala Richter di lepas pantai Indonesia memberikan uji coba yang berguna dari fungsi IOTWS. Dalam waktu 10 menit dari saat terjadinya gempa, negara-negara yang berisiko telah menerima berita resmi yang memuat informasi mengenai peringatan tsunami dari tiga penyedia layanan di kawasan tersebut. Berikutnya, jutaan warga telah menerima peringatan dan secara cepat bergerak menuju tempat yang lebih tinggi. Untungnya, tidak ada tsunami yang terjadi pada hari itu, tapi pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kemajuan nyata telah dibuat sejak 2004.

Di tingkat nasional, beberapa negara juga telah melakukan investasi besar dalam sistem peringatan dini, termasuk membentuk pusat-pusat peringatan yang canggih, yang telah memberikan kontribusi kepada wilayah Asia-Pasifik yang semakin dianggap sebagai pusat global atas keunggulannya dalam bidang tersebut.

Tsunami juga menyebabkan terciptanya mekanisme pendanaan yang inovatif. Berkat kontribusi pemerintah Kerajaan Thailand sebesar US$10 juta, Dana Perwalian ESCAP untuk Persiapan Tsunami, Bencana, dan Iklim diluncurkan pada 2005. Dengan mengumpulkan berbagai sumber daya dari para donor untuk memperkuat sistem peringatan dini atas berbagai bahaya, Dana Perwalian telah mendukung 26 proyek yang telah memberikan manfaat kepada 19 negara di Samudra Hindia dan negara-negara di Asia Tenggara. Dana Perwalian itu mendukung pelaksanaan IOTWS, dan telah memberikan dukungan kepada negara-negara berisiko tinggi yang telah ditargetkan, dengan kapasitas nasional yang terbatas.

Meski kemajuan itu telah dicapai, kita tidak semestinya melupakan pentingnya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat pada tingkat lokal. ‘Tahapan akhir’ dari sistem peringatan dini ini– masyarakat yang rentan berisiko tetap mengalami kesenjangan yang besar dalam membutuhkan perhatian dan sumber daya tambahan. Ini harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan menerima peringatan secara tepat waktu dan dapat dipahami, agar mereka tahu apa saja yang harus dilakukan dalam menghadapi masa-masa krisis.

Jadi, setelah sepuluh tahun, sudah seberapa baik kawasan Asia-Pasifik mempersiapkan diri untuk menghadapi tsunami besar? Ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan 2004, tetapi jawaban secara lengkap hanya akan diketahui pada suatu hari nanti di waktu yang akan datang, ketika beberapa jam pertama setelah sebuah gempa besar telah menyebabkan tsunami baru. Untuk mempersiapkan hari tersebut, kerja sama regional sangat penting, terutama dalam hal peringatan dini, mengingat bencana alam tidak mengenal batas.

Bekerja sama untuk mengurangi risiko bencana dan membangun ketahanan itu sebanding dengan mendorong sebuah batu besar ke atas bukit bersama-sama. Jika kita tidak terus bergerak maju, kita akan berisiko meluncur mundur. Kerja sama itu melibatkan pembangunan budaya kesiapan dan kerja sama di seluruh wilayah, serta bergeser dari fokus pada respons menjadi lebih menekankan pada pencegahan.

Pada Juni lalu, Pemerintah Kerajaan Thailand menjadi tuan rumah konferensi tingkat menteri mengenai Pengurangan Risiko Bencana ke-6 untuk meng onsolidasikan suara regional demi mencari pengganti perjanjian HFA. Saat negara dari seluruh dunia mempersiapkan diri untuk bertemu di Sendai, Jepang, pada Maret 2015, kawasan Asia-Pasifik akan membawa pelajaran dan pengalaman penting kita untuk membantu membentuk kerangka kerja global yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar