Rabu, 31 Desember 2014

Industri Ekstraktif dan Keterbukaan

Industri Ekstraktif dan Keterbukaan

Erry Riyana Hardjapamekas   ;   Satu dari Dua Perwakilan Pelaksana untuk Asia dalam Dewan Internasional EITI, Oslo, Norwegia, 2011-2012

KOMPAS, 30 Desember 2014

                                                                                                                       


INDONESIA adalah negara pertama di Asia Tenggara yang berpredikat taat standar transparansi global untuk industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI compliant country). Prestasi membanggakan ini diberikan pada sidang Dewan Internasional di Naypyidaw, Myanmar, 15 Oktober 2014. Inilah buah kerja keras Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selama empat tahun terakhir untuk memenuhi syarat standardisasi keterbukaan dan akuntabilitas industri ekstraktif.

Industri ekstraktif diartikan sebagai sumber daya yang bahan bakunya diambil langsung dari alam sekitar tanpa bisa diperbarukan, alias sekali ambil langsung habis. Masuk dalam kategori ini adalah sektor minyak dan gas bumi serta mineral dan batubara. Inilah sumber daya yang sering diasosiasikan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, ”bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Hak mendapat informasi
                                          
Meski relatif baru, standar keterbukaan global ini telah diterapkan di 48 negara. Upaya standardisasi ini mendorong para kontraktor industri ekstraktif untuk membuka jumlah yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Sebaliknya, pemerintah juga didorong melaporkan penerimaan negara dari para kontraktor pertambangan.

Bertindak sebagai pengumpul dan penelaah (reconciliator) adalah tim independen. Tim ini bekerja di bawah kelompok kerja yang disebut sebagai Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif, terdiri dari unsur pemerintah pusat dan daerah, asosiasi industri, dan masyarakat sipil. Tim bekerja sejak 2010 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Laporan EITI Indonesia ini menjawab hak informasi rakyat Indonesia yang telah menunggu sejak republik ini merdeka akan seberapa kaya sesungguhnya bangsa ini. Dua laporan telah dipublikasikan. Laporan pertama mencakup periode 2009, laporan kedua mencakup dua periode sekaligus (2010-2011). Berikutnya, pada pertengahan 2015 Tim Pelaksana akan menerbitkan laporan untuk dua periode sekaligus (2012-2013).

Laporan EITI dibagi dalam dua sektor: (1) minyak dan gas, dan (2) mineral dan batubara. Laporan sektor minyak dan gas untuk 2010-2011 menjelaskan aliran kontribusi kontraktor secara detail. Misalnya perbedaan atas over/underlifting yang menjelaskan perlunya perbaikan pada penyelesaian perselisihan. Laporan EITI ini mencakup 99,5 persen (Rp 285 triliun) dari laporan keuangan pemerintah untuk penerimaan minyak dan gas.

Dari sektor mineral dan batubara, laporan EITI 2010-2011 itu memuat 83 perusahaan yang menjadi kontributor royalti di atas Rp 2,5 miliar.

Laporan ini cukup komprehensif mencatat bahwa dari 11.000 izin dan kontrak pertambangan yang berlaku, 83 perusahaan memberikan kontribusi 90 persen royalti dan 60 persen pajak badan. Artinya, 10.000 izin tambang lainnya berkontribusi hanya 10 persen royalti dan 40 persen pajak badan. Informasi ini dapat menjadi fakta bahwa potensi pendapatan dari tambang masih sangat besar dan harus ditingkatkan, seperti diinginkan Presiden Joko Widodo.

Potret industri ekstraktif

Sebelum ada kewajiban transparansi berstandar global ini, klaim rakyat Indonesia akan tanah air yang kaya baru sejauh ”katanya”. Rakyat yang tinggal di sekitar area operasi penambangan mineral, gas bumi, dan batubara tidak tahu berapa jumlah yang dibayarkan oleh perusahaan. Data tentang berapa besar penerimaan tahunan atas bagi hasil pemerintah daerah dari satu perusahaan tertentu pun belum pernah dilaporkan ke publik.

Padahal, faktanya adalah bahwa dari laporan keuangan pemerintah tahun 2012 dan 2013, penerimaan sektor migas dan tambang adalah Rp 347,7 triliun dan Rp 357,1 triliun, atau rata-rata 26 persen dari total pendapatan negara. Jika dimanfaatkan dengan baik, idealnya sumber daya alam yang sekali ambil langsung habis itu digunakan untuk modal jangka panjang membangun dan mengembangkan kapasitas manusia Indonesia.

Namun, data Bank Dunia pada 2011, yang menggunakan standar 2 dollar AS paritas daya beli per hari (PPP), menunjukkan bahwa sekitar 42 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan industri ekstraktif ternyata tak berkorelasi positif dengan tingkat perbaikan pembangunan manusia.

Kita dapat membandingkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Bontang. Di tahun 2012, pendapatan Kutai Kartanegara dari migas dan tambang Rp 3,42 triliun atau 4,5 kali lebih besar daripada Bontang. Padahal, IPM Bontang 77,85 jauh lebih tinggi daripada Kutai Kartanegara sebesar 74,24.

Meski demikian, ada kabar gembira di tahun 2013, yakni dari Riau dan Kalimantan Timur. Keduanya memiliki IPM 76,53 dan 75,78, peringkat terbaik ke-4 dan ke-5 secara nasional, dan di atas rata-rata Indonesia sebesar 73,81. Dari sejumlah kontraktor migas yang beroperasi, pemerintah provinsi dan kabupaten di Riau menerima bagi hasil migas sebesar Rp 13,3 triliun. Sementara provinsi dan kabupaten di Kalimantan Timur menikmati Rp 25,7 triliun, yang sebagian besar berasal dari Blok Mahakam. Meski bukan satu-satunya faktor, kita senang mengetahui bahwa kedua provinsi pemilik industri ekstraktif yang signifikan itu punya prestasi dalam investasi sumber daya manusianya.

Kajian Balitbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2013 mengindikasikan, pada kurun waktu tahun 2010 hingga 2012 terjadi kerugian negara definitif Rp 6,7 triliun dan potensi kerugian Rp 12 triliun di sektor pertambangan mineral dan batubara. Cukup mengecewakan bahwa jumlah kerugian definitif dan potensinya itu setara dengan hampir dua kali lipat yang diperoleh seluruh provinsi dan kabupaten di Riau dari industri ekstraktif di tahun 2012, yang sebesar Rp 11,2 triliun.

Potensi kerugian itu kini bisa diminimalkan dengan mekanisme laporan yang berstandar global. Dengan standar itu, berbagai data dan informasi dari pemerintah maupun perusahaan tambang wajib dibuka, apakah yang terkait perihal perizinan, produksi, atau alokasi.

Dengan demikian, kita bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap dari sektor industri ekstraktif, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas tata kelola keuangan publik secara sistemik. Perbaikan diharapkan akan merambat ke iklim investasi serta manajemen risiko yang mungkin timbul akibat ketimpangan pembagian hasil.

Tak hanya itu. Rasa saling curiga pun bisa ditekan. Korupsi juga bisa diminimalkan dengan meningkatnya akses publik. Sambil jalan publik bisa terus belajar bagaimana memanfaatkan informasi itu untuk kepentingan masyarakat luas. Laporan EITI menjelma menjadi senjata warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang inklusif.

Reformasi sistemik

Apakah laporan EITI bisa dipercaya?

Sesuai standar global, kuncinya terletak pada dipisahkannya proses implementasi pelaporan dan validasi oleh tim yang berbeda. Adapun rakyat, yang punya keterwakilan di Tim Pelaksana Industri Ekstraktif, punya suara untuk mengawasi secara langsung dan terbuka proses tersebut.

Dengan kewajiban pelaporan setiap tahun ini, kini rakyat Indonesia berhak menuntut keterbukaan pemerintah dan produsen minyak, gas bumi, mineral, dan batubara. Pada akhirnya kewajiban ini akan berkontribusi terhadap reformasi sistemik dalam sektor industri ekstraktif.

Selangkah lagi kita bangsa Indonesia telah bergerak maju untuk mencapai cita-cita pembangunan yang adil dan merata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar