Jumat, 26 Desember 2014

Biksu Tak Berjubah

                                                 Biksu Tak Berjubah

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi; Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
KORAN SINDO,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


Sitor pernah muda. Dan seperti anak muda pada umumnya dia punya ambisi besar. ”Taklukkan Kota Paris / mimpiku dulu /angan-angan muda: menggetarkan langit!” Tapi dia tahu, impiannya dianggap sepi.

Dan langit sama sekali tak tergetar. Dia berkata dengan datar, mungkin malu, mungkin heran, mungkin kecewa: ”Tapi langit bisu saja”. Langit menganggap tak penting kehadiran Sitor di dunia ini? Ini bait pertama puisinya, yang berjudul Biksu Tak Berjubah, yang kemudian menjadi judul buku kumpulan puisinya yang diterbitkan Komunitas Bambu pada 2004, sepuluh tahun lalu, ketika Sitor berusia 81 tahun.

Penyair dari Danau Toba, yang tangkas sekali berdebat ini lahir pada 2 Oktober 1924. Kini dia pergi untuk takkan kembali pada usia 91 tahun lebih dua bulan. Dia pergi seperti begitu saja, dan kita tak bisa menemuinya lagi.

Kita pun tak akan lagi mendengar dia membaca puisinya dengan nada yang begitu khas: bergumam pelan, tapi tekanan-tekanan suaranya, pilihan-pilihan nadanya, untuk segi-segi penting dalam kandungan puisinya sangatlah Sitor. Penyair lain tidak begitu. Tiap membaca puisi, Sitor tidak berdeklamasi, sebagaimana diajarkan guru-guru di sekolah, dengan ”acting”, dengan mimik yang dipas-paskan dengan nada, dan semangat dalam puisi, tapi tidak pernah pas.

Sitor membaca puisi seperti kakek membacakan cerita pada cucunya. Gumam dibuat jelas, semangat diberi tekanan suara dari dalam jiwanya. Dan bacaan berakhir seperti film Eropa yang bersifat anti-hero. Berakhir duka, atau suka, bertanya, atau menjelaskan, bagi Sitor sama saja. Pendek kata, Sitor membaca puisi seperti gaya dia membaca kitab suci.

Sabda, berupa perintah, atau larangan, atau sejarah, dibaca dengan nada sama, tapi getaran jiwanya berbeda, seperti ketika berkata: ”Tapi langit bisu saja” di atas. Kemudian disambungnya: ”Paris pun jadi tua/aku dewasa.” Sejarah tak berarti guncangan, dan bukan pula kegetiran. Dalam dewasanya itu dia ”pasrah”, tanpa kecewa, tanpa protes. Dengan kepasrahan ”seperti biksu tua/berkemas/masuk biara mati raga.”

Di sini, kita tidak tahu mengapa, menjelang titik puncak kematangan rohaniah, dengan kepasrahan totalnya, tiba-tiba Sitor mementahkan diri. Kelihatannya dia tidak tuntas memasuki dunia rohani. Cintanya ttanpa dalam imajinasinya tpada tanah air, Nusantara, ditonjolkan secara naif, di saat seharusnya dia bicara tentang kesejatian cinta, seperti layaknya seorang biksu, ”tanpa jubah...”, karena ”jubahnya” berupa cinta.

Tapi mengapa jubah Sitor berupa cinta, yang bukan wujud kesejatiannya, melainkan pada benda, pada rupa: Nusantara? Apa perlunya Nusantara, tanah air, di saat kita sudah berhadapan dengan apa yang lebih sejati, yang tak lagi perlu diuji, karena dia kebenaran tertinggi?

”Biksu tanpa jubah”, yang dalam situasi meditatif tertinggi, ketika ada suara tak didengar, ada bau tak dihirup, ada rupa tak dilihat, dan kita hanya terpesona pada SATU esensi, yang tertinggi, mengapa kita balik ke bumi, dan sibuk mengurus Nusantara, yang dalam konteks rohaniah itu tak penting, tak menarik sama sekali, dan tak relevan? Ah, biarlah, Sitor yang tahu jawabnya.

Dia, yang kini dalam perjalanan ”pulang”, biarlah berjalan lempang, ke ”rumah” sejatinya, dan semoga dia lupakan Nusantara, supaya jalannya tak usah membelok-belok. Ya, tapi bagaimana bisa kita mencelanya? Betul, saya memang tak pernah meragukan cintanya pada tanah air.

Dia ini seorang nasionalis bukan karena warna partainya, bukan karena aliran politiknya, melainkan karena jiwanya yang utuh, penuh, cinta pada tanah air itu. Tak mengherankan, dalam batas dunia ini dan dunia sana, yang dia ingat Nusantara. Pernah dia mau menginap di rumah saya. Kamar sudah saya siapkan beberapa lama sebelumnya, tapi mendadak dia membatalkan lewat seorang teman.

Dia bilang: ”Katakan pada Sobary, buat orang seusia saya, cinta tanah air ternyata bisa dikalahkan oleh cinta pada istri.” Itu kurang dari sepuluh tahun lalu, ketika istrinya, Ibu Barbara, sakit. Dan saya memahaminya. Istri sakit pun diperhadapkan pada persoalan cinta tanah air. Kita tahu, atau merasakan, dia ”menjerit” ketika cinta tanah air itu dikalahkan oleh cinta pada istri. Kalau watak nasionalis itu hanya gincu, dan sejenis ”wedhak pupur ” niscaya peduli apa tiap saat bicara tanah air? Sitor merantau jauh.

Tapi hatinya di tanah Batak, di Toba tercinta. Seekor burung boleh terbang tinggi. Tapi dia mana dia hinggap bila bukan di kubangan? Dan apa kubangan di sini, bila bukan sekeping tanah, tempat ketika darah pertamanya tumpah, disusul hirupan napas pertama, di udara terbuka, di tanah airnya sendiri? Di kantor saya, dia mau membaca sesuatu, tapi dia tak memakai kaca mata.

Dia minta kacamata saya, dan saya ”pinjamkan”. Dia pun membaca dengan kacamata itu. Sampai akhir. Kemudian kacamata dimasukkan ke saku kiri bajunya, dengan cara begitu rupa. ”Kacamata,” kata saya, sambil mengulurkan tangan kanan, untuk memintanya. ”Saya membaca pakai apa kalau ini kau minta?” katanya kalem, kemudian berdiri, seolah tak terjadi apa-apa.

Saya merangkulnya dari belakang, dengan perasaan bahwa hal itu luar biasa, dan saya menerimanya tanpa protes. Bung Sitor, saya mengenangmu, dengan kehangatan, demi apa yang mungkin bernama kekaguman, atau persahabatan, yang tak mungkin saya berikan pada banyak orang. Kenangan ini, dilihat dengan cara lain, bisa berarti seolah saya mengkritikmu.

Tapi persetan apa kata orang, karena bukankah kita sama-sama mengerti apa maknanya? Bung, selamat jalan. Biksu yang tak lagi berjubah, memang karena tak memerlukan jubah. Di sana, buat Bung, ada jubah yang lain. Penyair yang nasionalis, senasionalis-nasionalisnya pun, dalam posisi Bung sekarang, tak memerlukan lagi tanah air, seperti Nusantara ini, karena di sana, untuk Bung ada tanah air tersendiri.

Ada jubah, bagi yang melupakan jubah lahiriah. Ada tanah air, bagi yang melupakan tanah airnya yang dulu, karena tanah air yang akan datang, lebih otentik, lebih sejati. Dan jubahmu, di sana lebih bagus. Biksu tak berjubah, bukan karena tak punya jubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar