Sabtu, 27 Desember 2014

Etika, Hukum, dan Transisi Politik

                           Etika, Hukum, dan Transisi Politik

Siswono Yudo Husodo  ;   Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Universitas Pancasila
KOMPAS,  26 Desember 2014

                                                                                                                       


DALAM tahun-tahun belakangan  ini, muncul fenomena memprihatinkan di panggung  politik Tanah Air. Masifnya politik uang di pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dan pemilu legislatif, penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk menentukan pemenang pilkada, kampanye hitam dan fitnah di kampanye pemilu presiden, DPR yang belum bekerja efektif sejak dilantik 1 Oktober 2014, serta sidang-sidang DPR yang diwarnai perkelahian. Berkembang pula sarkasme politik dalam ungkapan kasar yang tidak bermutu seperti kata sinting yang merendahkan lawan politiknya.

Ada perkelahian di markas parpol besar dan langkah-langkah manipulatif memobilisasi dukungan lewat intimidasi serta politik uang di musyawarah nasional partai. Bekas narapidana korupsi jadi ketua panitia munas dan ditunjuk sebagai wakil ketua umum partai besar; wakil ketua DPRD provinsi adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara; serta istri bupati terpilih menggantikan suaminya yang terpidana korupsi. Sepertinya tak ada lagi sanksi sosial.

Etika politik

Idealisme politik berupa pengabdian untuk negara bangsa dan rakyat terbenam oleh maksud politik yang semata-mata mengejar kekuasaan, menguasai sumber daya, dan bersifat machiavelistis, tujuan menghalalkan segala cara.

Ada pula revisi UU MD3 yang berumur belum sampai satu tahun. Menyedihkan, DPR banyak membuat UU berdasarkan kepentingan politik jangka pendek untuk keuntungan kelompok. Akibatnya tidak sedikit UU yang berumur singkat. Praktis setiap lima tahun kita memperbarui UU Pemilu, UU Pilpres, UU Pilkada, UU MD3, Tata Tertib DPR, dan lain-lain yang menyita waktu, dana, dan energi.

Sebuah UU seharusnyalah dirancang sebagai perbaikan sistem bernegara dan berbangsa serta dapat berlaku untuk jangka waktu lama, bukan yang baik bagi kelompok yang berkuasa dalam jangkauan waktu yang pendek. Sistem politik harus dibangun secara sistemis dan bergenerasi. Etika kekuasaan politik pada tingkat paling tinggi menyatakan adalah tak patut apabila pemegang kekuasaan membuat aturan yang menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain.

Etika politik selayaknyalah dipromosikan institusi-institusi politik utama—seperti DPR, parpol, MPR, DPD—karena politik juga dipahami sebagai etik mengabdi kepada negara dan bangsa. Etika memang lebih halus daripada hukum. Orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika, tetapi melanggar etika belum tentu melanggar hukum.

Kita sedang menyaksikan kemerosotan etika politik amat dalam dan itulah yang membuat potret politik nasional jadi meresahkan. Tak terhitung pejabat negara, menteri, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota yang tertangkap korupsi.

Aktivitas korupsi juga tak mengenal batas tabu. Ada wakil bendahara partai divonis kasus korupsi Al Quran. Sulit membayangkan ada Menteri Agama yang seharusnya menegakkan amar makruf nahi mungkar ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi.

Menjelang pemilu legislatif lalu, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada merilis hasil penelitian korupsi parpol 2009-2014 di tingkat nasional. Ditemukan dugaan dan praktik korupsi terjadi di semua parpol yang punya wakil di parlemen atau kabinet. Sungguh kasihan negara dan bangsa ini. Apa yang salah?

Kalau kekuasaan politik dipegang orang-orang yang korup dan berperilaku menyimpang, kita sedang mengalami krisis kepemimpinan politik. Banyak politikus yang tersangkut masalah hukum berusaha membelokkan isu menjadi masalah politik. Ada juga yang habis-habisan mempertahankan jabatan politiknya agar terlindung dari jerat hukum. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan KPK memang tidak mudah menangani pelanggaran hukum yang dilakukan politisi karena politisi umumnya memiliki kepercayaan diri yang besar, pandai berargumentasi, dan punya pendukung yang dapat menimbulkan kerawanan politik.

Tanpa sanksi sosial

Di negara-negara beradab, umumnya politisi—baik presiden, menteri, anggota parlemen, bupati, maupun kepala daerah—jika melakukan hal-hal tak etis, menghukum dirinya sendiri. Akhir 2012, Direktur CIA David Petraeus mundur karena terlibat perselingkuhan. Pada 2009, mantan Presiden Korea Selatan Roh Tae-woo mengucilkan diri dan Roh Moo-hyun bunuh diri karena malu dituduh korupsi.

Sebaliknya, ada hal yang sangat berbahaya berkembang  di Indonesia karena, di masyarakat kita, sanksi sosial itu seolah-olah sudah tiada. Tidak adanya sanksi sosial pada pelanggaran atau perilaku tak patut menyebabkan  makin jauhnya penyimpangan pada hukum, etika, dan tradisi.

Pada masyarakat tradisional, justru sanksi sosial itu yang paling ditakuti. Bahkan, dalam masyarakat Jawa tradisional berlaku  ungkapan lewih becik mati ketimbang wirang, ’lebih baik mati daripada malu karena cemar’. Dalam kondisi budaya politik yang demikian itu, berlaku ungkapan Inggris the bad leader beat the good leader. Pemimpin yang buruk mengalahkan pemimpin yang baik karena pemimpin yang baik tidak mampu melakukan hal-hal yang mampu dilakukan oleh pemimpin yang buruk. Kondisi ini harus disadari sebagai bahaya besar untuk negara.

Kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara berjalan dengan baik memang tidak cukup diatur hukum yang menuntun tentang yang boleh dan yang tidak. Perlu juga dituntun oleh etika yang menuntun tentang  yang patut dan yang tidak patut. Juga penting mengikuti tradisi yang telah teruji menjaga harmoni yang dalam masyarakat adat menjadi hukum adat.

Etika, fatsun, proses, dan dinamika politik perlu ditingkatkan mutunya agar memberi peluang munculnya politisi-politisi muda berbakat yang bermoral dan berintegritas. Menjadi panggilan seluruh masyarakat Indonesia mewarnai perkembangan politik ke depan melihat dinamika politik yang diwarnai dekadensi moral yang sedang terjadi.

Sebagai negara demokrasi, peran parpol amat penting dan strategis. Tidak hanya untuk menyerap dan mengartikulasikan ide, tetapi juga menyiapkan kader-kader bangsa untuk duduk di lembaga-lembaga politik. Kalau parpol menyiapkan hanya putra-putri terbaik dan rakyat memilih  yang terbaik, yang duduk di lembaga-lembaga politik adalah primus inter pares, tokoh yang terbaik di antara yang baik. Namun, kalau parpol mengabaikan merit system, mendasarkan pada patron-client, kolusi, dan nepotisme ditambah rakyat memilih dengan  dasar transaksional, yang duduk di lembaga-lembaga politik pastilah bukan putra-putri terbaik bangsa.

Hukum yang tegas, berdasarkan kebenaran dan keadilan; etika yang semakin halus dan tradisi yang unggul akan menuntun masyarakat, termasuk para politisi, untuk mencapai peradaban yang lebih tinggi dan dinamika serta proses politik yang sehat.

Kehidupan politik yang sehat akan  meningkatkan energi sosial-ekonomi masyarakat untuk membangun negara. Sebaliknya, kehidupan politik yang tidak sehat akan menguras energi sosial-ekonomi masyarakat seperti yang kita alami sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar