Selasa, 30 Desember 2014

Diplomasi Bergoglio

Diplomasi Bergoglio

Trias Kuncahyono   ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


Dua puluh satu Januari 1998, Paus Yohanes Paulus II mengawali kunjungan lima harinya ke Kuba. Sebuah kunjungan yang luar biasa karena sejak Fidel Castro berkuasa tahun 1959, Kuba menyatakan diri sebagai ateistis. Pemerintah revolusioner pimpinan Castro menentang keras Gereja Katolik karena dianggap ada hubungannya dengan diktator Fulgencio Batista yang disingkirkannya. Kuba juga mengusir pastor asing, menyingkirkan pastor pribumi (Kuba), dan memantau semua kegiatan Gereja.

Salah seorang yang menyertai Paus Yohanes Paulus II adalah Uskup Agung Buenos Aires Jorge Mario Bergoglio, yang sekarang Paus Fransiskus. Bergoglio, sebagai delegasi Gereja Amerika Latin, mendengar serta mencatat pembicaraan antara Paus Yohanes Paulus II dan Fidel Castro. Hasilnya? Setelah kembali ke Argentina, Bergoglio menulis buku kecil yang diberi judul Dialogues between John Paul II and Fidel Castro. Dalam buku ini, Bergoglio mengkritik pemberangusan kebebasan di Kuba, tetapi juga menyatakan, ”Motif-motif yang menyebabkan Amerika Serikat menjatuhkan embargo (terhadap Kuba) harus sepenuhnya disingkirkan.”

Bergoglio juga mengkritik sosialisme dan revolusi ateis Castro karena menyangkal martabat transendental manusia, serta semata-mata menjadikan manusia sebagai pelayan negara. Ia mencela embargo dan isolasi ekonomi AS terhadap Kuba karena memiskinkan Kuba.

Kisah Bergoglio mendampingi Paus Yohanes Paulus II ke Kuba dan bukunya ini muncul kembali setelah tersiar kabar, Bergoglio yang kini Paus Fransiskus berperan penting dalam proses awal normalisasi hubungan diplomatik AS-Kuba. Pemulihan hubungan diplomatik kedua negara—yang putus lebih dari setengah abad—diumumkan Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro, 17 Desember lalu.

Semua bermula dari ”surat rahasia” Paus Fransiskus kepada Obama dan Castro. Dalam surat itu, Paus Fransiskus meminta mereka berdialog. Sejak itu, terjalinlah dialog antara wakil AS dan Kuba di Kanada. Dialog berlangsung 18 bulan dan berakhir dengan pengumuman normalisasi hubungan diplomatik.

Dialog, itulah kata kuncinya. Dialog menuntut kerendahan dan kelembutan hati untuk saling mendengarkan; diperlukan juga kepercayaan dan kebijaksanaan. Dalam dialog, kepercayaan akan menumbuhkan persahabatan dan kebijaksanaan meneguhkan persahabatan. Itulah ”nilai dialog”. Hal itu pula yang disarankan Paus Fransiskus kepada pemimpin AS dan Kuba. Bagi Paus Fransiskus, dialog adalah satu-satunya jalan mengakhiri isolasi Kuba dan permusuhan Kuba terhadap agama.

”Kerja seorang duta besar adalah pada tindakan-tindakan kecil, hal-hal kecil, tetapi selalu berakhir dengan melahirkan perdamaian, makin dekat dengan hati rakyat, merajut persaudaraan di antara bangsa-bangsa,” kata Paus Fransiskus setelah AS dan Kuba sepakat menormalisasi hubungan (International New York Times, 20-21 Desember 2014). Hal seperti itu juga yang dilakukan Paus Fransiskus ketika mempertemukan Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, 9 Juni 2014, di Vatikan dalam ”Prayer Summit” untuk perdamaian Timur Tengah.

Diplomasi Paus Fransiskus menunjukkan keberanian dan keinginan mengambil risiko serta melibatkan Vatikan dalam persengketaan diplomatik, terutama apabila Vatikan dapat memainkan peran sebagai perantara independen, seperti yang dilakukan di Kuba. Karena itu, ia mengirim surat rahasia kepada pemimpin AS dan Kuba yang ”menghidupkan lagi” hubungan kedua negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar