Rabu, 31 Desember 2014

“Lalu” dan Tahun Baru

                                           “Lalu” dan Tahun Baru

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


PERGANTIAN tahun selalu mendatangkan harapan sekaligus menyisipkan kecemasan. Membersitkan pengalaman silam sekaligus menghamparkan jejak yang akan dilewati dengan banyak kemungkinan.

Ini juga mungkin yang menjadi alasan utama pada malam pergantian tahun orang berkumpul, berdoa, dan atau menyalakan kembang api dengan bayangan langit pada tahun 2015 memayungi dengan semburat cahaya. Bisa jadi hari Natal, bahkan juga tahun ini beriringan dengan maulid Nabi Muhammad SAW, menjadi sangat berimpitan dengan Tahun Baru dengan sebuah imaji kelahiran sang Yesus itu menjadi pertanda kelahiran kembali kita, baik sebagai personal, sosial, maupun kebangsaan, menuju kehidupan yang lebih damai.

Dalam idiom kelahiran tergambarkan suasana semangat baru. Tak ubahnya bayi yang lahir dari rahim sang bunda: disambut kehidupan penuh suka dan tangisan sebagai lambang keceriaan. Tak ada bayi yang kehadirannya ditampik. Ia datang bahkan jauh-jauh hari telah dinanti setelah sang bunda menyimpannya di perut selama sembilan bulan.

Setelah lahir, lekaslah diberi nama terindah. Lengkap dengan hajatan yang berisi doa, rajah, dan mantra. Nyaris tidak hanya orangtua yang ikut bahagia, bahkan juga keluarga dan tetangga. Dalam tradisi Islam, dibacakannya puisi-puisi marhaba. Anta syamsyun anta badrun anta nurun fauqa nuri. Engkau mentari, engkau rembulan, engkau cahaya di atas cahaya.

Bayi Indonesia

Dalam konteks kebangsaan, tentu saja bayi itu bernama Indonesia, yang hari ini telah menginjak usia 69 tahun. Diksi lain dengan terang menahbiskannya lewat kata berjenis kelamin hawa: ibu pertiwi. Disemai manusia pergerakan lewat pena dan senjata. Dan, puncaknya akta kelahiran itu tertanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur dan kebetulan Soekarno-Hatta dipercaya sebagai bidannya.

Kepada manusia, pergerakan kita banyak berutang budi. Mereka tidak hanya telah berjuang, tetapi juga menjadikan perjuangan itu sebagai bagian tugas suci kebangsaan. Kalau sudah berbicara ”bangsa”, apa pun ditanggalkan, termasuk sentimen agama dan etnisitas.

Seandainya mereka berbeda pilihan ideologi, ideologi yang mereka kukuhi itu bukan sekadar kendaraan untuk meraih kursi kekuasaan, tetapi justru sebagai alat untuk mempercepat Indonesia menemukan adabnya. Mempercepat bagaimana kemerdekaan itu dapat diartikulasikan dalam maknanya yang hakiki.

Maka, menjadi tidak aneh kalau kita membaca hikayat manusia pergerakan yang tergambarkan adalah potret manusia-manusia Indonesia yang sudah menyatu dengan bahasa, tanah air, dan tumpah darahnya. Ketika berbicara tentang keindonesiaan, yang muncul bukan puak dan institusi keagamaan, melainkan semangat kebangsaan yang berwatak inklusif, kosmopolit, dan menjunjung tinggi keragaman. Maka, misalnya, dengan sangat mudah Mohammad Hatta menerima usulan dari Indonesia bagian timur untuk mengganti sila ”Ketuhanan yang Maha Esa” tanpa disertai ”tujuh kata” di belakangnya. Wahid Hasyim, Teuku Hasan, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman, dan lainnya dengan legawa menerimanya.

Soekarno tidak kemudian murka ketika usulan sila-sila Pancasila tidak diterima di sidang BPUPKI  pada 1 Juni 1945. Padahal, kalau kita renungkan, sila Pancasila yang diusung Soekarno sangat visioner. Menating tentang kebangsaan Indonesia, internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pantas kalau Russel menyebutnya Great Thinker in The East.

Padahal, bayi bernama Indonesia itu lahir sangat tidak lazim sebagaimana konsep kebangsaan pada negara-negara Barat. Keindonesiaan, seperti tesis Anderson, dibangun tidak di atas tanah dan air yang konkret dan homogen, tetapi justru di atas bentangan imaji tentang persatuan dan kesatuan dengan suku yang berjumlah ratusan, bahasa ribuan, serta agama dan kepercayaan yang tak tepermanai. Dibangun di atas hamparan kesamaan nasib: ketertindasan.

Entah rajah apa yang dirapalkan manusia pergerakan sehingga mereka bisa mempersatukan keragaman tersebut. Dapat melakukan konsolidasi fantasi nasionalisme.

Bahkan, menjadi sulit mencari tautan logisnya ketika lambang Garuda yang dianggit dari kitab Sutasoma abad ke-14 masa kejayaan Majapahit bisa kemudian diimani sebagai ”kalimatun sawa”. Bagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan saat Sumpah Pemuda bisa menjadi perekat seluruh anak bangsa dalam kesatuan cita-cita berbangsa. Bagaimana dokter Wahidin, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan melakukan pembangkangan kepada Hindia Belanda demi memburu mimpi abstrak ”kebangkitan nasional”.

Bagaimana pula seorang KH Hasyim Asy’ari pada peristiwa November 1945 lewat resolusi jihadnya bisa mengeluarkan fatwa bahwa mengusir kaum penjajah adalah bagian dari jihad fi sabilillah dan kematiannya dianggap martir (syahid). Bagaimana seorang Bung Tomo atas nasihat Hadartusy Syekh, teriakan Allahu Akbar-nya mampu membakar masyarakat Surabaya sehingga mereka tak kenal gentar menerjang kolonial yang hendak mencengkeramkan kembali kuasa penjajahannya di Nusantara.

Bagi saya, salah satu kelebihan manusia pergerakan itu mereka menjadikan politik sebagai rute meraih kemuliaan. Alhasil, mereka benar-benar masuk dalam palung pengalaman politik keutamaan. Balai deliberatif dibuka lebar-lebar dan mereka kemudian mempercakapkan keindonesiaan dalam maqam kesetaraan dan nalar menjulang dengan tidak menghilangkan sikap lapang dalam mengapresiasi berbagai perbedaan.

Kemuliaan tidak diletakkan pada militansi memaksakan keinginan, tetapi pada keluhuran pekerti. Maka, misalnya, menjadi tidak ada masalah seandainya mereka datang ke Gedung Konstituante berjalan kaki, jas yang robek, dan atau pakaian lusuh.

Asketisme politik menjadi pilihan hidupnya. Di titik ini kita membaca Soekarno yang tidak pernah memburu benda; Tan Malaka yang tidak memiliki alamat rumah tinggal; Hatta yang sederhana tetapi tegas ketika bersikap harus bersimpang jalan dengan Soekarno; Sjahrir yang lebih mengedepankan kekuatan pikir ketimbang berkompromi dengan keadaan; Wahid Hasyim yang tidak kehilangan spirit kejuhudan; Juanda dan Johannes Leimena yang lurus dan tekun bekerja; Otto Iskandar Dinata bahkan tidak ditemukan makamnya karena dibunuh dalam sebuah sengketa yang sampai hari ini belum jelas apa motif di baliknya.

”Demos” dan ”kratos”

Tentu saja itu adalah cerita silam. Narasi nostalgis yang seharusnya menginjeksikan sebuah kesadaran kepada manusia politik Indonesia awal abad ke-21 bahwa hari ini iklim politik kita dikepung anomali, ada sesuatu yang keliru. Bagaimana tidak, pasca pemilu dan setelah pilpres usai pada 2014, yang mencuat ke permukaan bukan semangat bekerja, melainkan justru kegaduhan merayakan kebencian.

Dalam atmosfer keagamaan, yang tampil ke muka sepanjang tahun 2014 bukan spirit melahirkan risalah agama sebagai daya untuk membangun kohesivitas kekitaan dan menjelmakan iman yang rahmatan lil-alamin. Akan tetapi, sebaliknya, yang kita saksikan agama (baca: ormas) malah sibuk mempromosikan pendakuan kebenaran seraya melipatgandakan pandangan liyan sebagai ”kafir”. Kekerasan—baik fisik maupun simbolik—pada tahun 2014 beranak pinak dan apabila negara tidak lekas memberikan kepastian kehadirannya, tidak mustahil pada akhirnya akan menjadi api membesar dan akhirnya membakar semua bangunan peninggalan manusia pergerakan.

Tahun 2015, di bawah nakhoda Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang terpilih secara demokratis, semoga demos itu tidak kehilangan kratos-nya. Selamat Natal dan Tahun Baru. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar