Kamis, 25 Desember 2014

Kekerasan dalam Anggaran Pendidikan

Kekerasan dalam Anggaran Pendidikan

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


KEKERASAN itu seperti penyakit menular. Semakin banyak yang terjangkit, akan semakin sulit untuk mengobatinya, bahkan mustahil untuk menghilangkannya. Salah satu cara untuk menekan kekerasan ialah proses pendidikan yang baik dan benar. Akan tetapi, itu saja belumlah cukup. Jika kita mencari akar kekerasan di dalam proses pendidikan, saya berani memastikan sumber awalnya ada para rencana anggaran sekolah yang tak berpihak pada kebutuhan siswa. Seperti yang selama ini terlihat, anggaran sekolah banyak yang tidak sehat karena seluruhnya dan kebanyakan disusun berdasarkan keinginan guru dan kepala sekolah, serta minus kebutuhan siswa.

Dalam terminologi Johan Galtung, “Kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi fisik dan mentalnya berada di bawah realisasi potensialnya.“ Contohnya, dalam struktur biaya pendidikan kita tak pernah dijelaskan dari mana sumbernya (realisasi pontensial) sehingga dalam implementasinya bisa menimbulkan konflik kepentingan (realisasi jasmani dan mental). Contoh lain dari praktik kekerasan dalam pembiayaan pendidikan kita ialah tentang unit cost yang digunakan untuk menghitung kebutuhan dana BOS, yaitu siswa (realisasi potensial), tetapi tidak merujuk pada kondisi dan letak geografis sekolah yang memiliki perbedaan sarana dan prasarana. Contoh-contoh itu jelas menyiratkan bahwa satuan biaya pendidikan kita rentan dengan budaya kekerasan.

Isu pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan kebijakan 20% anggaran pendidikan kita, meskipun sudah berlangsung 10 tahun, tetap saja tak memberi pengaruh yang signifikan dalam kualitas layanan pendidikan kita. Kajian tentang pembiayaan sekolah menjadi relevan, mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan.

Perdebatan yang ramai dibicarakan para praktisi, birokrat, dan politisi. Di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, tetapi belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu. Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan Undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.

Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa setiap anak per tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orangtua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah.

Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orangtua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analasisnya. Dalam konteks itu, pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.

Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orangtua dan karakter psikologis siswa, serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (J S Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966).

Dalam banyak hal, Kementerian Pendidikan Nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah sehingga kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan.Padahal, jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan Rob Greenwald, et.al., dalam “The Effect of School Resources on Student Achievement,“ Review of Educational Research, (1996), jelas terlihat bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.

Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistika. Dengan menggunakan regresi statistika, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda.

Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa setiap orang per tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai “production-function studies,“ yakni dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dan capaian akademis siswa. 
Kesimpulannya cukup mengagetkan, “there is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance.“ (Eric Hanushek, “The Impact of Differential Expenditures on School Performance“, Educational Researcher: 1989)

Selama budaya sekolah belum dihitung sebagai komponen biaya pendidikan dan selama sekolah belum dijadikan dasar dalam menghitung biaya pendidikan, maka selamanya anggaran pendidikan kita akan tergelincir pada kepentingan sesaat dan rentan dengan kekerasan dalam operasionalnya. Kekerasan dalam postur anggaran pendidikan kita, biasanya akan sangat mudah terdeteksi dari minimnya proses belajar mengajar yang kreatif dan menyenangkan siswa serta guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar